KEPEMIMPINAN ELITE YANG MISKIN EMPATI

Author : Aries Musnandar | Jum'at, 27 Juni 2014 10:24 WIB

Bumi pertiwi ini mengandung berbagai sumber gas, minyak, hasil tambang, pertanian dan keanekaragaman hayati lainnya yang luar biasa. Akan tetapi ternyata negara ini juga menyimpan sejumlah problematika elite bangsa dan masalah-masalah social lainnya. Satu demi satu terkuak keburukan dan mental politik bejat para elitenya. Hari demi hari melalui media massa cetak dan elektronik kita juga disuguhkan berita-berita negatif. Mulai dari aksi kekerasan seperti tawuran yang terjadi dimana-mana hingga perilaku tindak korupsi sejumlah pejabat dan para elit bangsa. Mereka yang melakukan korupsi itu bukan berarti miskin bahkan sangat kaya. Mereka acapkali berkata manis dan meyakinkan tentang pemberantasan korupsi. Namun, “maling teriak maling”. Mereka termasuk golongan munafik.  Istilah Bung Karno dulu dikatakan tidak satunya antara perkatanan dan perbuatan. Jika dilihat dari sisi ajaran Islam maka perbuatan mereka seperti itu sangat dimurkai oleh sang Maha Kuasa. Kemurkaan Allah terhadap orang-orang yang tidak melakukan perbuatan sesuai perkataannya diabadikan dalan Al Quran Surah As Saff ayat 2-3.

Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang kaya raya. Sumber daya alam Indonesia melimpah ruah berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah subur, batu bara, emas, dan perak dengan pembagian lahan terdiri dari tanah pertanian sebesar 10%, perkebunan sebesar 7%, padang rumput sebesar 7%, hutan dan daerah berhutan sebesar 62%, dan lainnya sebesar 14% dengan lahan irigasi seluas 45.970 km. Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan.

Data lainnya yang diperoleh menyebutkan Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak  dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri

Dengan kekayaan alam sangat istimewa mengapa kemiskinan yang lebih mendominasi  Indonesia? Tentu banyak penyebabnya. Diantara penyebab itu adalah lemah atau rendahnya kualitas kepemimpin (elite) bangsa . Kepemimpinan bangsa yang dipercayakan pada sejumlah elite ternyata menjelang 66 tahun merdeka masih belum mampu mengangkat harkat hidup kebanyakan masyarakat. Hanya segelintir manusia Indonesia yang menikmati kemewahan. Itu pun lebih banyak dikuasai para orang kaya Indonesia keturunan yang banyak melibatkan diri dalam dunia usaha dan industri. Coba bayangkan, penduduk asli pribumi) Indonesia yang banyak mencari nafkah dengan susah payah pada sektor informal dan atau UKM. Berdasar statistik yang diperoleh terungkap bahwa 99,9% dari total unit usaha yang ada di Indonesia ternyata berasal dari sektor UMKM, Pada saat krisis melanda Indonesia sektor UMKM tetap berkibar tahan banting. Sebaliknya, usaha besar bertumbangan alias gulung tikar, sehingga sendi perekonomian bangsa terguncang hebat karena memang cenderung dibangun dari sistem ekonomi pasar bebas.

Kekusutan dan keterpurukan bangsa ini disebabkan "perangai" atau tabiat para elitenya yang tidak memiliki sense of crisis dan rasa empati terhadap sebagian besar rakyatnya yang masih belum memperoleh kenikmatan seperti yang diarasakan sebagain besar elite kita itu. Kebijakan dan perilaku para pejabat yang menunjukkan tumpulnya rasa empati terhadap kesusahan hidup rakyat tentu harus dikikis habis. Oleh karena itu pembelian mobil mewah, penaikan gaji pejabat gedung mewah dan fasilitas yang pada prinsipnya justru “mengenyangkan orang yang sudah kenyang dan nyaman”. Sebaliknya, orang-orang kenyang itu seharusnya “dipaksa”(bukan dihimbau) untuk meningkatkan empati dan bertindak empati altruistik kepada rakyat yang belum seberuntung mereka. Presiden harus lebih keras dan tegas dalam memaksa pejabat negeri ini untuk lebih mementingkan kebutuhan rakyatnya. Segala kegiatan dan perilaku terkesan pemborosan dalam situasi puluhan juta rakyat sulit memenuhi kebutuhan hidup mesti di enyahkan dari panggung perpolitikan kita. Ini berarti para elite harus berpikir beribu kali sebelum mengusulkam anggaran studi banding, renovasi rumah dan kantor. Bahkan gaji ke 13 bagi pejabat dalam konteks ini “haram” hukumnya diterima. Persoalan sosial politik sulit diatasi tanpa adanya contoh teladan dan empati dari elite pimpinannya (Bandura, 1977; Batson 2009).

Pemimpin harus “menggulung lengan baju” untuk turun kebawah, merasakan dan melakukan tindakan strategis menolong kesusahan hidup yang di derita rakyat. Apabila fenomena ini yang tampak dalam kegiatan pemerintahan kita maka sang pemimpin telah memberikan teladan bagi para jajaran dibawahnya (menteri dan pejabat lainnya). Dan akan menjadi pembelajaran sosial yang bermanfaat. Rakyat pun akan terasa diperhatikan dan kian dekat dengan pemimpinnya, sehingga prosedur kaku keprotokolan dengan sendirinya tidak akan diperlukan lagi. Pemimpin dan rakyat menyatu. Rakyat kecil tidak terlalu banyak menuntut dan meminta. Mereka bergelut dengan kebutuhan primer dan apabila pejabat yang diamanahkan mengelola negeri ini mampu menyediakan kebutuhan dasar itu, mereka akan sangat senang luar biasa dengan pemimpinnya. Sebagaimana pengamat motivasi Maslow mengatakan bahwa manusia sangat membutuhkan terpenuhinya kebutuhan dasar. Jika mendapatkan sesuap nasi saja sulit, maka efek dominonya akan terus berlangsung hingga dapat menjalar ke persoalan lain yang lebih runyam seperti aksi kekerasan, ketidakdispilinan dan kesemrawutan sosial bahkan bukan tidak mungkin separatisme. 

Pemerintah yang dekat dengan rakyat merupakan asupan “gizi” bagi rakyat.  Jika hati rakyat telah diambil pemerintah, maka pemerintah akan lebih mudah merealisasikan berbagai program pemerintah. Sebaliknya, bila hati rakyat tidak dekat dengan pemimpinnya maka berbagai hambatan akan muncul. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah akan selalu salah dimata rakyat. Oleh karena itu diperlukan sikap empati yang altruistik yakni suatu empati yang selalu bekerja mementingkan orang lain (rakyat) terlebih dahulu daripada diri dan kelompoknya. Perhatian dan membaur dengan rakyat seperti melakukan kegiatan masal melibatkan keluarga dan komponen bangsa seperti yang dilakukan era orde baru kiranya patut terus diadakan karena paling tidak akan menjadi ajang peningkatan empati para pejabat terhadap rakyatnya.

Kerja keras yang dilakukan pemerintah belum tentu suatu kerja cerdas karena berupaya keras akan gagal tanpa kecerdasan dan kecerdasan itu tidak saja kecerdasan otak (intelektual) tetapi juga kecerdasan emosional termasuk kekuatan empati elite. Jikalau tidak ada perubahan signifikan dalam memimpin bangsa, dikuatirkan persoalan bangsa malah tambah runyam. Kian lama biaya sosialnya makin besar. Rakyat (lagi-lagi) mendapatkan pelajaran berharga dalam memilih pemimpin. Oleh karena itu kita jangan lagi jatuh di lubang yang sama. Ini berarti kita tidak pernah belajar dari pengalaman. Jika tidak ada tindakan berarti untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan negara ini, maka bukan tidak mungkin NKRI dapat menjadi kenangan semata atau tinggal sejarah belaka.

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: