Karut Marut Aturan Pilpres
Author : Aries Musnandar | Kamis, 14 Agustus 2014 10:02 WIB
http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4868:karut-marut-aturan-pilpres&catid=35:artikel&Itemid=210
Saya heran kenapa bangsa sebesar ini masih saja kurang cermat dan teliti dalam menata aturan Pilpres. Undang-undang dan aturan Pilpres yang kurang mengantisipasi kemungkinan masalah yang muncul (potential problem) dapat membuat situasi politik tidak kondusif. Padahal, ketertiban dalam menjalankan aturan yang komprehensif dapat mencegah kekisruhan politik yang bisasaja menjurus pada chaos politik jika tidak dikendalikan secara benar. Oleh karena aturan Pilpres yang mengakomodasi kemungkinan terburuk dengan mengantisipasi masalah yang mungkin muncil terkait Pilpres dan hasilnya mesti menjadi perhatian penuh pihak penyusun aturan itu sendiri.
Paling tidak terdapat sejumlah persoalan yang berpotensi mencuat akibat peserta Pilpres dan masyarakat luas kurang tersosialisasi dengan baik tentang aturan-aturan Pilpres. Peraturan seharusnya dibuat dengan satu tafsiran yang mengikat dan tidak memberikan toleransi pada multi tafisr oleh pihak-pihak pelaksana peraturan itu. Tampaknya dalam pilpres ini masing-masing pihak dengan mudah melakukan penafsirannya sendiri atas peraturan yang telah ada. Disamping itu kemungkinan juga peserta pilpres belum paham pertauran pilpres dengan baik. Akibatnya multi tafsir atau justifikasi atas perbuatan yang dilakukannya akibat peraturan yang masih mengambang atau paling tidak belum tersosialisasi dengan baik dan benar. Alhasil, penegakan aturan juga tidak berjalan dengan baik.
Untuk menjelaskan hal tersebut diatas saya memberikan satu contoh yakni tidak lama setelah hasil hitung cepat diumumkan sejumlah lembaga survei, lalu salah satu pihak peserta Pilpres langsung mendeklarasikan kemenangannya, padahal kubu ini hanya berdasarkan hasil hitung cepat yang relatif selisihnya sangat tipis. Hal ini menandakan KPU "kecolongan" aturan yang tidak tegas dan tersosialisasi dengan baik, sehingga dengan seenaknya peserta Pilpres melakukan perbuatan politik tidak etis seperti itu. Terbukti deklarasi tersebut dianggap tidak pantas dengan adanya himbauan dari Ketua KPU sendiri agar tidak mendeklarasikan kemenangannya sendiri-sendiri dihadapan publik sebelum ada keputusan final dari KPU.
Sekarang ini kita juga menghadapi dilema, bahwa setelah KPU resmi mengumumkan hasil Pilpres dimana banyak pihak segera berbondong-bondong memberikan selamat kepada sang pemenang Pilpres itu ternyata ada lagi prosedur hukum yang masih bisa ditempuh pesaingnya dengan cara menggugat pihak "pemenang" tersebut oleh karena adanya dugaan atas kecurangan atau pelanggaran hukum yang ditemukan pada saat Pilpres. Sehingga sebenarnya pihak KPU sendiri belum bisa mengatakan resmi pemenangnya, karena masih ada langkah hukum yang dimungkinkan dilakukan pihak yang dinyatakan kalah oleh KPU. Tetapi lagi-lagi aturan Pilpres nya amat kurang jelas dan tidak antisipatif yang membuat banyak orang termasuk pemimpin dunia terlanjur mengucapkan selamat kepada pemenang dari KPU itu. Apabila hasil KPU berbeda dengan MK betapa malunya kita dihadapan publik internasional.
Bagaimana jadinya kalau nanti keputusan MK sebaliknya? Kondisi sekarang justeru membuat semua orang digiring bahwa Presiden terpilihnya sudah ada, padahal sebenarnya belum karena masih ada satu proses/tahap lagi yang mesti dilalui karena ada gugatan hasil Pilpres versi KPU. Nah, hal-hal seperti ini yang ternyata para penyusun UU atau aturan Pilpres teledor. Beberapa waktu lalu saya juga pernah mengingatkan tidak adanya kekuatan Bawaslu dalam menghukum peserta Pilpres yang melanggar aturan seperti berkampanye ditempat terlarang dsb, juga ternyata juga ada pelanggan saat Pemliu Pilpres di lapangan yang tidak ditindak lanjuti dengan baik tetapi malah KPU telah meresmikan hasil Pilpresnya. Sungguh ceroboh dan kerja-kerja yang kurang apik dan profesional dari penyelenggara Pemilu kita ini. Mungkin perlu juga menggugat kinerja KPU yang tidak profesional dan tidak taat azas.
Saya heran kenapa bangsa sebesar ini masih saja kurang cermat dan teliti dalam menata aturan Pilpres. Undang-undang dan aturan Pilpres yang kurang mengantisipasi kemungkinan masalah yang muncul (potential problem) dapat membuat situasi politik tidak kondusif. Padahal, ketertiban dalam menjalankan aturan yang komprehensif dapat mencegah kekisruhan politik yang bisasaja menjurus pada chaos politik jika tidak dikendalikan secara benar. Oleh karena aturan Pilpres yang mengakomodasi kemungkinan terburuk dengan mengantisipasi masalah yang mungkin muncil terkait Pilpres dan hasilnya mesti menjadi perhatian penuh pihak penyusun aturan itu sendiri.
Paling tidak terdapat sejumlah persoalan yang berpotensi mencuat akibat peserta Pilpres dan masyarakat luas kurang tersosialisasi dengan baik tentang aturan-aturan Pilpres. Peraturan seharusnya dibuat dengan satu tafsiran yang mengikat dan tidak memberikan toleransi pada multi tafisr oleh pihak-pihak pelaksana peraturan itu. Tampaknya dalam pilpres ini masing-masing pihak dengan mudah melakukan penafsirannya sendiri atas peraturan yang telah ada. Disamping itu kemungkinan juga peserta pilpres belum paham pertauran pilpres dengan baik. Akibatnya multi tafsir atau justifikasi atas perbuatan yang dilakukannya akibat peraturan yang masih mengambang atau paling tidak belum tersosialisasi dengan baik dan benar. Alhasil, penegakan aturan juga tidak berjalan dengan baik.
Untuk menjelaskan hal tersebut diatas saya memberikan satu contoh yakni tidak lama setelah hasil hitung cepat diumumkan sejumlah lembaga survei, lalu salah satu pihak peserta Pilpres langsung mendeklarasikan kemenangannya, padahal kubu ini hanya berdasarkan hasil hitung cepat yang relatif selisihnya sangat tipis. Hal ini menandakan KPU "kecolongan" aturan yang tidak tegas dan tersosialisasi dengan baik, sehingga dengan seenaknya peserta Pilpres melakukan perbuatan politik tidak etis seperti itu. Terbukti deklarasi tersebut dianggap tidak pantas dengan adanya himbauan dari Ketua KPU sendiri agar tidak mendeklarasikan kemenangannya sendiri-sendiri dihadapan publik sebelum ada keputusan final dari KPU.
Sekarang ini kita juga menghadapi dilema, bahwa setelah KPU resmi mengumumkan hasil Pilpres dimana banyak pihak segera berbondong-bondong memberikan selamat kepada sang pemenang Pilpres itu ternyata ada lagi prosedur hukum yang masih bisa ditempuh pesaingnya dengan cara menggugat pihak "pemenang" tersebut oleh karena adanya dugaan atas kecurangan atau pelanggaran hukum yang ditemukan pada saat Pilpres. Sehingga sebenarnya pihak KPU sendiri belum bisa mengatakan resmi pemenangnya, karena masih ada langkah hukum yang dimungkinkan dilakukan pihak yang dinyatakan kalah oleh KPU. Tetapi lagi-lagi aturan Pilpres nya amat kurang jelas dan tidak antisipatif yang membuat banyak orang termasuk pemimpin dunia terlanjur mengucapkan selamat kepada pemenang dari KPU itu. Apabila hasil KPU berbeda dengan MK betapa malunya kita dihadapan publik internasional.
Bagaimana jadinya kalau nanti keputusan MK sebaliknya? Kondisi sekarang justeru membuat semua orang digiring bahwa Presiden terpilihnya sudah ada, padahal sebenarnya belum karena masih ada satu proses/tahap lagi yang mesti dilalui karena ada gugatan hasil Pilpres versi KPU. Nah, hal-hal seperti ini yang ternyata para penyusun UU atau aturan Pilpres teledor. Beberapa waktu lalu saya juga pernah mengingatkan tidak adanya kekuatan Bawaslu dalam menghukum peserta Pilpres yang melanggar aturan seperti berkampanye ditempat terlarang dsb, juga ternyata juga ada pelanggan saat Pemliu Pilpres di lapangan yang tidak ditindak lanjuti dengan baik tetapi malah KPU telah meresmikan hasil Pilpresnya. Sungguh ceroboh dan kerja-kerja yang kurang apik dan profesional dari penyelenggara Pemilu kita ini. Mungkin perlu juga menggugat kinerja KPU yang tidak profesional dan tidak taat azas.
Singkatnya, cukup banyak aturan Pilpres yang perlu dibenahi dan dibuat lebih transparan, antisipatif, terbuka dan tersosialisasi dengan baik. Hal ini merupakan tugas pembuat undang-undang dan aturan penylenggaraan negara khususnya dalam konteks Pilpres.
Shared:
Komentar