Interaksi dan Realitas Sosial

Author : Hesti Anggraeni | Senin, 13 Oktober 2014 10:49 WIB

Ketika dalam keramaian seseorang mendorong Anda, apakah secara otomatis Anda akan balas mendorong ? Apakah Anda akan mempertimbangkan situasi itu sebagai kecelakaan atau memprovokasi sebelm anda berinteraksi ? Kemungkinannya adalah anda melakukan yang kedua. Menurut sosiolig Herbert Blumer (1969: 79), ciri dari interaksi sosial antar manusia “manusia menginterpretasikan atau ‘mangidentifikasikan’ tindakan sesamanya, bukannya semata-mata bereaksi terhadap tindanggapan kan masing-masing”. Dengan kata lain, tanggapan kita terhadap perilaku seseorang didasarkan pada pemaknaan yang kita lekatkan pada tindakan orang lain. Realitas dibentuk oleh persepsi,evaluasi,dan definisi kita.

Pamaknaan tersebut biasanya mencerminkan norma-norma serta nilai dari budaya dominan dan pengalaman sosialisasi kita dalam budaya tersebut. Sebagaimana para interaksionis menekankan, makna-makna yang kita lekatkan pada perilaku seseorang dibentuk oleh interksi kita dengan mereka dan masyaraka yang lebih luas. Secara harafiah, realitas sosial masyarakat dikomtrksikan dari interaksi sosial kita.

Bagaimana kita mangidentifikan realitas sosial kita ? pertimbangkanlah sesuatu yang sederhana seperti kita melihat tato. Pada suatu kesempatan, kebanyakan orang Amerika menganggap tato sebagai keanehan dan aksentrik. Kita mengasosiakanya dengan kelompok- kelompok budaya tandingan pinggiran, seperti roker punk, geng motor, dan skinhead. Bagi sebagian besar orang, tato memunculkan respon spontan yang negatif. Sekarang, banyak orang yang memiliki tato-termasuk tokoh dan atlet olahraga terkenal. Dan cara mendapatkan tato telah menjadi sah, bahaya mainstream melihat tato secara berbeda. Pada titik ini, sebagai akibat dari meningkatnya interaksi sosial dengaa orang bertato, tato tampak sangat nyaman bagi kita pada berbagai situasi.

Sifat dari interaksi sosial dan apa yang membentuk realitas sangat bervariasi diseluruh budaya. Dalam masyarakat Barat, denga menekankan pada cinta romantis, pasangan melihat pernikahan sebagai sebuah hubungan sekaligus status sosial. Dari bunga pada hari kasih sayang hingga perilaku mencintai yang lebih informal yaitu dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian yang diharapkan pada sebuah pernikahan. Namun, di Jepang, pernikahan lebih dinggap sebagai status sosial daripada sebuah hubungan. Meskipun kebanyakan pasangan di Jepang yang tidak diragukan lagi saling mencintai, mengatakan ”aku mencintaimu” bukanlah perkara yang mudah dilakukan, terutama bagi para suami. Juga seperti sebagian besar suami yang memanggil istri mereka dengan nama (mereka lebih suka memangil mereka dengan sebutan”Ibu”) atau menatap langsung. Pada tahun 2006, sebagai upaya mengubah kebiasaan ini, beberapa pria Jepang membentuk organisasi suami setia yang telah mengusulkan hari labur baru, hari istri tercinta (Beloved Wives Day). Baru-baru ini, kelompok itu mengorganisasikan sebuah acara bertajuk suarakan cintamu (Shout Your Love) ditengah Cabbage Patch Day. Puluhan pria berdiri dalam sebuah cabbagen patch north di Tokyo dan berteriak “aku cinta kamu” kepada istri-istri mereka.

Kamampuan mengdentifikasi realita sosial mencerminkan kekuatan sesuatu kelompok dalam masyarakat. Bahkan salah satu aspek pentingdalam hubungan antara kelompok dominan dengan subordinat. Subordinat adalah kemampuan kelompok dominan atau mayoritas untuk mendefinisikan nilai-nilai dalam masyarakat.

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: