Diskusi Ekonomi Islam dengan mahasiswa (1)

Author : Aries Musnandar | Senin, 07 April 2014 09:51 WIB

 

Sebagaimana ciri khas dan sifat anak muda yang serba ingin tahu, cepat tanggap, spontan dan kritis, menjadikan dialog dengan mereka menjadi begitu dinamis. Langsung maupun tidak langsung diskusi interaktif informal tersebut mengingatkan saya juga ketika masih mahasiswa S1 di Jakarta. Dialog, diskusi, berdebat dan sejenisnya merupakan bagian dari kehidupan saya sebagai seorang aktivis mahasiswa kala itu. Oleh karena itu berinteraksi dengan pemuda generasi penerus bangsa ini membuat saya tetap antusias melayani semangat muda mereka yang gencar menggali informasi-informasi berkembang, aktual yang perlu dan penting disimak untuk diimplementasikan sebagaimana mestinya.
Salah satu dialog kami terkait perkembangan ilmu ekonomi yang berdasarkan sharia atau lebih dikenal dengan ekonomi Islam. Semenjak beberapa dekade lalu khususnya di Indonesia geliat konomi Islam (baca: perbankan Islam) demikian gencar mewujud dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat sekitar tahun 1994 di Jakarta yang kemudian menyusul secara cepat Bank-Bank Syariah lainnya. Setelah cukup lama ternyata perkembangan ekonomi Islam masih (tetap) berkutat pada persoalan-persoalan pembiayaan, asuransi dan perbankan. Pemahaman ekonomi Islam tampaknya lebih dimaknai pada aspek-aspek tersebut diatas, padahal ekonomi Islam lebih luas dari yang disebutkan karena ia mengatur semua bentuk kehidupan umat manusia terkait dan seputar persoalan ekonomi, baik dalam perdagangan (jual beli), kesejahteraan dan solidaritas termasuk jaminan sosialnya. Ekonomi Islam tidak hanya menyoroti hak-hak tetapi juga kewajiban yang mesti di jalankan. 
Sepanjang yang saya ketahui paling tidak sistem ekonomi Islam dibangun dalam tataran azas-azas kebersamaan, keadilan dan kekeluargaan seperti anjuran membelanjakan harta di jalan Allah, larangan riba, membagi resiko atau menaggung resiko usaha secara bersama-sama dalam satu kegiatan bisnis, melarang terjadinya eksploitasi atas manusia dan lingkungan dalam kegiatan bisnis (ekonomi) serta yang terakhir menjauhi (dilarang) berbisnis bersifat spekulatif. Dari kelima prinsip itulah sistem ekonomi dibangun sembari mengambil hikmah dari cara-cara Nabi, Sahabat dan Ulama di masa kejayaan Islam, mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.
Diskusi juga berlanjut terkait dengan kondisi perekonomian Islam di Indonesia yang belum \\"mapan\\" dan hampir bisa dikatakan tidak bisa lepas dari cengkeraman tata-cara dan pengaruh ekonomi liberal yang telah lama bercokol sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Islam. Para ekonom Muslim penguasa kebijakan dan elit pelaku ekonomi yang notabene mayoritas dari mereka dididik dalam pandangan ekonomi liberal amat kokoh menyakini kebenaran konsep-konsep Barat, sehingga fundamental ekonomi negara disandarkan dan tak terlepas pada prinsip yang memiliki worldview bukan Islami atau katakanlah worldview Barat. Lalu ilmu yang dilahirkan dalam spektrum ekonomi tertentu itu dianggap sesuai dengan Islam terutama bagi mereka yang meyakini bahwa ilmu (sains) itu bebas nilai, dan meyakni bahwa Ilmu itu netral sehingga tidak terpengaruh dari worldview saintis yang menemukan sains tersebut.
Pada sisi lain sejumlah tokoh berpendapat (saya masuk dalam pandangan ilmuwan kategori ini) bahwa ilmu itu tidaklah netral dan bebas nilai tetapi justeru mengandung nilai tertentu (value laden) berdasar worldview saintis yang menemu-kembangkan sains tersebut untuk kemudian disebarluaskan dengan harapan memiliki value laden yang tidak berbeda. Menurut pengamatan saya ilmu atau sains itu akan berkah manakala saintis yang menemukan atau mengembangkan ilmu tersebut bertaqwa secara lahiriiyyah yang oleh Imam Al Ghazali (dalam Malki Nasir, 2013 hal. 10) disebutkan bahwa taqwa lahirriyah memiliki tiga dimensi ajaran Islam di dalam dirinya yakni ketaatan beribadah berdasar perintah dan anjuran Allah (fara\\'id & nawafil), menjauhi larangan, serta adab atau tata krama pergaulan. Apabila ketiga hal ini melekat erat secara baik dalam diri sang saintis maka insya Allah keberkahan akan diperoleh dan kesejahteran sebagai hasil penerapan ilmu bagi masyarakat luas dapat dalam naungan ridho Nya.
Lantas dalam diskusi itu saya bertanya kepada mahasiswa ekonomi yang tampak sangat antusias mempelajari ekonomi Islam baik secara formal dengan menimba ilmu dalam program studi khusus mempelajari ekonomi Islam atau diluar itu yakni tergabung dalam kajian studi ekonomi Islam, tentang apakah mereka memahami bahasa Arab atau paling tidak sedang mempelajarinya agar dapat mengerti apa yang terkandung dalam al Quran dan Hadist, ternyata mereka belum mempelajari bahasa Arab secara sungguh-sungguh bahkan giat membaca untuk mendalami pemahaman al Quran masih amat terbatas.
Padahal diskusi ekonomi Islam memerlukan rujukan yang benar (dalil-dalil naqli) tidak bisa hanya bersandar pada dalil aqliyyah semata. Saya katakan bahwa belajar bahasa Arab sama pentingnya dengan bahasa asing yang dipelajari mahasiswa Indonesia yakni bahasa Inggris. Bahkan bahasa Arab merupkan pintu masuk memperoleh hidayah Allah untuk dibukakan wawasan pemahamannya sebagaimana dahulu ilmuwan Muslim terkemuka berhasil meletakkan dasar-dasar sains secara spektakuler setelah mereka menguasai pemahaman bahasa Arab (baca: al Quran). Tokoh-tokoh Muslim penemu sains itu dari kecil sudah bergelut dengan bahasa Arab dan tidak hanya hafal al Quran tetapi juga memiliki ilmu bahasa Arab yang sangat tinggi. Saya katakan juga mumpung mereka masih muda masih banyak waktu untuk mendalami al Quran, oleh karenanya mulailah dengan membaca al Quran setiap hari lalu meningkat untuk berupaya menghafalkan, memahami, mendalami dan menghayatinya, insya Allah, keberkahan akan diperoleh. Wallahu a\\'lam
*) Pelaku Bisnis
Penulis buku 
2. Spektrum Ekonomi Indonesia
 
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: