DOMINASI KEPENTINGAN PRIVAT ATAS KEPENTINGAN PUBLIK
Author : Adrian Diarto | Kamis, 16 Juni 2016 06:41 WIB
Pertanyaan seperti : tindak pundi? (mau kemana?) yang diterima ketika berpas-pasan dengan sahabat, tidak jarang dimaknai sebagai pertanyaan yang bersifat usil. Mau tahu urusan orang lain. Padahal, dalam komunitas yang masih lebih akrab, pertanyaan tersebut dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian dan penghargaan. Peduli bahwa barangkali nanti mengalami sesuatu yang tidak diharapkan maka yang sudah mendapat informasi dapat membantu menyampaikan kepada pihak yang membutuhkan : oh, tadi beliau pergi ke kantor kelurahan. Misalnya. Atau, dapat dilihat sebagai penghargaan bahwa orang lain menghargai kepentingan yang akan diselesaikan. Kalimat tanya tersebut biasanya juga diikuti dengan harapan dan dukungan : hati-hati, ya. Atau: semoga cepet beres ya. Ketika masih lebih muda dahulu, berpersepsi-diri kritis dan 'sok-moderen', sempat beranggapan bahwa konteks pertanyaan tersebut terlalu ingin tahu. Kepo dalam bahasa sekarang : ah, kepo banget sih lu!. Ketika beranjak menjadi lebih tua, mendapat sapaan dari orang lain menjadi lebih bermakna. Ada perasaan melegakan bahwa masih merupakan bagian dari orang lain, karena ternyata tidak semua hal dapat diselesaikan dengan kemampuan diri. Almarhum Bapak Imam Djokomono, dosen di Jurusan Arsitektur - UGM selalu melontarkan sapaan yang khas dan dirindukan : Eh, mbok kene to kumpul karo menungsa! (Kemarilah, berkumpul dengan manusia!). Seolah bagian lain adalah bukan manusia atau manusia yang kurang lengkap. Siapakah yang dapat menahan senyum mendengar lontaran itu, meskipun sudah seringkali mendengar. Sesuai dengan mata kuliah yang diampu yaitu Kritik Arsitektur, beliau almarhum selalu menggelitik dengan lontaran-lontaran yang cerdas dan bermakna. Tiga hari sebelum meninggal, sempat kubawakan nasi-gudeg untuk sarapan, tapi beliau menolak karena perutnya masih kurang nyaman. Meski demikian, beliau tetap memaksakan menemani sambil bercanda meskipun dalam keadaan tidak sehat. Berjalan kaki adalah hal yang menyenangkan. Olah-raga yang murah meriah. Cuma modal niat. Karena anggota tubuh sudah dihadiahkan secara percuma. Ketika berjalan kaki menuju ke suatu tempat, selalu saja menerima sapaan : kok tindak kemawon, pak? (kok, cuma berjalan kaki saja pak?). Cara menjawab paling mujarab adalah dengan berkata : njih, pak (iya, pak). Jawaban yang ringkas dan tidak meremehkan pertanyaan meskipun juga belum menjawab sapaan dengan lebih lengkap. Berjalan kaki menuju ke suatu tempat sudah semakin sedikit dilakukan. Mudahnya mendapat alat bantu transportasi menjadi salah satu alasan. Disamping bahwa merasa lebih lelah adalah hal yang biasanya dihindari. Meskipun pada sisi yang lain, merasa lebih lelah karena berjalan adalah pertanda telah melakukan olah fisik untuk tetap menjaga kebugaran dan daya-tahan. Ketika kendaraan bermotor belum seberkembang sekarang, pada ruas jalan dari dan ke Parangtritis, Yogyakarta selalu dilalui ratusan atau mungkin ribuan kereta angin setiap hari. Bahkan rasanya cukup susah untuk menyeberang jalan karena pengendara kereta angin seperti rantai yang berjalan tanpa putus. Dalam satu rumah di kawasan tersebut biasanya memiliki lebih dari satu sepeda, tergantung pada jumlah anggota keluarga yang membutuhkan. Tetapi sekarang kereta angin sudah semakin banyak yang digantikan oleh sepeda motor. Tidak saja menyeberang jalan lebih sulit tetapi relatif lebih berbahaya. Dominasi kendaraan bermotor semakin berkembang. Mungkin karena kendaraan bermotor tidak saja merupakan fasilitas tetapi juga dapat merupakan simbol keberhasilan. Secara umum urutannya setelah memiliki penghasilan adalah membeli (beberapa) rumah dan (beberapa) kendaraan. Tidak mengherankan jalan raya sebagai ruang-publik lalu dipenuhi kendaraan-kendaraan untuk kepentingan privat. Bahkan sampai macet dimana-mana. Jalan sebagai ruang publik sering menjadi hanya nama. Ketika kepentingan bersama akan jalan yang lancar dikalahkan oleh kepemilikan privat, maka alih-alih kenyamanan dapat dinikmati bersama-sama. Yang ada adalah kekalahan bersama, semua diwajib-haruskan 'menikmati' kemacetan.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/diart/dominasi-kepentingan-privat-atas-kepentingan-publik_5762165d337b61df1404f052
Pertanyaan seperti : tindak pundi? (mau kemana?) yang diterima ketika berpas-pasan dengan sahabat, tidak jarang dimaknai sebagai pertanyaan yang bersifat usil. Mau tahu urusan orang lain. Padahal, dalam komunitas yang masih lebih akrab, pertanyaan tersebut dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian dan penghargaan. Peduli bahwa barangkali nanti mengalami sesuatu yang tidak diharapkan maka yang sudah mendapat informasi dapat membantu menyampaikan kepada pihak yang membutuhkan : oh, tadi beliau pergi ke kantor kelurahan.
Misalnya. Atau, dapat dilihat sebagai penghargaan bahwa orang lain menghargai kepentingan yang akan diselesaikan. Kalimat tanya tersebut biasanya juga diikuti dengan harapan dan dukungan : hati-hati, ya. Atau: semoga cepet beres ya. Ketika masih lebih muda dahulu, berpersepsi-diri kritis dan 'sok-moderen', sempat beranggapan bahwa konteks pertanyaan tersebut terlalu ingin tahu. Kepo dalam bahasa sekarang : ah, kepo banget sih lu!. Ketika beranjak menjadi lebih tua, mendapat sapaan dari orang lain menjadi lebih bermakna.
Ada perasaan melegakan bahwa masih merupakan bagian dari orang lain, karena ternyata tidak semua hal dapat diselesaikan dengan kemampuan diri. Almarhum Bapak Imam Djokomono, dosen di Jurusan Arsitektur - UGM selalu melontarkan sapaan yang khas dan dirindukan : Eh, mbok kene to kumpul karo menungsa! (Kemarilah, berkumpul dengan manusia!). Seolah bagian lain adalah bukan manusia atau manusia yang kurang lengkap. Siapakah yang dapat menahan senyum mendengar lontaran itu, meskipun sudah seringkali mendengar.
Sesuai dengan mata kuliah yang diampu yaitu Kritik Arsitektur, beliau almarhum selalu menggelitik dengan lontaran-lontaran yang cerdas dan bermakna. Tiga hari sebelum meninggal, sempat kubawakan nasi-gudeg untuk sarapan, tapi beliau menolak karena perutnya masih kurang nyaman. Meski demikian, beliau tetap memaksakan menemani sambil bercanda meskipun dalam keadaan tidak sehat. Berjalan kaki adalah hal yang menyenangkan. Olah-raga yang murah meriah.
Cuma modal niat. Karena anggota tubuh sudah dihadiahkan secara percuma. Ketika berjalan kaki menuju ke suatu tempat, selalu saja menerima sapaan : kok tindak kemawon, pak? (kok, cuma berjalan kaki saja pak?). Cara menjawab paling mujarab adalah dengan berkata : njih, pak (iya, pak). Jawaban yang ringkas dan tidak meremehkan pertanyaan meskipun juga belum menjawab sapaan dengan lebih lengkap. Berjalan kaki menuju ke suatu tempat sudah semakin sedikit dilakukan.
Mudahnya mendapat alat bantu transportasi menjadi salah satu alasan. Disamping bahwa merasa lebih lelah adalah hal yang biasanya dihindari. Meskipun pada sisi yang lain, merasa lebih lelah karena berjalan adalah pertanda telah melakukan olah fisik untuk tetap menjaga kebugaran dan daya-tahan. Ketika kendaraan bermotor belum seberkembang sekarang, pada ruas jalan dari dan ke Parangtritis, Yogyakarta selalu dilalui ratusan atau mungkin ribuan kereta angin setiap hari. Bahkan rasanya cukup susah untuk menyeberang jalan karena pengendara kereta angin seperti rantai yang berjalan tanpa putus. Dalam satu rumah di kawasan tersebut biasanya memiliki lebih dari satu sepeda, tergantung pada jumlah anggota keluarga yang membutuhkan. Tetapi sekarang kereta angin sudah semakin banyak yang digantikan oleh sepeda motor. Tidak saja menyeberang jalan lebih sulit tetapi relatif lebih berbahaya.
Dominasi kendaraan bermotor semakin berkembang. Mungkin karena kendaraan bermotor tidak saja merupakan fasilitas tetapi juga dapat merupakan simbol keberhasilan. Secara umum urutannya setelah memiliki penghasilan adalah membeli (beberapa) rumah dan (beberapa) kendaraan. Tidak mengherankan jalan raya sebagai ruang-publik lalu dipenuhi kendaraan-kendaraan untuk kepentingan privat. Bahkan sampai macet dimana-mana. Jalan sebagai ruang publik sering menjadi hanya nama. Ketika kepentingan bersama akan jalan yang lancar dikalahkan oleh kepemilikan privat, maka alih-alih kenyamanan dapat dinikmati bersama-sama. Yang ada adalah kekalahan bersama, semua diwajib-haruskan 'menikmati' kemacetan.
Sumber: http://www.kompasiana.com
Shared:
Komentar