Beberapa waktu yang lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Rodham Clinton, kembali mengunjungi Indonesia untuk yang ke dua kalinya pada hari Senin (03/09/12). Kedatangan Hillary ke Indonesia untuk membahas isu kemitraan strategis Indonesia-AS, serta isu sengketa Laut China Selatan.
Isu keamanan di kawasan Asia-Pasifik memang saat ini menjadi perhatian utama pemerintahan Barack Obama. Setelah menghabiskan banyak tenaga dan perhatian di Timur Tengah dalam Perang Melawan Terorisme, pada masa pemerintahan George W. Bush, Obama mulai menggeser poros strategi dan kebijakannya di kawasan Asia. Hal itu disebabkan oleh – selain kepentingan ekonomi – peningkatan militer China yang mengkhawatirkan negara-negara sekutu AS di Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, dan juga Filipina.
Dalam majalah Foreign Policy (November 2011), Hillary secara eksplisit mengatakan “masa depan politik akan ditentukan di Asia, bukan di Afghanistan atau Irak, dan Amerika Serikat akan beraksi tepat di tengahnya.†Ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak main-main untuk memusatkan perhatiannya di kawasan Asia-Pasifik. Kehadiran AS dinilai perlu untuk melindungi kepentingan nasional negara-negara sekutunya.
Dalam upaya melindungi kepentingan sekutunya tersebut, pemerintahan Obama memiliki tiga prinsip utama. Pertama, mempertahankan konsensus politik dengan negara sekutu. Kedua, memastikan sekutu-sekutu AS tetap gesit dan adaptif untuk menghadapi tantangan-tantangan serta menangkap peluang-peluang baru. Ketiga, menjamin kemampuan pertahanan dan infrastruktur komunikasi negara-negara sekutu, baik secara operasional maupun material, agar dapat menangkal provokasi dari negara lain atau pun aktor non negara. Secara umum, kehadiran AS bertujuan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Pasifik.
Realitas Politik Internasional
Di sisi lain, jika kita melihat dari sudut pandang China, perubahan strategi AS ini dianggap sebagai upaya untuk “membendung†peningkatan kekuatannya. Alih-alih dipandang mempromosikan stabilitas dan perdamaian, kebijakan AS ini justru bersifat kontraproduktif dan akan semakin memperparah situasi yang memang telah memanas tanpa kehadiran AS, terutama pada sengketa Laut China Selatan.
Realitas politik internasional memang seringkali berbeda dengan apa yang diucapkan oleh para pemimpin negara. Pemimpin negara bisa saja mengatakan tidak memiliki ambisi teritorial atau menjadi kekuatan dominan di kawasan, akan tetapi logika politik internasional kerap kali berbeda dengan apa yang diharapkan para pemimpin negara. Sudah menjadi hal yang umum jika “peningkatan keamanan satu negara justru menurunkan keamanan negara lainnya.†Inilah dilema keamanan.
Peningkatan kekuatan militer China, meskipun untuk alasan keamanan, akan menurunkan derajat keamanan negara-negara lain di sekitarnya. Peningkatan militer China dianggap sebagai ancaman. Untuk meningkatkan derajat keamanannya, negara-negara seperti Filipina dan Jepang, melakukan perimbangan dengan membawa serta AS ke dalam politik kawasan. Mereka membutuhkan bantuan AS untuk mengimbangi kekuatan militer China yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Doktrin Natalegawa
Bagaimana Indonesia, sebagai aktor utama di dalam ASEAN, menempatkan dirinya dalam area real politics di kawasan Asia-Pasifik? Apakah Dynamic Equilibrium bisa menandingi politik perimbangan kekuatan?
Sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, dynamic equilibrium merupakan sebuah doktrin yang menekankan tidak adanya satu kekuatan dominan di kawasan. Keseimbangan dinamis berarti tidak ada satu negara dominan di kawasan, menghilangkan inklusivitas dan meningkatkan peranan negara-negara di dalam isu-isu multisektoral, tidak hanya politik, tetapi juga lingkungan, ekonomi dan sosio-kultural. Hal ini, seperti yang disampaikan Marty di Council on Foreign Relations, yang berbeda dari politik perimbangan kekuatan klasik.
Doktrin Natalegawa ini esensinya ingin mengikat kekuatan-kekuatan besar global untuk bersama-sama memberikan kontribusi bagi stabilitas dan pembangunan di kawasan. Dengan pendekatan dialog untuk setiap permasalahan yang muncul, diharapkan akan mengikis perasaan saling curiga dan diplomasi rahasia di antara negara-negara di kawasan.
Meskipun patut diberikan apresiasi, doktrin Natalegawa ini juga berpotensi memunculkan permasalahan besar di kawasan. Jika tidak dengan konsisten menjaga keseimbangan yang dimaksud, maka negara-negara di kawasan akan tergelincir kepada politik perimbangan kekuatan klasik. Jika pendekatan dialog tidak dapat menciptakan keadilan dan menjamin keamanan negara-negara kawasan, maka tidak ada jalan lain bagi mereka selain “mengundang†kekuatan besar untuk melindungi kepentingan nasionalnya masing-masing.
Pekerjaan rumah Indonesia, dan ASEAN secara lebih luas, sangatlah berat. Mengingat di kawasan Asia-Pasifik terdapat sejumlah titik rawan konflik besar, seperti di Semenanjung Korea, Semenanjung Taiwan, dan tentunya Laut China Selatan. Kesemua titik tersebut melibatkan China dan Amerika Serikat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ada atau tidaknya doktrin Natalegawa, politik perimbangan kekuatan senyatanya telah berjalan di Asia-Pasifik. Sekali lagi, posisi Indonesia berada di tengah-tengah dua kekuatan besar Asia-Pasifik. Peran yang dijalankan tidaklah mudah. Meskipun sepanjang sejarah politik luar negeri Indonesia selalu tetap, yakni Bebas-Aktif, dalam artian netral, selalu saja pada akhirnya sebuah titik pijak harus dipilih. Terlepas dari itu semua, selamat datang Era Asia!