Jangan Golput, Harapan itu masih ada !!!!

Author : Bima Iskandar | Sabtu, 29 Maret 2014 09:39 WIB

Beberapa minggu yang lalu saya silaturahmi ke rumah kawan karib saya yang berjarak kurang lebihnya 40 km dari tempat tinggal saya. Saya memang jarang sekali bertemu dengannya, maka ketika sekali bertemu kami pun sering menceritakan berbagai hal yang terjadi pada kehidupan kami. Kawan saya ini menceritakan bahwa dia mengalami konflik dengan seseorang mengenai perbedaan idiologi, dan akhirnya konflik tersebut pun merembet ke warga desa yang akhirnya warga desa sekitarnya pun ikut-ikutan memusuhi dia. Dan kebetulan sekali di tempat dia itu akan diadakan pemilihan lurah, yang mana orang yang berkonflik dengan teman saya tersebut mencalonkan diri menjadi calon lurah di desa tersebut.

Muncul ancaman dari orang yang berkonflik dg kawan saya tersebut, apabila dia (orang yg berkonflik dg kawan saya tersebut) menang dalam pemilihan lurah. Maka kawan saya dengan anak istrinya akan “diusir” dari desa tersebut. Ancaman ini pun membuat kawan saya dan istrinya kebingungan, karena melihat kekuatan orang yang berkonflik dengannya tersebut memang benar-benar kuat di masyarakat. Akhirnya kawan saya ini berunding dengan istrinya dan mempersiapkan diri untuk segera pindah dari kampung halamannya tersebut. Namun setelah dipikir berulang kali, kawan saya ini akan bakalan kesulitan untuk dapat pindah tempat tinggal dari kampungnya tersebut karena pekerjaannya yang dekat dengan rumah dan belum lagi keuangannya yang masih belum stabil dan belum mampu untuk mengkontrak rumah sendiri.

Kawan saya ini pun kebingungan mencari solusi terbaik untuk keluarganya tersebut, akhirnya secara tidak sengaja muncul dalam pikirannya untuk berusaha mengalahkan calon lurah yang sedang berkonflik dengannya tersebut. Dia pun membuat kesepakatan dengan istrinya untuk ikut mencoblos pesaing calon lurah yang berkonflik dengannya tersebut.

Yang menjadi persoalan disini adalah, kawan saya ini seseorang yang memiliki pemahaman bahwa demokrasi itu adalah haram hukumnya untuk diikuti karena ini adalah produk orang barat. Menurutnya untuk memilih pemimpin dan menegakkan Daulah Islamiah itu tidak bisa dilakukan dengan cara demokrasi ala orang barat. Cara terbaik yang bisa dilakukan untuk menegakkan Islam di bumi Indonesia ini hanya bisa dilakukan dengan cara mengikuti Rasulullah yaitu dengan Dakwah dan Jihad. Jadi haram bagi dia untuk mengikuti sistem demokrasi yang salah satu produknya yaitu pemilu.

Kembali ke cerita kawan saya tadi, dia sempat bersitegang dengan istrinya karena sang istri yang juga memiliki kesamaan idiologi dengannya tersebut menentang rencana suaminya karena bagi dia haram juga ikut pilihan lurah yang tentu ini adalah produk dari demokrasi. Sang suami pun akhirnya segera menelepon ustad yang biasa dia ikuti pengajiannya dan menceritakan permasalahannya tersebut. Ustadnya pun menjawab, bahwa apabila memang menghadapi kondisi seperti itu boleh baginya untuk mengikuti sistem tersebut. Tapi segeralah untuk bertaubat dan meminta ampun kepada Allah SWT karena ini telah melanggar larangan Allah. Namun usahakan terlebih dahulu mencari solusi lain seperti mencari dukungan dari warga sekitar agar tidak “diusir” dari tanah kelahirannya tersebut, atau mungkin minta bantuan dari aparat keamanan setempat yaitu kapolsek agar dia dapat perlindungan.

Namun setelah dipikir-pikir dan melihat kondisi yang dia rasakan saat ini, nampaknya susah bagi dia untuk mencari dukungan dari warga sekitar apalagi minta bantuan kapolsek yang ternyata kapolsek setempat juga sudah ada hubungan baik dengan calon lurah yang berkonflik dengan kawan saya tersebut.

Pikir teman saya, kalau seandainya dia dan istrinya tidak ikut memilih. Itu artinya sudah ada dua suara yang pasti hilang. Dan apabila dalam pemilihan lurah tersebut selisih dua suara, maka yang lebih banyak suaranyalah yang akhirnya menang. Kalau yang menang adalah lawan dari calon lurah yang konflik dengannya tersebut, maka dia akan aman. Namun apabila yang menang adalah calon lurah yang sedang berkonflik dengannya tersebut, maka bisa dipastikan dia akan terusir dari kampung halamannya sendiri.

Akhirnya setelah dipikir berulang kali, kawan saya inipun memutuskan untuk memberikan hak suaranya kepada calon lurah yang menjadi lawan dari calon lurah yang tengah berkonflik dengannya. Desa tempat kawan saya tinggal ini pun menjadi gempar dibuatnya karena kawan saya yang dikenal sebagai orang yang anti demokrasi ini pun dengan terpaksa harus “menjilat ludahnya” sendiri dengan ikut datang ke tempat pemungutan suara.

Singkat cerita, setelah dilakukan perhitungan suara. Ternyata calon lurah yang menjadi pesaing utama calon lurah yang sedang berkonflik dengan kawan saya inipun menang telak 70 - 30. Artinya kalau seandainya kawan saya tadi itu tidak ikut memilih pun, dia akan tetap terselamatkan karena selisih suaranya yang sudah jauh sekali. Namun ternyata Allah SWT menggerakan hatinya untuk ikut ambil bagian dalam acara pemungutan suara karena kawan saya mengalami ancaman tersebut.

Kawan-kawan pembaca yang budiman, dari sini saya mendapatkan pelajaran berharga. Bahwa suara yang kita berikan dalam memilih presiden, anggota legislatif, walikota, maupun gubernur sekalipun itu cukup berguna. Suara yang kita berikan ini akan sangat menentukan nasib hidup kita juga apabila pilihan kita benar dan ternyata mampu memenangkan pilihan pemimpin di negeri kita ini.

Oleh karena itu, saran saya kepada kawan-kawan kompasianers…jangan golput kawan, harapan itu masih ada. Masih banyak orang-orang baik yang ada di parlement kita. Dan itu memang benar-benar ada. Jangan sampai kita menunggu adanya ancaman yang mengancam kelangsungan jiwa kita baru kemudian kita ikut-ikutan memilih pemimpin di negeri kita Indonesia tercinta. Jangan biarkan orang-orang picik, licik, dan jancik menguasai negeri kita….

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2014/03/29/jangan-golput-harapan-itu-masih-ada--643116.html
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: