Kondusifitas Daerah Menjelang Pilkada Serentak

Author : Lukman Riswino Ketua Komasgir Sumut. | Selasa, 01 November 2016

ilustrasi

Oleh: Lukman Riswino.

Sejumlah daerah yang akan melak­sa­na­kan pilkada serentak pada tahun 2017 su­dah mendapatkan pejabat baru sebagai pe­laksana tugas kepala daerah, baik untuk ting­kat provinsi maupun untuk ting­kat kabupaten dan kota. Para pe­laksana tugas dimaksud akan menja­lan­kan tugas-tugas kepala daerah sesuai de­ngan batasan-batasan kewenangan yang telah diatur dalam peraturan pe­r­undang-undangan. Kehadiran para pe­lak­­sana tugas kepala daerah tersebut di­harapkan mampu menjaga tercip­tanya kon­dusifitas daerah bersang­kutan, khu­sus­nya menje­lang pelak­sanaan pilkada serentak agar de­­mokrasi di negeri ini dapat berjalan de­ngan baik.

Tentunya mereka yang menjabat se­bagai pelaksana tugas kepala daerah mem­punyai tanggung jawab besar men­jaga daerahnya. Tugas yang diemban se­orang pelaksana tugas selama sekitar em­pat bulan kepala daerah cuti bukan hal ringan. Penjabat yang ditunjuk bukanlah boneka atau pejabat pajangan yang hanya berdiam diri karena pemerin­ta­han daerah akan tetap berjalan dengan sen­dirinya tanpa sentuhan. Sebaliknya, pen­jabat tersebut juga tidak boleh se­enaknya membuat kebijakan yang tak se­laras dengan kebijakan gu­ber­nur yang untuk sementara waktu di­gan­tikannya.

Harus dijaga, jangan sampai ketiadaan ke­pala daerah dimanfaatkan oleh oknum atau kelompok kepentingan tertentu me­ngeruk keuntungan baik dari sisi jabatan, pro­yek, anggaran, atau kepentingan po­litik. Penjabat yang ditunjuk minimal ha­rus dapat menjaga atau mem­per­ta­hankan bergulirnya roda pemerintahan se­hingga tidak terjadi kemandekan apa­lagi ke­mun­du­ran. Bila ada kebijakan baru maka kebijakan pelaksana tugas kepala dae­rah itu sudah seharusnya selaras de­ngan program yang telah digariskan kepala daerah.

Berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2017, seperti di Jakarta, Mendagri Tjahjo Kumolo telah menge­sah­kan Plt Gubernur DKI Jakarta. Proses dan pelaksanaannya penunjukan Plt ini se­suai dengan Peraturan Mendagri No 74/2016 tentang Pengaturan Tugas Pe­laksana Tugas.

Fenomena penunjukan Plt di Jakarta ini menjadi diskursus ketika sang pe­ta­hana, Ahok, seolah tak rela ada Plt yang menggantikannya. Ia tidak ingin dalam pro­ses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terjadi penyelewengan manakala ia tidak bisa ikut menga­wasinya. Kekhawatiran itu di­dasari pengalaman sebelumnya di mana telah terjadi upaya-upaya mema­suk­kan mata anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan, ke dalam APBD.

Peduli pembangunan

Tujuannya adalah untuk mendapatkan ke­untungan dari proyek yang sudah di­anggarkan dalam APBD. Ahok pun me­nga­jukan uji materi atau judicial review UU No 10/2016 tentang Pilkada terkait ke­wajiban cuti kampanye bagi calon pe­tahana. Ahok beranggapan kewajiban cuti bagi calon petahana telah melanggar hak konstitusional sebab petahana tidak dapat menjalankan tugas jabatannya se­lama lima tahun penuh sesuai sumpah ja­batan. Hak yang dimaksud Ahok diatur pada Pasal 60 UU No 23/2014 tentang Pem­da. MK belum memberikan kesim­pu­lan terkait uji materi yang dilayangkan Ahok. Uji materi Ahok bisa dikabulkan atau sebaliknya. Seandainya uji materi tidak diterima, bukan berarti Ahok kalah.

Setidaknya upaya uji materi mengenai cuti petahana telah membuka mata ma­sya­rakat untuk peduli pada pembangunan Ja­karta serta bagaimana seorang gu­ber­nur masih harus bertanggung jawab mes­ki tengah berebut kursi dalam pilkada. Upa­ya Ahok telah menarik perhatian ma­syarakat. Sekurangnya terbuka wa­cana bahwa bila ia tidak ikut serta dalam pembahasan dan penandatanganan APBD, karena harus cuti, maka ma­sya­rakat wajib turut mengawasi proses pe­nyu­sunan APBD. Semangat untuk men­cermati anggaran ini berhasil dibangun oleh Ahok. Kekhawatiran seorang pe­tahana terhadap siapa bakal Plt yang meng­gantikannya adalah wajar.

Ini karena peran terdapat dua kewe­na­ngan yang cukup krusial yang dimiliki Plt gu­bernur. Pertama, kewenangan me­nan­da­tangani Perda tentang APBD dan Perda ten­tang Organisasi Perangkat Dae­rah se­te­lah mendapat persetujuan tertulis dari men­­teri. Kedua, kewenangan me­la­kukan pe­­ngisian dan penggantian pejabat ber­da­sarkan Perda Perangkat Daerah se­telah men­dapat persetujuan tertulis dari men­teri.

Dengan demikian Plt gubernur DKI Ja­kar­ta saat ini wajib menjaga agar proses pem­­bahasan RAPBD 2017 tidak ber­ma­sa­lah hingga munculnya pos anggaran si­­lu­man. Plt juga wajib menjaga disiplin apa­­rat Pem­prov DKI Jakarta dengan me­nutup ce­lah korupsi dan penyalahgu­na­an wewe­nang, serta melanjutkan program kerja Ahok-Djarot, terutama dalam penataan wilayah.

Kebijakan menghentikan penerti­ban ka­­wa­san, misalnya, bakal kontra­pro­duk­tif ter­­hadap Ahok mengingat selama ini pa­sa­ngan Ahok-Djarot konsisten mem­ber­­sih­kan kawasan kumuh dan me­re­lo­ka­si warga yang menempati lahan ter­la­rang. Kewe­na­ngan lainnya adalah me­mim­pin pelak­sa­na­an urusan pe­me­rin­ta­han yang menjadi ke­we­nangan daerah ber­­dasarkan ketentuan pe­­raturan perun­dang-undangan dan ke­bi­jakan yang di­te­tapkan bersama DPRD, mem­­fa­silitasi pe­­nyelenggaraan pilgub, ser­ta men­jaga ne­­tralitas Pegawai Negeri Sipil. Ke­wena­ngan memfasilitasi penye­leng­ga­ra­a­n Pil­gub menuntut Plt menyukseskan pil­kada agar berlangsung demokratis, tertib dan aman.

Dalam hal penunjukan Plt ini, kita meng­apresiasi Kemdagri yang dengan perhitungan matang memilih penjabat yang punya ke­mampuan memimpin Jakarta. Dirjen Oto­nomi Daerah Kemdagri, Sumarsono ditunjuk sebagai Plt Gubernur DKI Jakarta. Sumar­sono pernah menjadi Plt Gubernur Sulawesi Utara (Sulut). Selain Sumarsono terdapat em­pat Plt lainnya yang dilantik oleh Men­dagri. Semoga perhatian tidak hanya tertuju di Jakarta. Daerah lain juga harus men­da­patkan perhatian sehingga para pejabat se­mentara dapat menjalankan tugas dan kewe­nangannya seusia UU.

Adapun untuk para kandidat kepala dae­rah, kita berharap agar mereka dapat menja­lankan politik yang bermartabat. Dalam perio­de kampanye pilkada nanti, komunitas pemi­lih harus berani memaksa para kandidat me­maparkan program mereka untuk mengatasi persoalan daerah itu sendiri. Memaksa kandi­dat memaparkan program adalah hak warga pemilik hak pilih. Karena itu, warga jangan ragu untuk menggunakan hak itu. Kalau ada kandidat yang asal-asalan dalam pemaparan program, warga boleh langsung menilai bah­wa kandidat bersangkutan tidak siap untuk menjadi kepala daerah.

Memilih kepala daerah sejatinya adalah mencari abdi masyarakat. Mencari pemimpin yang mau melayani warganya, berani mem­buat keputusan atau kebijakan untuk meme­cahkan persoalan atau mencari jalan keluar. Sebagai abdi masyarakat, seorang kepala da­e­rah juga harus mampu memanfaatkan ang­garan pembangunan yang disediakan ne­gara. Tidak hanya memanfaatkan, tetapi juga mengamankan anggaran agar tidak dibe­gal oleh pihak lain.

Itulah pertimbangan yang utama ketika warga ingin memilih pemimpin publik. Kare­na itu, warga pemilik hak pilih jangan sampai dikecoh dengan sentimen-sentimen lain yang tidak relevan dengan kewajiban seorang pe­mimpin publik.

Dan yang terpenting dari semua itu adalah kiranya keamanan dan kondusifitas daerah dapat terus terjaga dengan baik. Pelaksana tugas kepala daerah dan juga para calon ke­pala daerah serta masyarakat luas sangat diharapkan mampu mengendalikan diri serta menunjukkan sikap sebagai pihak yang turut bertanggungjawab dalam rangka menjamin serta memastikan bahwa daerah akan dapat terjaga dengan baik serta penuh dengan keda­maian dan ketenteraman. Artinya, kondu­sif­itas daerah perlu mendapat perhatian bersama, khususnya menjelang pelaksanaan pilkada serentak 2017 ini.

Sumber: http://harian.analisadaily.com/opini/news/kondusifitas-daerah-menjelang-pilkada-serentak/287266/2016/11/01
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: