Kebijakan Pembiayaan Defisit APBN (Ricardian Equivalent Hypotesis)
Author : Hendra Kusuma | Senin, 11 Juni 2012 09:05 WIB
Defisit yang terjadi di Indonesia sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan oleh amanah undang – undang no 17 tahun 2003 yang tidak lebih dari 3 persen dari APBN tercermin seperti di tabel satu. Tahun 2008 dan 2009 sebagai dampak dari melambatnya perekonomian dunia di respon oleh defisit dari APBN yang pada tahun sebelumnya 2007 sebesar 1,3 persen menjadi 2,1 dan 2,5 persen di tahun 2008 dan 2009.
Dalam pembiayaan defisit APBN tersebut ada beberapa alternatif yang dapat digunakan, diantaranya adalah dengan pinjaman (bond), suku bunga, uang,dll. Pembiayaan defisit dari hutang memerlukan daya tarik yaitu dengan tingginya imbal hasil (bunga) yang ditawarkan. Dampak dari suku bunga yang tinggi pada sisi keuangan negara adalah akan terjadinya capital inflow.
Keseimbangan APBN dari pembiayaan hutang tidak selamanya berdampak positif bagi perekonomian, meskipun defisit masih di bawah dari ketentuan undang – undang. Neoclasic dan Keynes telah memberikan gambaran akibat bahwa pembiayaan defisit APBN dari hutang yang didukung oleh tingkat suku bunga yang tinggi akan berbentuk Crowding Out dan Crowding In.
Pandangan Neoclasic menjelaskan bahwa ketika pemerintah menerbitkan Bond sebagai salah satu cara untuk mengatasi defisit APBN, maka akan terjadi perlambatan kegiatan ekonomi di masyarakat yang disebabkan oleh bunga pinjaman yang harus dibayarkan meningkat akibat dari suku bunga yang di tetapkan pemerintah mengalami kenaikan. Proses tersebut akan berdampak pada pengalihan pinjaman dari dalam negeri ke luar negeri atau yang disebut sebagai Crowding Out.
pemerintah Indonesia dari tahun 2005 hingga 2009 mengalami peningkatan Utang Luar Negeri rata-rata 7% setiap tahunnya. Peningkatan jumlah Utang tersebut mengindikasikan bahwa defisit APBN sebagian di tutup dari Utang.
Konsep pembiayaan defisit APBN dari pinjaman atau utang yang lain adalah dengan mengadopsi Ricardian Equivalent Hypotesis (Barro, 1976). Secara sederhana REH memberikan solusi dari beban hutang yang ditanggung pemerintah equivalent dengan besaran pinjaman masyarakat untuk modal di masa datang. Untuk menggambarkan konsep dari Ricardian Equivalent Hypotesis dapat digunakan model sebagai berikut :
Diasumsikan seorang Ayah dan Anak yang diberi nama Alan (A) dan Larry (L) dimana masing-masing konsumsinya dalam bentuk CA dan CL¬.
Konsumsi Larry sama denga Pendapatan Larry di tambah dengan warisan Alan (Bequest)
CL=YL+B
Warisan Alan (B)
B=(1+r)((Y-T)- CA )
Nilai warisan Alan sebagai seorang ayah adalah pendapatan setelah pajak dikurangi dengan konsumsi Alan.
Dengan asumsi menggunakan konsep Ricardian Equivalent Hypotesis besarnya beban bunga hutang akan sama dengan pajak di masa yang akan datang. Di asumsikan bahwa L (loan) = T (tax) dan beban bunga hutang (1+r)L akan sama dengan pajak di masa yang akan datang (1+r)T.
Bentuk konsumsi Larry yang baru
CL=(YL-(1+r)T)+B
Warisan Alan yang baru
B=(1+r)(Y-(L+CA))+(1+r)L
Warisan Alan yang baru merupakan pendapatan dikurangi pinjaman pokok dan konsumsi dan di tambah beban bunga yang harus dibayarkan. Beban bunga yang di tanggung Alan dalam warisannnya akan sama dengan pajak yang dibayar oleh anaknya Larry.
Negara dalam menutup defisit APBN dapat menggunakan haknya mencari sumber dana lain salah satunya dengan hutang. Beban bunga hutang yang ditanggung oleh pemerintah pada saat ini hendaknya sama dengan pajak di masa datang. Konsep tersebut akan memebrikan keringanan pada pemerintah untuk membayar beban hutang.
Bentuk lain untuk menjelaskan konsep Ricardian Equivalent adalah sebagai berikut:
G + B = T + M ̇ + 1/r B ̇
Yd = consumotin services + Agent’s change wealth
Consumption service = C + jG; 0 < j < 1
Jika REH berlaku bonds tidak masuk dalam wealth, sehingga
W = M + K
dimana M : high powered money
K : capital
Ϩ : rate of depretiation 0 < Ϩ < 1
Wt = Mt + Kt
dW/dt=dM/dt+K/dt
W ̇= M ̇+ K ̇.........................................1)
I = K ̇+ϨK
K ̇= I – ϨK...........................................2)
Masukkan 1) dan 2) ke Yd
Yd = (C + jG) + W ̇
= (C + jG) + (M ̇+ K ̇)
= C + jG + M ̇ + I – ϨK
Good market Identity
Y = C + I + G
I = Y – C – G
Yd = C jG + M ̇ + Y – C – G – ϨK
= Y – (1-j) G – ϨK + M ̇
For simplicity M ̇= 0 dan j=0
Yd = Y – G - ϨK
Yd merupakan selisih antara national income dengan goverment spending.
Jika Ricardian Equivalent tidak berlaku
W = M + K + B/r
I = K ̇ + ϨK
Good market : Y = C + I + G
Yd = consumption services + W ̇
= C + jG + M ̇+ K ̇ + 1/r B ̇- B/r^2 r ̇
= C + jG + M ̇+ I- ϨK + 1/r B ̇- B/r^2 r ̇
= Y – (1-j)G – ϨK + M ̇ + 1/r B ̇- B/r^2 r ̇
Asumsi j=0 ; M ̇=0 ; r ̇=0
Yd = Y – G – ϨK + 1/r B ̇
Roughtly
G + B = T + M ̇ + 1/r B ̇
1/r B ̇ - G = B – T - M ̇
Sehingga
Yd = Y – G – ϨK + 1/r B ̇
Yd = Y – ϨK + B = T
Kesimpulan dari pembiayaan defisit APBN dari utang adalah wajar selama utang tersebut dipergunakan untuk belanja modal dan infrastruktur guna menunjang laju perekonomian, catatan yang lain adalah beban bunga utang seharusnya sama besar dengan pajak yang diterapkan di masa yang akan datang. Besaran utang sebaiknya di atur dan dijaga sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pustaka
Barro, R., 1976, "Perceived Wealth in Bonds and Social Security and the
Ricardian Equivalence Theorem: Reply to Feldstein and Buchanan". The
Journal of Political Economy,JSTOR
Hutahean, P., Purwiyanto, A. Hadiyanto, Askolani dan S.L.Rahayu., 2002,
Bunga rampai Kebijakan Fiskal. Jakarta: Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan RI.
Langenus, G., 2006, “Fiscal Sustainability Indicators and Policy Design in the
Face of Ageing”, working paper, National Bank of Belgium
Shared:
Komentar