SAMBIL menyaksikan kekalahan Hillary Clinton, kali ini saya ingin membahas topik yang ringan-ringan saja. Mudah-mudahan Anda berkenan. Mari kita mulai.
Kadang saya tertawa geli menyaksikan kelakuan orang-orang yang begitu bersemangat menjalani gaya hidup baru seperti pada beberapa cerita ini. Seorang suami mendampingi istrinya yang tengah melahirkan. Ia ikut masuk ke ruang bersalin. Kalau dulu, dokter pasti melarang siapa pun masuk ke ruang bersalin. Sekarang tidak lagi.
Suami boleh ikut masuk.
Apa yang dilakukan sang suami? Dengan kameranya ia mengabadikan momen-momen bersejarah tersebut. Jadi ketika sang istri berjuang habis-habisan, sang suami habis-habisan sibuk mencari sudut pengambilan gambar. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Lalu sang bayi pun lahir. Lagi sang suami sibuk merekam jabang bayi tersebut. Ia mencari momen terbaik, yakni tangisan pertama. Selesai? Belum. Setelah semua gambar ia dapatkan, sang suami masuk ke tahap berikutnya. Ia sibuk mengunggah penggalan videonya ke Youtube dan mengeposkaninformasi soal istrinya yang melahirkan ke beberapa media sosial. Setelah mengunggah, baru ia menemui istrinya.
Apakah sang istri marah? Rupanya tidak juga. Ia malah bertanya, apakah suaminya berhasil mendapatkan gambar yang bagus? Apakah penggalan videonya sudah diunggah? Gila, bukan? Itu satu cerita. Saya tambahkan satu cerita lagi. Kali ini soal asisten rumah tangga—mungkin sebagian Anda lebih familier dengan istilah pembantu rumah tangga.
Apa yang dilakukan sang pembantu? Ketika bel pintu rumah berdentang, pembantu tadi keluar membukakan pintu. Rupanya ada tamu yang ingin bertemu dengan majikannya. Sang pembantu kemudian mempersilakan tamunya duduk. Lalu, di depan sang tamu, ia kemudian mengirimkan whatsapp (WA) ke majikannya, mengabarkan bahwa ada tamu yang sudah menunggu.
Bagaimana reaksi Anda terhadap ulah sang pembantu? WA tadi juga bukan yang pertama. Kali lain, ketika selesai memasak makan siang untuk majikannya, ia segera mengirimkan WA ke majikannya. Isinya, ”Bpk/ibu, mknn sdh siap. Slkn trn.” Kamar majikannya memang ada di lantai dua. Lantas muncul pula WAWA lainnya.
Berani Kompromi
Lewat dua cerita tadi saya sebetulnya ingin menggambarkan perubahan yang tengah terjadi di masyarakat. Perubahan yang kadang membuat kita tidak siap menghadapinya. Pertama, soal suami yang merekam detik-detik bersejarah ketika istrinya melahirkan. Dulu melahirkan adalah peristiwa yang sangat privat. Itu sebabnya dokter melarang siapa pun masuk ke ruang bersalin, kecuali pihak yang memang berkepentingan.
Kini teknologi membuat peristiwa tersebut bahkan diunggah ke ruang publik melalui media sosial. Lalu para dokter pun tak berdaya untuk melarang. Kalau dilarang, pasien akan pindah ke rumah bersalin sebelah.
Maka mereka harus kompromi dengan perilaku pasien yang semakin narsis tersebut. Baiklah, kedua, soal asisten rumah tangga tadi. Siapkah kita menghadapi perilaku sang asisten rumah tanggata di yang memberikan informasi ke Anda via WA atau Line? Saya tidak yakin. SebagianAnda mungkinmenganggap perilaku itu kurang sopan.
Saya anjurkan, bersiaplah Anda menerima kenyataan tersebut. Anda dipaksa berkompromi dengan perilaku sang asisten rumah tangga tadi. Apalagi sekarang ini tak mudah untuk mendapatkan asisten rumah tangga yang gesit, jujur, dan loyal terlebih jika suami dan istri sama-sama bekerja. Kalau Anda bisa kompromi, saya yakin, ada banyak plus-minusnya. Sekarang coba bayangkan begini. Anda sedang menjamu tamu dan kehabisan topik untuk dibahas.