Eforia Pemilihan Presiden (Bagian 6): Pendidikan Politik

Author : Aries Musnandar | Senin, 25 Agustus 2014 09:57 WIB

Hingar bingar Pilpres dalam satu dua bulan terakhir ini langsung maupun tidak langsung telah turut  mempengaruhi dinamika kehidupan bermasyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi tersebut bisa mendatangkan nilai manfaat yang besar tetapi juga dapat mencuatkan mudharat bagi bangsa ini apabila tidak berhasil menjadikan momentum Pilpres 2014 sebagai pendidikan politik yang baik. Manakala para calon yang berkontestasi dalam Pilpres menunjukkan sifat-sikap negarawan yang diketahui publik secara luas, namun pengejawantahan itu bukan merupakan bentuk acting melainkan muncul dari hati yang ikhlas dan tulus.

Kita menyaksikan deretan peristiwa politik yang sangat dinamis seusai hasil pemilu legislatif (Pileg) 2014 dimulai dari upaya menentukan calon Presiden dan Wakilnya, pendaftaran para calon ke KPU, kampanye hingga rampungnya pemngutan suara Pilpres. Saat ini rakyat Indonesia tengah menantikan hasil resmi dari KPU terkait siapa Presiden pilihan rakyat untuk memimpin Indonesia kedepan sampai tahu 2019.

Serentetan kejadian politik terkait Pilpres ini bagi kita rakyat biasa dapat mencermatinya dengan baik. Banyak ibroh yang bisa dipetik dari tampilan politik kedua kubu calon Presiden. Keputusan dan tindakan yang mereka lakukan bisa mencerminkan tipe manusia seperti apa calon pimpinan kita itu. Mulai saat mereka berinteraksi satu sama lain dalam menetapkan koalisi partai, menata deklarasi pasangan calon, bentuk-bentuk kampanye, sikap dan perilaku dalam berdebat hingga cara menaggapi berbagai fitnah dan “serangan’ dari kubu lawan.

Seringkali masyarakat beranggapan bahwa politisi itu bukanlah negarawan karena politisi memiliki kepentingan tertentu sehingga dianggap mengabaikan kepentingan Negara. Padahal sesungguhnya politisi yang baik itu adalah negarawan juga,. Cuma di negeri ini sudah terlanjur stigma yang mengungkapkan bahwa politisi bukanlah negarawan. Anggapan semacam ini tidak sepenuhnya keliru jikalau melihat kenyataan di Indonesia bahwa politisi kerap menunjukkan sikap yang tidak menunjukkan kenegarawanban. Misalnya, sudah bukan rahasia lagi hubungan politik antara SBY dan Megawati tidak berjalan baik sehingga secara pribadi pun hampir bisa dikatakan tidak ada komunikasi. Jadi ganjalan hubungan ini bukanlah semata-mata masalah komunikasi politik tetapi sudah menyangkut subyektifitas pribadi.

<span style="\\"\\\\"font-size:\\"" 12pt;="\\"\\"" font-family:="\\"\\"" \\\\\\'times="\\"\\"" new="\\"\\"" roman\\\\\\',\\\\\\'serif\\\\\\'\\\\\\"="\\"\\"">Kita juga menyaksikan sejumlah tayangan politik yang paradoks atau bertolak belakang, misalnya ada hasil wawancara yang amat keras menyinggung capres tertentu bahkan sampai mengatakan bahwa Negara akan hancur jika dipimpin oleh sang Capres tersebut. Namun akhir cerita ternyata elite ini malah menerima pinangan sang Capres dimaksud untuk menjadi calon Wakilnya. Peristiwa politik yang kontroversi semacam ini tdak hanya satu dua kali terjadi tetapi seringkali kita melihatnya. Apabila kita jeli dan memiliki kepedulian akan kualitas pribadi unggul dari calon yang kita pilih, maka kita akan banyak menemukan sikap-sikap dari elite politik kita yang paradoks dan kontraproduktif. Sayangnya saya merasakan bahwa masih banyak dari kita yang masuk dalam ketegori pemilih tradisonal-emosional dalam memilih pemimpinnya. Manusia yang masuk dalam kategori ini tidak terlalu peduli dengan hal-hal bertentangan seperti tersebut diatas. Ketika pemilih sudah tertambat hatinya dengan salah satu calon secara emosional maka sikap-sikap bertentangan terkait dengan integritas sudah tidak begitu peduli. Sedangkan kategori pemilih rasional menurut hemat saya di Indonesia belum sebanyak pemilih emosional, sehingga masih membutuhkan waktu sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan baik formal maupun non formal. Contoh-contoh dari elite politik dalam bersikap dan berperilaku juga bisa menjadikan wahana pendidikan politik bagi rakyat. Namun apabila karakter elite politik kerap bertentangan secara etika dan kesantunan politik serta jauh dari intgritas yang ditampilkan diruang publik maka hal ini bisa berdampak negatif bagi rakyat karena disuguhkan dengan cara-cara yang tidak menunjukkan kenegarawanan. Pendidikan politik yang paling baik sesungguhnya datang dari model-model yang ditunjukkan elite bangsa ini. Melalui pendidikan non formal ini bisa memperkuat pendidikan formal terkait pembentukan karakter bangsa. Kesimpulan, Presiden adalah pemimpin bangsa, ia harus memiliki keunggulan pribadi yang melebihi rakyat awam sehingga dapat menjadi inspirasi bagi rakyat untuk meniru perilaku unggulnya tersebut. <span> </span><span> </span><span> </span><span> </span><span> </span><span> </span><span> <br><br>sumber:<br>http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4846:eforia-pemilihan-presiden-bagian-6-pendidikan-politik&catid=35:artikel&Itemid=210<br></span></span></p>

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: