Hari Kelulusan, Kebangkitan Nasional ,dan Realitanya

Author : Angga Yuda Pradana | Rabu, 21 Mei 2014 13:07 WIB

Kelulusan merupakan tujuan akhir dari suatu proses pendidikan. Proses pendidikan yang dibuat sedemikian rupa dari pembelajaran yang bersifat teroritis hingga praktis. Sebuah proses pendidikan yang hasil akhirnya harus ditentukan melalui suatu mekanisme yang di sebut Ujian Nasional (UN). Kelulusan bisa bearti juga gerbang awal untuk memulai langkah selanjutnya menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pintu masuk menuju sebuah proses pendidikan selanjutnya.

Selasa, 20 Mei 2014 bertepatan dengan hari kebangkitan nasional diumumkanlah kelulusan ujian nasional Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Entah mengapa dipilih tanggal 20 Mei? Mungkin harapannya pelajar Indonesia menjadi bibit-bibit kebangkitan nasional meneruskan cita-cita Dr. Soetomo dan rekan-rekannya saat itu dengan didirikannya Boedi Oetomo sebagai pergerakan nasional yang berjuang melalui pendidikan serta budaya.

Pelajar sebagai tumpuan bagi kebangkitan nasional dalam dunia pendidikan dan budaya. Harapan yang wajar karena pelajar mengenyam pendidikan untuk membangun karakter serta moral berkepribadian yang sesuai dengan nila-nilai luhur agama.  Integritas serta idealisme sebagai pelajar diharapkan masih murni, belum terkotori oleh carut marutnya tata kelola pendidikan itu sendiri. Namun benarkah itu yang terjadi. Sedikit realita yang terpampang  jelas selepas pengumuman kelulusan bisa menjadi bahan renungan.

Rasa syukur yang tak terhingga mengetahui lulus UN setelah melalui proses panjang selama tiga tahun dengan dijejali teori-teori berbagai cabang ilmu pendidikan. Setelah mengalami proses itu sampailah pada penentuan akhir bahwa tiga tahun yang dilewati itu seolah tak akan bearti bila tiga hari yang menentukan  tak dapat dilalui dengan mulus, minimal melampaui batas kelulusan yang ditetapkan tahun 2014 sebesar  empat koma nol (4,0) untuk setiap mata pelajaran yang diujikan dan lima (5) untuk rata-rata semua mata pelajaran yang diujikan.

Ungkapan syukur mereka yang lulus disalurkan dengan berbagai cara. Corat-coret seragam SMA dilanjutkan konvoi mengelilingi kota menjadi tradisi tahunan. Alasan yang paling sering dilontarkan saat ada yang kurang setuju dengan hal itu adalah “kapan lagi, seumur hidup sekali ini saja, kapan lagi bisa merasakan euforia yang seperti ini”. Untuk corat-coret seragam memang hak mereka, namun ada langkah lain yang lebih bijak misalnya dengan menyumbangkan seragam tersebut ke orang yang secara ekonomi tak mampu. Konvoi pun sah-sah saja, namun menjadi urakan, semrawut, dan melanggar hukum ketika konvoi yang dilakukan sampai menutupi semua badan jalan hingga pengguna jalan lain yang berlawanan arah kesusahan menembus barisan mereka. Apalagi sering dijumpai dengan membunyikan klakson yang beruang-ulang hingga memekakkan telinga. Belum lagi kebiasaan mereka tak mengenakan helm.

Yang lebih mengherankan lagi saat semua itu berlangsung, petugas yang berwenang mengatur tertibnya lalu lintas yaitu Polisi lalu lintas (Polantas) terkadang membiarkan pelanggaran itu terjadi. Salah kaprah jadinya, yang tidak melanggar dicari-cari kesalahannya sedangkan yang jelas-jelas terlihat ada pelanggaran dibiarkan begitu saja, hanya dimaklumi.

Inikah bibit-bibit yang diharapkan bisa membawa kebangkitan nasional? Inikah hasil dari pendidikan yang ditanamkan selama ini? Menjadi pertanyaan yang terus berulang tiap tahunnya melihat kejadian itu juga selalu berulang setiap hari kelulusan. Miris lulus dari salah satu jenjang pendidikan, hanya lulus sebatas nilai-nilai yang tertera pada selembar kertas hasil UN, namun etika dan moralnya masih perlu dipertanyakan.

Namun tidak semua berlaku demikian. Masih banyak yang melakukan tindakan positif seperti membagikan sembako, menyumbangkan seragam, dan tindakan positif lainnya. Rasa syukur itu baik, maka mereka memilih untuk mengungkapkannya dengan hal yang baik pula.

Fenomena tahunan yang bisa dijadikan alat untuk introspeksi bagi dunia pendidikan khususnya dan pemerintah pada umumnya, bahwa sedikit banyak kericuhan di internal pendidikan akan mempengaruhi hasil dari proses pendidikan itu sendiri. Tak perlu omong kosong dengan berbagai pembenaran yang mengatasnamakan demi kemajuan pendidikan namun pada kenyataannya pendidikan kita selalu jauh tertinggal dari negara tetangga dengan degradasi moral yang kian akut.

Semoga harapan kebangkitan nasional yang menjadikan negara ini mandiri dan bermartabat masih ada bukan sekadar angan-angan belaka. Selamat buat adik-adik SMA yang telah dinyatakan lulus, dan apresiasi yang tinggi bagi mereka yang mengungkapkan rasa syukurnya dengan hal-hal yang positif tanpa mengganggu ketertiban bersama.

Sumber: http://edukasi.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: