Ada kegembiraan, tapi ada pula kecemasan, yang tersurat dan tersirat pada pidato Presiden Jokowi saat pelantikannya (20/10/14). Khususnya kalau kita bicara soal kedaulatan pangan.
Coba baca lagi naskah pidato itu. Tidak sekalipun menyebut “kedaulatan pangan”.Padahal, isu ini termasuk paling digadang-gadang semasa kampanye. Menjadi indikator kemandirian ekonomi pula. Ini kecemasannya.
Justru isu “kejayaan maritim” yang jadi primadona dalam pidato itu. Saya kutipkan penggalannya: “Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di Laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.” Ini kegembiraannya.
Tekad Presiden Jokowi sebenarnya memang masuk akal. Selama ini “di laut kita loyo”. Batas laut seenaknya diterabas tetangga, pemerintah diam saja. Pulau-pulau terluar dirambah tetangga, pemerintah diam juga. Ikan-ikan kita dan kekayaan laut lainnya dicuri tetangga, lebih diam lagi. Pemerintah kita “diam” selama ini bukan karena terlalu baik, tapi karena terlalu “loyo” untuk “ngoyo” menegakkan kedaulatan maritim.
Tapi baiklah, tetap ada relevansinya dengan kedaulatan pangan yaitu ikan. Ikan kita banyak di laut, tapi konsumsi ikan kita rendah. Mengapa? Karena kita tidak mampu menangkap ikan-ikan di laut untuk memenuhi konsumsi kita sendiri. Padahal kita punya 16.4 juta orang nelayan tangkap.
Akibatnya, negeri maritim yang berlimpah ikan ini harus impor ikan asin dari negara lain. Tahun 2009 sembilan kita impor 119.380 ton dengan nilai US$ 515.752.Sampai pertengahan tahun 2014 ini kita impor 1.242 ton dengan nilai US$ 53.229.
Ironisnya, ikan asin yang kita impor itu sangat mungkin sebagian adalah ikan-ikan kita yang dicuri nelayan asing dari laut kita. Rata-rata per tahun ada 100 kapal asing pencuri ikan di perairan kita, terutama dari Malaysia dan Vietnam. Jumlah ikan yang dicuri rata-rata 1.0 juta ton atau senilai Rp 30 milyar per tahunnya.
Jadi, tekad “di laut kita joyo” memang relevan untuk mewujudkan kedaulatan pangan ikan. Artinya, stop impor ikan, lalu cukupi rekomendasi konsumsi ikan penduduk sepenuhnya dengan peningkatan panen ikan dalam negeri.
Ada harapan “di laut kita joyo”. Nama harapan itu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Menteri satu ini bukan hanya gayanya yang “susi” (= nyentrik, cuek) banget, tapi langkah-langkahnya juga “susi” (= berani, mantap) banget. Berdayakan nelayan lokal, moratorium ijin kapal tangkap ikan, dan larangan alih-muatan di tengah laut, itulah langkah-langkah awal untuk menegakkan kedaulatan pangan “ikan”.
“Kita telah terlalu lama memunggungi laut …”, kata Presiden Jokowi. Ya, makanya telah terlalu lama pula “di laut kita loyo”. Sebaliknya, kita telah terlalu lama pula menghadap daratan, khususnya sawah. Lantas apakah selama ini “di darat kita joyo”? Tidak, saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Faktanya, selama ini, “di darat kita loyo” juga. Ini kalau bicara kedaulatan pangan.
Buktinya gamblang. Kita adalah importir pangan pokok paling setia selama ini. Kita hanya pernah jadi eksportir pangan khusus beras tahun 1984-1985 dan 2008, saat swasembada beras tercapai. Selebihnya kita adalah pengimpor beras, jagung, kedelai, gula, dan bahkan garam.
Saya kutipkan data terakhir dari BPS. Hingga pertengahan 2014 kita sudah mengimpor beras 152,000 ton, jagung 1,454,000 ton, dan kedelai 1,300,000 ton.Angka akhir tahun kemungkinan lipat dua. Bandingkan itu dengan angka 2010:beras 687,600 ton, jagung 1,527,500 ton, dan kedelai 1,740,500 ton.
Belum lagi kita bicara soal gula. Impor gula tahun2014 ini diperkirakan 2.8 juta ton. Tahun 2015 diperkirakan 3.65 juta ton, sehingga kita akan mengalahkan Cina sebagai yang “terhebat di dunia” dalam bidang impor gula. Kalau begini ceritanya, maka petani gula dan pabrik gula lokal, mungkin harus menyiapkan “batu nisan”.
Tapi tetap ada harapan “di darat kita joyo”. Namanya Amran Sulaeman, Menteri Pertanian. Pak Amran sudah mulai bergerak membenahi bendungan dan jaringan irigasi, untuk menambah luas tanam sawah 1.0 juta ha tahun depan. Targetnya ada tambahan produksi 4.0 juta ton GKG atau 2.5 juta ton beras. Lumayanlah.
Tapi, saya kira, bukan hanya irigasi. Satu hal terpenting yang mesti dibenahi Pak Amran adalah soal perbenihan pangan yang sudah kacau-balau mutu dan jumlahnya. Tanpa ketersediaan benih unggul bermutu dalam jumlah mencukupi, maka produktivitas dan produksi pangan nasional tidak mungkin ditingkatkan.Sekalipun tersedia air, juga pupuk, kalau benihnya buruk, maka hasilnya juga buruk.
Bisa dibilang, benih adalah cetak-biru pertanian. Benih buruk, pertanian buruk, kedaulatan pangan “ke laut”. Benih unggul, pertanian unggul, kedaulatan pangan terwujud.
Lalu, yang penting pula, pemberdayaan petani pangan sebagai “subyek” kedaulatan pangan, sebagai pemangku utama. Selama ini, petani pangan lebih sebagai “obyek” kebijakan pangan, dan juga “obyek” industri sarana produksi. Termasuk sebagai “obyek” atau target pasar untuk industri racun tikus dan emposan racun tikus yang didirikan, dikelola, dan dikembangkan Amran Sulaeman.
Agar “di darat kita joyo”, tidak ada pilihan bagi Amran Sulaeman, kecuali menjadikan petani pangan menjadi pengusaha-pengusaha agribisnis pangan (berbasis komunitas, kerakyatan) seperti dirinya sendiri.
Jadi, pilihan kita sangat terang. Menghadap laut tanpa memunggungi daratan. Agar “di laut kita (harus) joyo, di darat kita (jangan) loyo.” Sederhananya: “di laut dan darat kita joyo”. Maksud saya, kita harus mampu mencapai kedaulatan pangan yang paripurna tahun 2019. Sehingga ada alasan untuk memilih kembali Jokowi sebagai presiden berikutnya, atau sebaliknya tidak perlu lagi memilihnya, karena misi sudah tercapai.(*)