Eforia Pemilihan Presiden (Bagian 2): Langsung dan Tidak Langsung

Author : Aries Musnandar | Kamis, 21 Agustus 2014 09:25 WIB

Seperti telah saya sampaikan dalam tulisan terdahulu bahwa Pilpres langsung baru terlaksana dua kali keberhasilannya yakni tahun 2004 dan 2009. Tahun ini di Pilpres 2014 adalah yang ketiga kali dan kita tengah menantikan hasilnya dengan harap-harap cemas. Kenapa saya katakana demikian? Karena kita tahun bahwa Pilpres langsung melibatkan emosi banyak manusia Indonesia yang dalam setiap Pilpres mereka dikondisikan dalam posisi yang berbeda. Jika dalam Pilpres 2004 dan 2009 rakyat Indonesia terkotak-kotak lebih dari tiga kelompok karena peserta Pilpres saat itu lebih dari 2 pasangan calon. Maka pada Pilpres 2009 rakyat Indonesia “terpecah” dua saja disebabkan pasangan calon yang disahkan oleh KPU memang cuma dua.  Namun demikian justeru dengan hanya ternagi dua ini suasana perpoltikan bangsa  menjadi kian memanas. 

Dalam sistem demokrasi pemilihan langsung seperti sekarang ini siapa saja oaring, apapun status soialnya dan bagaimanpun kualitas dirinya tetap saja hanya mempunyai satu suara. Artinya, seorang suku di pedalaman yang tidak tahu menahu dan tidak peduli dengan persoalan politik bangsa akan memiliki hak suara satu saja yang sama dengan hak suara seorang pemimpin bangsa ini. Dengan demikian, secara logika jika mayoritas penduduk bangsa tidak memiliki kapasitas memahami kondisi bangsa ini kemudian memilih calon pemimpinnya sesuai selera subyektif mereka maka siapapun pemimpiinnya dan apapun kualitasnya maka seluruh rakyat mesti ikhlas menerimanya sebagai Presiden mereka.

Itulah secara singkat bisa digambarkan sistem demokrasi ala pilihan langsung dalam Pilpres kita. Dalam bahasa popular yang sering diungkap para politkus bahwa suara rakyat suara Tuhan, sehingga apapun permintaan rakyat mayoritas (yang dimenangkan melalui pemilu) sebagian rakyat lainnya mesti ikut, manut dan tidak boleh mbalelo. Inilah kenyataan sistem demokrasi kita sekarang ini sebagai produk amandemen UUD 45. Kondisi seperti ini terjadi akibat oknum penguasa orde baru yang berkuasa 32 tahun lebih memberikan tafisran atas UUD secara sepihak sehingga rakyat beranggapan konstitusi telah dilanggar.

Biasanya hiruk pikuk dan tsunami politik muncul kentara manakala kesejahteraan kebanyakan rakyat tidak terpenuhi sehingga mempercepat dugaan bahwa tafsir atas UUD oleh pemerintah keliru. Padahal, pendiri bangsa ini telah susah payah dan sangat cermat menyusun kaidah dalam menentukan pemimpinnya. Hal pokok yang membedakan antara sebelum dan sesudah  UUD 45 diamandemen adalah sistem pemilihan langsung seperti tersebut diatas.  Sebelum UUD 45 diamandemen memang tidak ada hak pilih secara sama dan merata bagi semua rakyat karena pemilihan Presiden misalnya dilakukan oleh rakyat melalui sidang MPR. Keanggotaan MPR terdiri dari wakil-wakil rakyat Indonesia yang diperoleh dari Pemliu dan non pemilu yakni yang diangkat oleh Presiden. Disinilah titik lemahnya dimana wakil rakyat yang diangkat itu bisa jadi mudah untuk dikendalikan oleh yang mengangkatnya.  

Akan tetapi wakil-wakil rakyat dan utusan golongan di MPR tersebut bukan orang-orang sembarangan, mereka merupakan representasi  dari segenap komponen bangsa. Umumnya mereka adalah orang yang telah mendapatkan kepercayaan oleh golongannya atas kapasitas yang dimiliki. Oleh karena itu mereka dianggap mumpuni dan kredibel bersama-sama wakil rakyat terpilih lainnya untuk menentukan Presiden atau pemimpin nasional yang dikehendaki mayoritas rakyat.

Jadi, tidak semua rakyat diberikan hak pilih. Rakyat yang tidak menguasai dan paham akan perpolitikan mempercayakan sepenuhnya kepada wakil mereka untuk menetukan pemimpin nasional. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sistem seperti ini tetapi memang rentan disalahgunakan oleh wakil rakyat apabila mereka tidak amanah dan jauh dari nilai-nilai Islami yang menjunjung tinggi moralitas dalam berbangsa dan bernegara. Inilah mungkin yang menyebabkan bangsa Indonesia lalu mengalami huru hara politik sehingga sempat chaos dan sempat mengalami turbulensi politik yang melahirkan era reformasi itu.

Dengan mengkaji persoalan ini kita bisa mengatakan bahwa kualitas akhlak manusia yang berpolitik sangat menentukan kualitas berbangsa dan bernegara. Jika orang yang diberikan amanah tidak mengembannya secara baik maka kejadian yang tidak diinginkan pun terjadi seperti di Indonesia, ini sudah merupakan ketentuan Allah dalam berbagai wahyu Nya (al Quran). Sayangnya kesalahan yang dilakukan oleh elite bangsa, bukan oleh seluruh rakyat Indonesia telah disikapi dengan mengamandemen UUD 45.  Padahal jikalau kita mengambil ibroh dari tata cara pemilihan pemimpin umat Islam (khalifah) sepeninggal Nabi, ruh dan semangat menentukan pemimpin umat lebih kurangnya mirip dengan sistem yang telah dirumuskan pendiri Republik ini yang dituangkan dalam esensi UUD 45 dan ruh Pancasila yakni sila keempat, berdasarkan azas musyawarah untuk mufakat.  Wallahu ‘alam

http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4841:eforia-pemilihan-presiden-bagian-2-langsung-dan-tidak-langsung&catid=35:artikel&Itemid=210

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: