DARURAT PENDIDIKAN KARAKTER

Author : Idris Apandi | Selasa, 06 Mei 2014 10:31 WIB

Sungguh sangat miris dan memperihatinkan melihat deretan kasus-kasus kekerasan kepada anak beberapa minggu ini. Belum selesai kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS), muncul kasus kekerasan seksual di sebuah TK di Batam. Kemudian muncul kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Perhubungan (STIP) dimana senior melakukan kekerasan terhadap junior yang mengakibatkan junior tewas. setelah itu, muncul berita tentang kekerasan di kampus IPDN dimana beberapa praja perempuan disiram cairan berbahaya oleh seniornya walau kabar tersebut dibantah oleh para praja yang jadi korban.

Berikutnya di Tangerang, seorang pemuda tega membunuh tiga orang dalam satu keluarga karena merasa terhina dan karena hubungan asmara dengan pacarnya ditolak keluarga pacarnya. Kasus yang menggemparkan di Sukabumi seorang pemuda ditangkap aparat kepolisian karena melakukan sodomi kepada puluhan anak bahkan diperkirakan bisa mencapai lebih dari seratus orang seiring dengan semakin banyaknya orang tua korban yang melapor kepada polisi.

Beberapa hari kemudian di Jakarta Timur muncul kasus seorang siswa Kelas V SD tewas dianiaya oleh kakak kelasnya gara-gara korban menjatuhkan pisang cokelat milik pelaku. Korban sudah meminta maaf dan memberi uang penganti pisang yang jatuh, tapi pelaku tetap memukul korban sampai memar dan akhirnya tewas.

Komnas Perlindungan Anak mencatat tahun 2014 jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat 60 persen dari tahun 2013. Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Kasus-kasus tersebut bisa saja seperti fenomena gunung es. Jumlah kasus yang muncul di permukaan sedikit sementara kasus sebenarnya banyak yang belum terkuak.

Kasus-kasus di atas merupakan gambaran dimana saat ini kekerasan banyak  digunakan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah. Lebih mengedepankan emosi dibandingkan akal sehat, tidak mengedepankan dialog atau musyawarah mufakat. Ketika merasa tersinggung langsung emosi dan melakukan tindakan kekerasan. Tawuran pelajar dan mahasiswa seolah menjadi tradisi. Bahkan lebih luas lagi tawuran antarkampung. Tawuran-tawuran tersebut kadang dipicu hal sepele bahkan masalah yang tidak jelas. Karena didorong fanatisme buta terhadap tim kesayangannya, kelompok suporter sepak bola berseteru, para pemimpin dan politisi pun terus berselisih karena egoisme pribadi dan konflik kepentingan. Saat ini sulit sekali mencari pemimpin yang mampu menjadi teladan. Semuanya sibuk berebut kekuasaan.

Sekolah yang seharusnya tempat menginternalisasikan nilai-nilai kebaikan, toleransi, solidaritas, saling menghargai sesama justru menjadi salah satu tempat terjadinya tindak kekerasan baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Nilai-nilai sakral sekolah sudah banyak tereduksi oleh perilaku kekerasan. Begitu pun relasi sosial di sekolah kadang kurang baik, ada kalanya terdapat kelompok-kelompok yang merasa dirinya ekslusif, hanya mau berteman dengan orang-orang tertentu saja karena mungkin berbeda latar belakang sosial ekonomi. Dampak negatif globalisasi menyebabkan semakin menggejalanya gaya hidup individualistis, hedonis, dan materialistis.

Saat ini pelaku dan korban kekerasan mulai dari orang dewasa, remaja, sampai anak-anak. Yang sangat memprihatinkan adalah anak-anak pun sekarang sudah berperilaku agresif. Tidak segan menganiaya bahkan menghilangkan nyawa teman sendiri. Beberapa waktu yang lalu di Bekasi gara-gara utang piutang seorang anak tewas karena dikeroyok teman-temannya. Hal ini memunculkan pertanyaan, ada apa dengan kepribadian anak-anak saat ini? Apa faktor pemicu mereka menjadi semakin agresif dan semakin mudah tersulut emosi? Dan mengapa pendidikan belum mampu (untuk tidak dikatakan gagal) mewujudkan sosok manusia yang memiliki budi pekerti luhur?

