ilustrasi
Oleh: Lukman Riswino.
Sejumlah daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak pada tahun 2017 sudah mendapatkan pejabat baru sebagai pelaksana tugas kepala daerah, baik untuk tingkat provinsi maupun untuk tingkat kabupaten dan kota. Para pelaksana tugas dimaksud akan menjalankan tugas-tugas kepala daerah sesuai dengan batasan-batasan kewenangan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kehadiran para pelaksana tugas kepala daerah tersebut diharapkan mampu menjaga terciptanya kondusifitas daerah bersangkutan, khususnya menjelang pelaksanaan pilkada serentak agar demokrasi di negeri ini dapat berjalan dengan baik.
Tentunya mereka yang menjabat sebagai pelaksana tugas kepala daerah mempunyai tanggung jawab besar menjaga daerahnya. Tugas yang diemban seorang pelaksana tugas selama sekitar empat bulan kepala daerah cuti bukan hal ringan. Penjabat yang ditunjuk bukanlah boneka atau pejabat pajangan yang hanya berdiam diri karena pemerintahan daerah akan tetap berjalan dengan sendirinya tanpa sentuhan. Sebaliknya, penjabat tersebut juga tidak boleh seenaknya membuat kebijakan yang tak selaras dengan kebijakan gubernur yang untuk sementara waktu digantikannya.
Harus dijaga, jangan sampai ketiadaan kepala daerah dimanfaatkan oleh oknum atau kelompok kepentingan tertentu mengeruk keuntungan baik dari sisi jabatan, proyek, anggaran, atau kepentingan politik. Penjabat yang ditunjuk minimal harus dapat menjaga atau mempertahankan bergulirnya roda pemerintahan sehingga tidak terjadi kemandekan apalagi kemunduran. Bila ada kebijakan baru maka kebijakan pelaksana tugas kepala daerah itu sudah seharusnya selaras dengan program yang telah digariskan kepala daerah.
Berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2017, seperti di Jakarta, Mendagri Tjahjo Kumolo telah mengesahkan Plt Gubernur DKI Jakarta. Proses dan pelaksanaannya penunjukan Plt ini sesuai dengan Peraturan Mendagri No 74/2016 tentang Pengaturan Tugas Pelaksana Tugas.
Fenomena penunjukan Plt di Jakarta ini menjadi diskursus ketika sang petahana, Ahok, seolah tak rela ada Plt yang menggantikannya. Ia tidak ingin dalam proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terjadi penyelewengan manakala ia tidak bisa ikut mengawasinya. Kekhawatiran itu didasari pengalaman sebelumnya di mana telah terjadi upaya-upaya memasukkan mata anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan, ke dalam APBD.
Peduli pembangunan
Tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan dari proyek yang sudah dianggarkan dalam APBD. Ahok pun mengajukan uji materi atau judicial review UU No 10/2016 tentang Pilkada terkait kewajiban cuti kampanye bagi calon petahana. Ahok beranggapan kewajiban cuti bagi calon petahana telah melanggar hak konstitusional sebab petahana tidak dapat menjalankan tugas jabatannya selama lima tahun penuh sesuai sumpah jabatan. Hak yang dimaksud Ahok diatur pada Pasal 60 UU No 23/2014 tentang Pemda. MK belum memberikan kesimpulan terkait uji materi yang dilayangkan Ahok. Uji materi Ahok bisa dikabulkan atau sebaliknya. Seandainya uji materi tidak diterima, bukan berarti Ahok kalah.
Setidaknya upaya uji materi mengenai cuti petahana telah membuka mata masyarakat untuk peduli pada pembangunan Jakarta serta bagaimana seorang gubernur masih harus bertanggung jawab meski tengah berebut kursi dalam pilkada. Upaya Ahok telah menarik perhatian masyarakat. Sekurangnya terbuka wacana bahwa bila ia tidak ikut serta dalam pembahasan dan penandatanganan APBD, karena harus cuti, maka masyarakat wajib turut mengawasi proses penyusunan APBD. Semangat untuk mencermati anggaran ini berhasil dibangun oleh Ahok. Kekhawatiran seorang petahana terhadap siapa bakal Plt yang menggantikannya adalah wajar.
Ini karena peran terdapat dua kewenangan yang cukup krusial yang dimiliki Plt gubernur. Pertama, kewenangan menandatangani Perda tentang APBD dan Perda tentang Organisasi Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri. Kedua, kewenangan melakukan pengisian dan penggantian pejabat berdasarkan Perda Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri.
Dengan demikian Plt gubernur DKI Jakarta saat ini wajib menjaga agar proses pembahasan RAPBD 2017 tidak bermasalah hingga munculnya pos anggaran siluman. Plt juga wajib menjaga disiplin aparat Pemprov DKI Jakarta dengan menutup celah korupsi dan penyalahgunaan wewenang, serta melanjutkan program kerja Ahok-Djarot, terutama dalam penataan wilayah.
Kebijakan menghentikan penertiban kawasan, misalnya, bakal kontraproduktif terhadap Ahok mengingat selama ini pasangan Ahok-Djarot konsisten membersihkan kawasan kumuh dan merelokasi warga yang menempati lahan terlarang. Kewenangan lainnya adalah memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, memfasilitasi penyelenggaraan pilgub, serta menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil. Kewenangan memfasilitasi penyelenggaraan Pilgub menuntut Plt menyukseskan pilkada agar berlangsung demokratis, tertib dan aman.
Dalam hal penunjukan Plt ini, kita mengapresiasi Kemdagri yang dengan perhitungan matang memilih penjabat yang punya kemampuan memimpin Jakarta. Dirjen Otonomi Daerah Kemdagri, Sumarsono ditunjuk sebagai Plt Gubernur DKI Jakarta. Sumarsono pernah menjadi Plt Gubernur Sulawesi Utara (Sulut). Selain Sumarsono terdapat empat Plt lainnya yang dilantik oleh Mendagri. Semoga perhatian tidak hanya tertuju di Jakarta. Daerah lain juga harus mendapatkan perhatian sehingga para pejabat sementara dapat menjalankan tugas dan kewenangannya seusia UU.
Adapun untuk para kandidat kepala daerah, kita berharap agar mereka dapat menjalankan politik yang bermartabat. Dalam periode kampanye pilkada nanti, komunitas pemilih harus berani memaksa para kandidat memaparkan program mereka untuk mengatasi persoalan daerah itu sendiri. Memaksa kandidat memaparkan program adalah hak warga pemilik hak pilih. Karena itu, warga jangan ragu untuk menggunakan hak itu. Kalau ada kandidat yang asal-asalan dalam pemaparan program, warga boleh langsung menilai bahwa kandidat bersangkutan tidak siap untuk menjadi kepala daerah.
Memilih kepala daerah sejatinya adalah mencari abdi masyarakat. Mencari pemimpin yang mau melayani warganya, berani membuat keputusan atau kebijakan untuk memecahkan persoalan atau mencari jalan keluar. Sebagai abdi masyarakat, seorang kepala daerah juga harus mampu memanfaatkan anggaran pembangunan yang disediakan negara. Tidak hanya memanfaatkan, tetapi juga mengamankan anggaran agar tidak dibegal oleh pihak lain.
Itulah pertimbangan yang utama ketika warga ingin memilih pemimpin publik. Karena itu, warga pemilik hak pilih jangan sampai dikecoh dengan sentimen-sentimen lain yang tidak relevan dengan kewajiban seorang pemimpin publik.
Dan yang terpenting dari semua itu adalah kiranya keamanan dan kondusifitas daerah dapat terus terjaga dengan baik. Pelaksana tugas kepala daerah dan juga para calon kepala daerah serta masyarakat luas sangat diharapkan mampu mengendalikan diri serta menunjukkan sikap sebagai pihak yang turut bertanggungjawab dalam rangka menjamin serta memastikan bahwa daerah akan dapat terjaga dengan baik serta penuh dengan kedamaian dan ketenteraman. Artinya, kondusifitas daerah perlu mendapat perhatian bersama, khususnya menjelang pelaksanaan pilkada serentak 2017 ini.