Eforia Pemilihan Presiden (Bagian 3): Masa Reformasi

Author : Aries Musnandar | Kamis, 21 Agustus 2014 14:08 WIB

Tak pelak lagi begitu rezim order baru tumbang gaung reformasi semakin kencang bergulir. Lalu serta merta kita saksikan banyak sekali elite bangsa yang ingin meraih posisi pemimpin baik ditingkat lokal maupun pusat. Keran demokrasi yang ditutup semasa orde baru seakan-akan dibuka besar-besar membanjiri dinamika perpolitikan bangsa yang akhirnya mencuatkan berbagai problematika dalam berbangsa dan bernegara. Kalau dulu diwaktu orde baru berkuasa rakyat seolah sudah tahu siapa yang akan jadi Presiden selepas Pemilu diselenggarakan, maka pada masa reformasi  kita akan sulit menebak siapa yang akan menjadi Presiden.

Jika dulu Pemilu legilslatif hanya formalitas belaka karena kita sudah tahu terlebih dahulu siapa Presidennya sebelum pemilu diselenggarakan, maka dimasa reformasi ini Pemilu legislatif menjadi begitu penting untuk menentukan siapa calon-calon Presiden yang akan maju dalam kontestasi Pilpres. Rakyat bahkan elite pun tidak akan mudah menebak siapa yang akan menang dalam Pilpres atau Pileg karena rekayasa yang dulu dilakukan secaragmblang kini semakin sulit terjadi, sehingga kita saksikan dugaan-dugaan banyak orang meleset terhadap hasil Pemilu. Sebagai contoh lembaga survei  pernah keliru dalam mengumumkan hasil penelitiannya bahwa partai-partai Islam dan berbasis massa Islam pada Pileg 2014 ini akan terpuruk bahkan tidak akan mendapatkan hasil yang signifikan di parlemen dibandingkan periode 2009 lalu.

Tetapi apa yang terjadi? Meski lembaga survei  itu selalu gembar gembor bahwa apa yang dilakukannya telah melalui prosedur ketat dan presisi sebagai bagian dari masyarakat ilmiah yang mengedepankan profesionalitas, tetapi toh hasill survei mereka keliru terhadap partai-partai Islam itu. Ternyata partai-partai Islam yang mereka prediksi terpuruk dari percaturan politik elite DPR malah berjaya bahkan ada yang suaranya naik dua kali. Ini mencerminkan bahwa dinamika politik di level bawah (grass root) tidak dapat diprediksi dengan baik meski telah menerapkan metode ilmiah sekalipun. Inilah Negara Indonesia yang pada era reformasi ini situasi politiknya amat cair dan dinamis.

Di satu sisi hal ini bisa jadi merupakan pendidikan politik yang baik bagi rakyat, namun disisi yang lain bukan tidak mungkin apabila tidak dikendalikan dan dicermati secara baik dan benar akan menyebabkan kontra produktif bagi upaya mensejahaterahkan rakyat itu sendiri. Disinlilah diperlukan kearifan pemimpin agar situasi dan kondisi tersebut  dapat dikelola menjadi kekuatan bangsa yang berguna bagi pembangunan bangsa kedepan. Presiden sebagai pemimpin tertinggi bangsa yang mengelola demikian besar kekayaan alam, potensi, budaya dan faktor demografi lainnya mestilah seorang yang cerdas, kuat, tangguh dan amanah agar mampu menjadi faktor pendorong peningkatan kualitas bangsa di berbagai sisi.

Pada masa reformasi bermunculan partai-partai dengan beragam ideologi yang dianut. Sepanjang  tidak bertentangan dengan UUD 45 dan Pancasila apapun ideologi yang diusung partai diperbolehkan, sesuatu yang amat berbeda manakala dahulu tafisr UUD 45 dan Pancasila hanya milik penguasa dengan kepetingan yang melingkupinya. Oleh karena itu, partai yang memenuhi ketentuan bisa mengajukan calon Presidennya sendiri. Tetapi bagi yang tidak memenuhi ketentuan pun masih boleh mengajukan calon Presiden dengan menggandeng partai lain baik yang seideologi ataupun tidak. Inilah yang menjadikan partai-partai di Indonesia menjadi tidak jelas lagi “jenis kelaminnya” karena partai yang berideologi agama tertentu bisa berkoalisi dengan partai nasionalis atau yang lain. Ketidakjelasan ini membuat kehidupan politik di Indonesia terlalu cair, sehingga pada batas-batas tertentu rakyat akan sulit membedakan esensi ideologi partai yang diusung.  

http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4842:-eforia-pemilihan-presiden-bagian-3-masa-reformasi&catid=35:artikel&Itemid=210

Partai-partai yang mengusung ajaran Islam dan berbasis massa Islam juga amat pragmatis. Mereka di masa reformasi malah sulit untuk bersatu. Padahal jikalau mereka bersatu mengusung calon sendiri dimungkinkan oleh undang-undang Pilpres. Sayangnya, dalam Pilpres kali ini kesatuan dan persatuan partai Islam tak kunjung tiba. Akhirnya, mereka memilih jalannya masing-masing. Hal inilah kemudian orang mengatakan tidak ada bedanya antara partai Islam dan non Islam. Sama saja! Pernyataan ini tidak salah manakala kita menyaksikan panggung politik dalam menentukan calon Presiden yang baru lalu. Tampaks ekali bahwa ternyata kualitas elite Muslim di partai-partai tersebut belum menunjukkan suatu hal yang membanggakan khususnya dalam upaya secara bersama-sama menegakkan kalimat Tauhid di bumi pertiwi ini. 

Ukhuwah Islamiyah terkalahkan dengan ukhuwah wathoniyyah karena partai Islam terasa tidak percaya diri sehingga menyatu dengan partai lainnya. Padahal, sebagai partai Islam wajib hukumnya untuk menerapkan syariah Islam  dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam al Quran dan Hadist.  Sepanjang komitmen elite politisi Islam tetap pada apa yang diusungnya maka koalisi partai mungkin bisa menarik sekaligus ladang dakwah mereka. Tapi apabila elite partai Islam berkualitas buruk maka dikuatirkan cita-cita menjadikan Islam yang rahmatan lil alamin menjadi jauh dari harapan.  Wallahu 'alam.

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: