Beberapa hari yang lalu, Sabtu (8-11-2014) saya mengikuti Pelatihan Kurikulum2013 di SLB N Kota Gajah, Lampung Tengah, dengan sasaran pada aspek penilaian dan pengisian raport. Meskipun pertemuan tersebut seharusnya kelanjutan dari pelatihan kurikulum yang lain, tapi menurut saya ada beberapa hal yang dapat saya petik serta beberapa sisi yang akan ditemui tatkala para guru benar-benar mengimplementasikan kurikulum baru tersebut.
Sebagaimana dunia pendidikan di Indonesia memang belum sepenuhnya menemui titik kesempurnaan. Sehingga, apapun produk yang dihasilkan dari lembaga pendidikan kita selalu saja menemukan titik ketidak puasan pengguna lulusannya. Jika dianalogikan dunia pendidikan pun selayaknya sebuah mesin pencetak (mesin produksi), semua direncanakan (planing), diorganisasikan (organizing), dilaksanakan (actuating), dikontrol (controling), dievaluasi (evaluating) dan tentu saja ditindaklanjuti (follow up) agar apapun yang dilalui dapat didiperoleh solusi guna perbaikan selanjutnya.
Semua diawali dari adanya proses perencanaan yang juga tak sesederhana seperti dalam sebuah teori, karena yang diproduksi adalah seorang manusia yang utuh. Di mana mereka memiliki dimensi jasadiyah (fisik) dan rohaniyah (jiwa) sekaligus dimensi akliyah (fikiran). Yang semuanya tersimpul dan tersistem menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan. Tatkala proses pendidikan mulai direncanakan, diproses hingga melahirkan generasi baru tentu semuanya diawali dari konsep di atas.
Seperti halnya teori tabularasa, bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci, kemudian dengan sebuah proses interaksi dengan Tuhan, manusia dan lingkungannya, manusia menjadi makhluk yang utuh sebagai manusia yang sebenarnya. Sebagaimana dalam Islam diistilahkan dengan hablumminallah, hablum minannas dan hablum minal’alam. Tiga dimensi hubungan ini tak pun tak dapat dipisahkan dalam proses mencetak lulusan-lulusan yang sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia.
Bagaimana pun situasinya, dan siapapun serta apapun baik yang memproses dan yang diproses tersebut semestinya menggunakan prinsip tersebut agar semua proses berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang optimal. Seperti sebuah perusahaan, jika segalanya dilalui dengan sistem dan mekanisme yang matang dan sempurna, maka amat besar kemungkinan hasilnya juga akan sempurna. Meskipun tidak ada yang sempurna di dunia ini, beberapa hal menjadi penyebab kegagalan, tapi kegagalan merupakan bagian dari proses menuju kesempurnaan. Meskipun proses pendidikan tak sesederhana seperti mencetak barang antik sekalipun, karena begitu kompleksnya pribadi manusia yang masing-masing memiliki perbedaan.
Menelaah Kurikulum 2013 sebagai Implementasi Manusia Berbudaya
Apapun sebuah hasil karya, saya menyebut Kurikulum 2013 adalah sebuah hasil cipta, karsa, dan karya manusia (kebudayaan) yang bertujuan melahirkan generasi-generasi Indonesia yang terdidik dan mampu menjiwai serta mengimplementasikan tiga kompetensi, yaitu kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan. Meskipun hakekatnya pendidikan di Indonesia sudah dirumuskan dilaksanakan berdasarkan ketiga komponen yang menjiwai, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Tentu semua harus seiring sejalan dan diaplikasikan dalam pendidikan secara utuh agar outputnya pun adalah generasi yang benar-benar utuh.
Generasi yang tidak hanya mengandalkan pengetahuan, hanya menguasai ilmu tertentu dalam bentuk nilai, tapi mereka tak menjiwai ilmu yang diperoleh dalam sebuah sikap hidup dan menjadi cerminan hidup mereka tatkala harus mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Karena pengetahuan tanpa penghayatan, maka seseorang akan cerdas dari dari segi pemikiran, tapi kering jiwanya. Mereka cerdas tapi tak memiliki kepekaan sosial dan kekuatan dan keteguhan jiwa, serta tak mampu menggunakannya dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula jika mereka mampu menguasai sebuah konsep dalam ranah kognisi dan afeksi (penghayatan dan sikap) tanpa mampu mengamalkannya pun akan menjadi kesulitan ketika berhadapan dengan dunia nyata. Karena kemandirian pun sangat dibutuhkan sebagai bekal masa depan mereka.
