Saya setuju dengan catatan mas Hadi Susanto dalam sampul buku “Kami Tidak Lupa Indonesia” terbitan Bentang Pustaka 2014, besutan Kompasianer yang dikatapengantari Pepih Nugraha.Dari membaca buku ini, dosen matematika di Universitas Nottingham, Inggris itu meyakinkan pembaca bahwa ibu pertiwi bisa juga ditempatkan di hati. Atau kata saya, jauh di mata dekat di hati. Mak serrr. Jangan lupa koleksi buku kami (para kompasianer dan saya), ya?
***
Terobosan Kompasiana
“Kami Tidak Lupa Indonesia.” Terobosan tanpa batas jarak, ruang dan waktu dari Kompasiana, blog keroyokan warga nusantara di seluruh dunia. Buku dengan kata pengantar dari manager kompasiana, sang bidan, Kang Pepih Nugraha. Meski belum pernah ketemu dan hanya membaca beberapa artikel beliau serta cerita ükiprah membesarkan kompasiana dan tim adminnya, saya yakin beliau orang huebattt. Jadi ingat, buku “38 WIB (Wanita Indonesia Bisa)” juga mendapat endorsement dari pak Pepih. Matur nuhunnnnn.
Kembali ke buku “Kami Tidak Lupa Indonesia.” Semoga buku-buku berikutnya akan terus bermunculan. Tak hanya menguntungkan secara psikis (senang dan bangga tulisannya diapresiasi) tetapi juga ekonomis. Memang ini bukan buku pertama yang dilahirkan di Kompasiana dengan prakarsa admin kompasiana. Sudah banyak buku lainnya, misal buku Jokowi dan Setengah Indonesia. Saya harap aura positifnya menyemangati para penulis di kompasiana. Kalau mau pasti bisa. Kalau tekun pasti tidak bosen.
Siapakah Hadi Susanto?
Di bagian paling bawah sampul, tertulis endorsement dari Hadi Susanto, Dosen matematika di University of Nottingham, Inggris. Mas Hadi yang lahir di Lumajang, 27 Januari 1979, adalah lulusan terbaik ITB Bandung tahun 2000 dan meraih MSc dan PhD dari Universiteit Twente, Belanda. Sepertinya artikel tentang mas Hadi ini pernah nongol di Kompasiana.
Selain jago matematika, ternyata piawai membuat karya sastra (puisi dan cerpen yang terbit tahun 2001-2005, antara lain puisi; Dian Sastro for President #3 (On/Off Book & Insist Press 2005). Subhanallah, luar biasa.
Siapa saja penulis buku KTLI?
Senin siang saat makan siang, saya menelepon orang tua untuk menanyakan kabar atau ada sesuatu yang baru. Benarlah. Satu jam sebelum saya telepon, datang pak pos membawa bungkusan. Isinya sungguh membuat saya seperti mimpi di siang bolong, buku kami (beberapa kompasianer dan saya) telah terbit dan begitu cepat terkirim ke alamat salah satu penulis (saya).
Sesuai dengan mailing list dengan pihak Bentang Pustaka sebelumnya, saya jadi tahu para penulis itu adalah Yusran Darmawan, Winarto, Marcellino Ichwansjah, Ratna Dewi, Syaripudin Zuhri, Hening Marlistya Citraningrum, Dono Widiatmoko, Juanas orta, Siti Mugi Rahayu, Yana Hanim, Anazkia Aja, Arthurio oktavianus Arthadiputra, Michael Sendow, Teuku Munandar, Feriandi dan saya (kalau salah atau kurang, tolong dikoreksi).
Kami ini adalah kompasianer yang ada atau pernah tinggal (bahkan masih) di luar negeri seperti contohnya; Amerika, Rusia, Belanda, Taiwan, Malaysia, dan tentu saja Jerman. Karena beberapa artikel kami dibeli Bentang Pustaka, secara otomatis, diperpendek di dalam akun masing-masing atau dihilangkan (draft).
Cover warna lombok dan burger tempe
Ternyata bermanfaat juga berbagi pengalaman selama jauh dari nusantara. Setelah mengirimkan naskah, saya sempat lupa. Saya pikir pelamarnya banyak, jadi tak yakin bisa lolos. Kan banyak tuh penulis diaspora di Kompasiana. Haha. Baru ingat setelah diemail, lolos dan harus mengisi lembaran perjanjian dari BP Yogyakarta.
Belakangan, saya diberitahu ibu lewat telepon bahwa perjanjian dikirim lagi lewat pos dan harus dikembalikan. Padahal saya ada di Jerman! Ibu dengan sigap mengirimnya ke Jerman dengan surat tercatat. Begitu sampai, hari itu juga saya kirim valik ke Yogya. Surat tercatat berisi surat perjanjian bermaterai dan tanda tangan saya itu keliling dunia, pp Yogyakarta-Semarang-Jakarta-entah transit di mana-Jerman… Vice versa.
Saya ngeces tingkat tinggi. Andai buku itu sehari lebih awal, bisa dibawa tamu dari Semarang yang besok menginap di rumah kami. Hiks. Saking pengen lihat bukunya seperti apa, saya klik web Bentang Pustaka sebagai penerbit. Oiiii, please judge the book by its cover. Gambarnya unik, warnanya menarik. Merah lombok, euy! Semangat. Ealaaaah … Saya kira gambarnya burger biasa, ternyata burger tempe! Haha. Seumur-umur belum pernah makan ini selama di Jerman. Tapi saya pikir benar juga, bahwa berada di luar negeri makannya campur-campur. Kadang tempe kadang keju. Alah bisa karena biasa. Terbiasa makan daging masih kangen tempe, kalau perlu bikin sendiri. Mak nyosss.
Harga terjangkau
Wah, wahhh … Buku cantik ini begitu terbit sudah promo harga, lho!Sewaktu saya klik bentangpustaka.mizan.com, harga yang Rp 49.000 dicoret menjadi Rp 41.650. Segera borong, ya? Masukkan pesanan ke dalam keranjang, klik.
Saya taksir, ini sebanding dengan nuansa luar negeri dengan rasa Indonesia yang ada dalam setiap lembarnya. Sebagai warga negara Indonesia di luar negeri, sewajarnya kalau kami mengenalkan Indonesia sebagai bangsa berkembang yang mau maju dan tetap memiliki adat istiadat dan budaya yang beragam. Mengusung negara dalam hati sanubari.
***
Selamat atas terbitnya buku KTLI dan para penulis yang bergabung di dalamnya. Semoga semua semakin rajin menulis dan berbagi. Apalagi dalam bentuk buku. Ini warisan. Ok. Jangan lupa, beli dan baca buku “Kami Tidak Lupa Indonesia.”(G76).
Sumber;
Tentang Hadi Susanto oleh Ahmad Nasary Basal
http://www.facebook.com/profile.php?id=791097779