Hery Firmansyah SH AFF WM MHum MPA
Kepala Bidang Pidana Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Bantuan Hukum Perindo
MEGASKANDAL korupsi e-KTP kini tengah mengawali babak baru, setelah melewati proses panjang dan lama di medio 2014 akhirnya dua tersangka telah beralih status menjadi terdakwa. KPK sudah menyampaikan, tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lain dalam kasus ini.
Tentu jantung siapa pun pihak yang terlibat dalam permufakatan jahat kasus ini akan terus berdetak kencang. Kasus e-KTP layak dinobatkan sebagai megaskandal korupsi dengan banyak saksi yang diperiksa serta pengembalian sejumlah uang yang dilakukan oleh ”oknum” legislatif. Hal ini juga ”dimeriahkan” dengan turut serta sejumlah korporasi yang mengembalikan uang komisi kepada KPK.
Berkaca pada lambatnya penanganan kasus e-KTP oleh KPK dikatakan sebagai sebuah tren baru dengan modus yang berbeda dari kasus korupsi lain yang pernah ditangani oleh KPK. Dengan begitu, pendalaman kasus oleh KPK memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Faktanya, dengan modus yang seperti apa pun perkara tersebut adalah perkara korupsi yang merupakan ranah domain utama bagi KPK untuk dapat ditelisik dan diungkap di publik.
Dalam khasanah ilmu kriminologi tentu saja pelaku kejahatan akan terus memodifikasi cara mereka melakukan kejahatan untuk menghapus jejak dan kemudian tidak dapat terlacak. Sampai kapan pun pelaku kejahatan akan berusaha untuk satu langkah lebih maju dari aparat penegak hukum.
Polemik dalam Penanganan Korupsi
Prinsip kehati-hatian dalam proses penanganan perkara pidana mutlak diperlukan, namun tidak boleh meninggalkan esensi dari penanganan perkara pidana yang cepat. Kasus korupsi penanganannya harus disegerakan agar jangan sampai terbit kesempatan bagi para pelaku korupsi untuk menghilangkan bukti.
Dua terdakwa yang kemudian duduk di kursi pesakitan sekarang ini jangan sampai hanya menjadi awal yang manis dan akhirnya kontraproduktif. Tentu KPK wajib melakukan ikhtiar yang sungguh-sungguh dalam mengurai benang kusut kasus ini.
Jika melihat model praktik korupsi yang tengah terjadi, mustahil tidak ditemukan keterlibatan pihak lain yang memiliki kekuasaan di dalamnya. Bagaimana tidak mudahnya meloloskan suatu kegiatan dengan cap pemerintah adalah suatu hal yang sudah kita ketahui bersama, tentu KPK harus melihat patron yang terjadi tidak hanya dari luar, namun dari dalam pengusungan proyek itu ketika terjadi proses perumusannya.
Dengan angka yang fantastis, dana tersebut dapat digulirkan dengan segi kemanfaatan yang jauh panggang dari api. E-KTP yang digadang-gadang sebagai proyek prestisius dengan mengusung sistem single identity number ternyata dari keterangan salah satu mantan anggota DPR di Komisi II saat itu sudah banyak menimbulkan pro dan kontra. Dana lebih dari Rp6 triliun tidak sepadan dengan manfaat yang ditebar dari proyek ini.
Ketaatan terhadap suatu teknis hukum yang telah diatur seharusnya tidak hanya dimaknai secara prosedural. Namun, lebih dari itu, harus dianggap sejajar dengan ketaatan yang ditimbulkan dari perintah UU. Proyek ini ketika dinyatakan bermasalah oleh catatan KPPU tentu tidak boleh diabaikan.
Habitus Korupsi
Bentuk lain dari korupsi yang berapa tahun belakangan ini menghiasi berita di media adalah ada satu bentuk korupsi yang terjadi di ranah politik. Hal ini adalah hal yang masih baru kita kenal dalam dunia peradilan. Walaupun klausul tersebut tidak ditemukan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam kasus mantan Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, Rina Iriani Sri Ratnaningsih.
Jika saja benar dugaan bahwa ada keterlibatan aktif dari lingkar legislatif yang kemudian diarahkan ke partai politik, tentu saja KPK tidak boleh tinggal diam. Semua informasi yang ada harus dijadikan oleh KPK sebagai pintu masuk awal pengungkapan kasus ini sampai ke akar-akarnya.