Maka tak dapat disangkal lagi, bahwa saat ini Indonesia benar-benar membutuhkan tiga kompetensi tersebut, agar pendidikan kita melahirkan generasi yang cerdas logika, baik jiwanya dan tentu saja mampu mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebuah kesalahan, manakala ketika pendidikan hanya berdasarkan nilai ujian dengan sederet angka-angka, tapi mereka sama sekali tidak menjiwai dan mengamalakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lulus cumlaud bagi mahasiswa atau nilai rata-rata sembilan koma sembilan bagi anak-anak sekolah tapi mereka belum bisa bersikap jujur dan mandiri dan berdikari pun kurang disebut layak.
Mereka anak-anak jenius, tapi memiliki karakter (kepribadian) yang buruk. Suka menciptakan konflik dan bukan membuat solusi. Suka mencari masalah dan bukan penyelesai sebuah persoalan di masyarakatnya.
Mereka ahli agama dan pintar di sekolah dengan nilai tinggi, tapi setelah bekerja mereka suka bermain-main anggaran negara dengan korupsi. Kurikulum 2013 paling tidak memberikan solusi alternatif atas rusaknya generasi muda dengan sistem pendidikan yang utuh dan menyeluruh (komprehensif).
Kurikulum 2013, Bukanlah Produk Sekali Jadi
Sebagaimana paparan di atas, bahwa kurikulum 2013 pun hakekatnya memiliki tujuan yang kurang lebih sama dengan kurikulum sebelum-sebelumnya (KTSP). Karena bagaimanapun juga, implementasi kurikulum ini pun hakekatnya mengacu kelebihan dan mengoreksi kekurangan yang ada dari kurikulum tersebut. Meskipun demikian, sebaik apapun ciptaan manusia tentu memiliki banyak kekurangan di sana-sini. Sehingga amat wajar suatu saat nanti kurikulum terbaru tersebut hendak dianalisis, dikritisi, dan dicari kelemahannya untuk kemudian dilengkapi dan disempurnakan seiring dengan perkembangan dan penggunaan kurikulum ini di lapangan.
Sebagaimana pernyataan Mendikbud bahwa “Nanti saya akan buat evaluasi pada kurikulum 2013,” (Kompas.com) Dengan demikian apapun yang terjadi, pada saatnya nanti kurikulum tersebut akan dievaluasi kembali dan tentu saja akan diperbaiki lagi sesuai dengan tingkat kebutuhan yang mendesak. Apalagi dengan hadirnya kurikulum tersebut ternyata memicu respon yang beragam dari guru selaku ujung tombak kurikulum tersebut.
Apapun bentuknya, kurikulum adalah produk yang belum sepenuhnya memenuhi harapan pendidikan di Indonesia, sehingga membutuhkan evaluasi dan perbaikan di sana-sini agar lebih sempurna dalam tataran implementasinya. Yang pasti, melibatkan semua komponen pendidikan di antaranya guru dan para siswa serta lembaga lain yang turut concern dalam dunia pendidikan.
Bagaimana Guru Sebaiknya?
Sebagai seorang praktisi pendidikan, seorang guru pun menjadi sasaran kurikulum yang menjadi pedoman mereka dalam melakukan tugasnya. Karena tanpa kurikulum yang jelas, maka kerja guru akan terhambat. Dampaknya adalah proses pembelajaran terjadi ketimpangan, serta sudah dapat dipastikan ketika proses pembelajaran saja tidak berjalan mulus dan penuh kesalahan maka harapan memperoleh generasi tangguh dan membanggakan tinggallah mimpi belaka.
Meskipun demikian, sebagai pelayan rakyat dan abdi negara, seorang guru tetap dituntut mampu mengemban amanah tersebut dengan sebaik-baiknya, meskipun saat ini guru harus berusaha kreatif dengan kondisi yang kurang memenuhi harapan guru. Seperti ketersediaan buku yang belum sepenuhnya terpenuhi serta media pembelajaran yang juga masih sangat memprihatinkan.
Guru menjadi ujung tombak pelaksanaan kurikulum tersebut, meskipun sebaik apapun sebuah kurikulum, jika para pendidiknya tidak memenuhi kompetensi yang diharapkan maka hasilnya pun kurang maksimal. Sehingga dengan kondisi tersebut, guru tetap harus memperbaiki diri dan meningkatkan kompetensinya secara bertahap agar pengejawatahan kurikulum tersebut dapat dilakukan dengan tepat sasaran. Sebagaimana disampaikan Bapak Mendikbud beberapa waktu lalu.
Guru tetaplah menjadi sosok yang serba bisa dalam kondisi apapun. Bahkan seandainya tanpa media dari pemerintah, sepatutnya guru dan siswa mampu memaksimalkan kegiatan pembelajaran berdasarkan media lain yang ada di lingkungan serta alam sekitarnya, sambil secara perlahan memenuhi setiap harapan guru terkait kurikulum yang benar-benar layak pakai, buku-buku yang tersedia serta media pembelajaran yang juga mencukupi.