90 persen kacang kedelai yang digunakan untuk bahan baku tempe dan tahu di Indonesia, diimpor dari Amerika. Itu kata Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O Blake. Total luas lahan kedelai nasional saat ini, 700-800 ribu hektar. Mampukah kedelai lokal menggusur kedelai Amerika?
Bukan Pokok Tapi Penting Demikian pula dengan padi, baik sebagai tanaman prioritas di areal persawahan, maupun sebagai tanaman sela di sawah tadah hujan, yang diutamakan untuk perladangan. Dengan kata lain, meski kedelai bukan kategori makanan pokok tapi keberadaan kedelai bagi penduduk negeri ini sudah dianggap penting, sejak zaman nenek-moyang. Maka, ketika harga tempe dikaitkan dengan kurs dollar, berjuta-juta penduduk negeri ini tercengang, terbelalak. Bukankah dollar itu urusan orang kaya, mereka yang tinggal di gedongan? Bagaimana ceritanya kok tempe bersangkut-paut dengan mata uang dunia itu? Hal ini terkait dengan keterbukaan informasi kepada publik. Selama ini, yang paling terbuka dibahas dan gaungnya paling keras adalah tentang impor beras. Padahal, Indonesia juga mengimpor kedelai, bahan baku tempe, sejak tahun 1970, yang detailnya bisa dilihat pada tabel berikut.
Ketua Gabungan Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia (Gapoktindo), Aip Syarifudin, menjelaskan, produksi kedelai lokal yang masih minim menjadi alasan membeludaknya impor. Apalagi, kebutuhan kedelai nasional dari tahun ke tahun, selalu lebih tinggi dibandingkan kenaikan produksi nasional. Tahun 2014, kebutuhan kedelai nasional mencapai 3 juta ton, sementara produksi nasional hanya sekitar 1 juta ton. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga menembus 12 ribu rupiah per dolar AS, membuat harga kedelai impor untuk bahan baku tahu dan tempe, ikut melambung. Akibatnya, harga sepotong tempe pun melejit, jadi terasa mahal bagi tukang becak dan kuli bangunan, yang pendapatan mereka terbatas. Harga sepotong tempe jadi terasa makin mahal, karena harga-harga kebutuhan pokok lain pun sudah membubung tinggi. Ongkos angkutan umum pun membubung. Swasembada pangan? Hehehehe, ini jargon politik pemerintahan yang baru. Mendistribusikan pupuk secara merata di musim tanam tahun ini saja, pemerintah kedodoran. Padahal, Menteri Pertanian sudah memanggil produsen pupuk, sudah pula meeting dengan para distributor pupuk. Hasilnya: di sejumlah wilayah, terjadi kelangkaan pupuk, yang jelas-jelas merupakan titik awal swasembada pangan. Petani menjerit karena pupuk langka. Kalaupun ada pupuk, harganya mencekik leher. Tempe yang diproduksi dari kedelai, umumnya dilakukan masyarakat sebagai usaha rumahan. Teknik pembuatannya yang sederhana, mendorong banyak warga menekuni usaha pembuatan tempe. Ada juga yang mengolahnya menjadi keripik tempe sebagai usaha produksi camilan. Foto: cheflapetite.blogspot.com Tahun 2013, Kementerian Pertanian (Kementan) mengalokasikan dana sekitar Rp 800 miliar untuk pengembangan areal lahan penanaman kedelai di Tanah Air. Anggaran tersebut naik dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, yang hanya Rp 400 miliar. Peningkatan anggaran sejalan dengan naiknya target produksi kedelai tahun ini menjadi 1,5 juta ton dari realisasi tahun lalu 800 ribu ton. Maman Suherman menyadari, untuk mencapai target tersebut memang agak berat, akibat anomali iklim. Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, Amrin Azis, kepada SP, Kamis (26/9/2013), 50% dari ribuan hektar areal tanaman kedelai di Kabupaten Tanjungjabung Barat dan Tanjungjabung Timur, kini sudah beralih menjadi areal kebun kelapa sawit. Di sejumlah wilayah lain yang menjadi penghasil kedelai, hal serupa juga terjadi. Sejumlah faktor di atas, tentu akan menambah panjang perjalanan menuju swasembada kedelai, karena pada saat yang sama, konsumsi kedelai terus melambung tinggi. (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com) |