Untuk menjawab masalah ini tentunya dibutuhkan sebuah analisis yang mendalam dan komprehensif dari berbagai sudut pandang. Intinya, perilaku agresif pada anak-anak saat ini semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil beberapa kajian dan penelitian disimpulkan bahwa perilaku menyimpang/ agresif pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain, pengaruh pola asuh orang tua, trauma kekerasan yang diterima waktu kecil, pengaruh tayangan kekerasan di TV dan game, pengaruh teman atau lingkungan bermain termasuk di lingkungan sekolah.

Emon, tersangka pelaku sodomi di Sukabumi ternyata pernah jadi korban sodomi ketika anak-anak sehingga dia melampiaskannya kepada anak-anak. Seorang anak tewas setelah terbang dari apartemen tempatnya tinggal karena dilarang nonton film Spiderman. Seorang anak yang menganiaya temannya hingga tewas terpengaruh oleh tayangan dan game kekerasan yang suka dimainkannya. Orang-orang dewasa yang melakukan kekerasan juga telah menjadi contoh bagi anak-anak sehingga mereka menganggapnya sebagai hal yang lumrah.

Pola pendidikan di sekolah terlalu berfokus pada penguasaan aspek kognitif sementara pembentukan karakter kurang diperhatikan. Akibatnya nuraninya menjadi tumpul, kurang memiliki empati, solidaritas, kurang tahan terhadap tekanan yang dihadapi, menyukai budaya instan, egois, individualistis, kurang peka terhadap kondisi di lingkungannya, tidak memiliki sikap kritis menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di masyarakat, dan sebagainya.

Seorang peserta didik dikatakan berhasil jika berprestasi secara akademik. Rentetan angka-angka menjadi indikatornya. Akibatnya, pembelajaran diarahkan hanya untuk pencapaian target akademik walau kadang dilakukan dengan cara-cara yang tidak terpuji seperti mencontek dan plagiarisme. Pola pikir tersebut tentunya perlu diluruskan karena seorang siswa yang kompeten harus mampu menampilkan kemampuan yang baik pada aspek kognitif, sikap, dan keterampilan sementara nilai raport atau nilai UN hanya menggambarkan aspek kognitif saja.

Pendidikan Karakter

Solusi dari permasalahan sosial khususnya berbagai kasus kekerasan yang banyak terjadi saat ini adalah harus kembali kepada ruh pendidikan. Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang beradab bukan biadab. Pendidikan yang mampu membentuk manusia yang mampu bersinergi dan menanamkan sikap toleransi bukan melakukan anarki.

Dalam konteks Indonesia, praktek pendidikan harus dilandasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Pancasila mengajarkan setiap anak bangsa untuk memiliki sikap religius, berperikemanusiaan, mencintai persatuan dan kesatuan bangsa serta menghargai kemajemukan, mengutamakan musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan, dan senang berlaku adil. Nilai-nilai tersebut saat ini sudah banyak hilang dari jati diri bangsa Indonesia digantikan dengan nilai-nilai barat yang mengedepankan liberalisme, sekulerisme, hedonisme, materialisme, dan kapitalisme plus budaya kekerasan yang saat ini merebak. Ditambah korupsi yang terjadi hampir pada setiap lini kehidupan.

Kondisi saat ini sudah masuk pada kondisi kritis. Penulis berpendapat salah satu solusinya adalah dengan memberikan pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang berlandaskan kepada nilai-nilai Pancasila. Selain itu juga berbasis kepada keteladanan. Sebuah pepatah bijak mengatakan “satu kata lebih efektif daripada seribu kata-kata”. Hal ini ini menunjukkan bahwa dalam mendidik karakter tidak perlu dengan banyak memberikan petuah-petuah atau nasihat tetapi melaui sikap dan perilaku yang baik. Dengan memberikan teladan. Pemimpin, orang tua, guru, orang dewasa wajib memberikan teladan kepada anak-anak termasuk dalam menyelesaikan permasalahan melalui dialog bukan melalui kekerasan.

Sumber: http://edukasi.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: