Eforia Pemilihan Presiden (Bagian 1): Amandemen UUD 45

Author : Aries Musnandar | Rabu, 20 Agustus 2014 09:36 WIB

Pemlihan Presiden (Pilpres) kali ini merupakan ajang Pilpres keempat semenjak reformasi digulir di tahun 1998. Tetapi Pilpres 2014 yang melibatkan langsung rakyat dalam memilih dan menentukan Presidennya sendiri baru yang ketiga kali dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang diawali dengan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pada kurun waktu itu dan beberapa dasawarsa setelahnya rakyat Indonesia belum terpikir untuk mengadakan Pilpres karena gelora perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan begitu menggema. Pimpinan  revolusi kala itu Soekarno menjadi simbol perlawanan terjadap penjajah. Menjaga kedaulatan dengan mempertahankan kemerdekaan yang telah diumumkan Soekarno Hatta,  atas nama bangsa Indonesia merupakan prioritas utama segenap kompnen bangsa, sehingga tak terpikirkan untuk menjalan sistem demokrasi dalam menentukan pemimpin nasionalnya. Justeru kiprah langsung Soekarno-Hatta dalam menginspirasi dan menggerakkan seluruh rakyat untuk mengusir penjajah dari bumi nusantara dengan sendirinya dianggap oleh rakyat selaku dwitunggal pemimpin bangsa.

Setelah upaya mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda ingin menjajah kembali dengan menumpang tentara sekutu pasca proklamasi 1945 berhasil digagalkan pejuang-pejuang Republik beserta rakyat dengan konsep pertahanan rakyat semesta, maka dimulailah menjalankan konsititusi. Inti dan proses demokrasi  yang diawali dengan pemilihan umum (Pemilu) telah dilakukan oleh bangsa ini pertama kali tahun 1955. Pemilu 1955 ini dikenal sebagai pemilu paling bersih, paling aman dan demokratis yang pernah dilakukan oleh rakyat dan segenap komponen bangsa.  Bahkan dunia internasional tercengang dengan keberhasilan bangsa Indonesia menyelenggarakan Pemilu yang beralnsgung damai padahal Negara ini baru seumur jagung dan tengah menghadapi berbagai masalah bangsa yang cukup berat. Dugaan-dugaan pihak asing yang menganggap sebelah mata kemampuan dan kesungguhan rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara terbukti keliru. Bahkan UUD  45 dan Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa dari hasil kajian mendalam atas adat dan budaya bangsa tidak hanya berhasil mempersatukan keragaman, perbedaan dan kemajemukan bangsa tetapi juga menjadi titik tolah dalam berbangsa dan benegara sehari-hari.  Kekuatan konsep Pancasila pernah ditawarkan Soekarno kepada dunia dalam berbagai kesempatan di forum internasional.        

Kembali kepada Pilpres, sebelumnya presiden dipilih oleh anggota DPR/MPR dalam sidang MPR. Sejak 2004 tepatnya setelah UUD dilakukan amandemen oleh wakil-wakil rakyat produk era reformasi, maka tata cara Pilpres pun diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih. Tahun 2004 Pilpres  pertama yang dipilih langsung oleh rakyat setelah tumbangnya rezim orde baru  telah mengantarakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Wakil Presiden.

Lima tahun berikutnya  di tahun 2009 SBY yang berpasangan dengan Boediono sebagai wakil Presiden terpilih untuk kedua kalinya. Berdasarkan UUD 45 yang diamandemen bahwa masa jabatan Presiden dibatasi hanya 2 kali saja atau selama 10 tahun, sehingga pada tahun 2014 ini SBY tidak bisa lagi maju untuk mencalonkan diri. Otomatis pada tahun 2014 ini bangsa Indonesia akan mendapatkan Presiden baru yang ketujuh atau yang kedua dari versi pilihan langsung oleh rakyat.

Sistem pemilihan langsung oleh rakyat ini tidak hanya pada Pilpres tetapi juga untuk tingkat provinsi, kabupaten, kotamadya bahkan kini pilihan kepala desa pun dilakukan secara langsung. Perubahan ini bukan tanpa masalah bahkan tidak sedikit persoalan muncul teruatam terkait koordinasi ditingkat pusat dan daerah. Kerap kita temukan ketidakharmonisan kepemimpinan antar pimpinan. Kebijakan dan langkah yang diambil guibernur misalnya belum tentu dilapangan dijalankan oleh pemimpin tingkat kabupaten (Bupati) dan kotamdya (Walikota). Salah satu penyebabnya adalah pemilihan langsung itu. Seorang walikota yang merasa dipilih langusng oleh rakyat merasa tidak perlu patuh dan loyal terhadap Gubernur. Padahal kedua jabatan itu juga dipilih oleh rakyat. Fenomena ini umum terlihat dinegara kita semenjak era otonomi daerah diberlakukan, seolah kekuasaan ditingkat yang paling atas tidak ada taring yang membuat kekuatan kepemimpinan di level atas tergerus. Tidak terkecuali wewenang pemimpin di tingkat kepresidenan yang sedikit banyak telah berkurang dari hasil siding-sidang DPR/MPR sebelumnya. Perubahan dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia ini bukan tidak mungkin tetap dinamis dalam arti akan muncul tata aturan baru yang diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang mencuat di lapangan pasca amandemen UUD 45. Memang konstitusi Negara yang diformulasikan dalam UUD 45 bukanlah kitab suci yang tidak dapat dirubah, sehingga penyempurnaan UUD merupakan keniscayaan.

http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4840:eforia-pemilihan-presiden-bagian-1-amandemen-uud-45&catid=35:artikel&Itemid=210

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: