Konsep Islam \'gagal\' diterapkan di negeri Islam?

Author : Aries Musnandar | Kamis, 12 Juni 2014 11:28 WIB

Seorang sahabat saya yang sudah senior, pensiunan dari Islamic Development Bank (IDB) merasa prihatin dengan umat Islam yang berada di negeri Islam. Menurutnya, Muslim di negara Islam justeru berperilaku layaknya seorang Muslim dengan kekuatan kepribadian yang mengutamakan nilai-nilai kebaikan universal seperti bekerja keras, disiplin, jujur, suka menolong dan lain-lain. Padahal nilai-nilai kebaikan itu merupakan menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Quran dan hadist. Sebaliknya, kawan saya ini mengungkap pengalaman pribadinya berkenalan dengan Muslim yang berpendidikan dan tinggal di negara maju tetapi memiliki kepribadian kokoh dalam menerapkan prinsip-prinsip kebaikan universal seperti disebut diatas. Memerhatikan situasi ini ia sampai berani mengambil kesimpulan perbedaan kepribadian yang menjunjung nilai-nilai kebaikan universal antara misalnya Muslim lulusan Mesir dengan Muslim lulusan Inggris. Dalam konteks ini kita bisa merasakan kegundahan kawan ini yang melihat perbedaan mencolok perilaku masyarakat terdidik di negara non Muslim dan Muslim sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan karena sesungguhnya Islam itu membawa ajaran mulia membentuk kesempurnaan akhlak manusia. Ini berarti Muslim baru tampak secara kuantitatif belum berhasil secara kualitatif.

Dalam percakapan singkat itu saya katakan bahwa kegagalan membentuk sosok Muslim (baik yang terdidik, setengah terdidik maupun tidak terdidik dalam arti mengenyam sekolah formal) dikarenakan kekeliruan pemahaman dalam beragama. Islam di negara-negara Islam diajarkan di sekolah-sekolah formal secara konsep dan teori tetapi gagal diimplementasikan dalam tataran praksis. Sementara di negara non Islam sejumlah nilai-nilai kebaikan universal berhasil ditanamkan secara masif tidak hanya melalui pendidikan tetapi didukung dalam tatanan sosial yang diterapkan dan dikendalikan secara ketat, sehingga "mendarah daging" menjadi budaya sosial sehari-hari. Disnilah kelemahan mendasar negara-negara Islam dalam memahami ajaran agama yang begitu mulia hingga Nabi sendiri mengatakan bahwa beliau sendiri diutus tidak lain dan tidak bukan semata-mata adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Pengejawantahan hadist ini rupanya tergerus dengan nikmatnya Muslim melakukan rutinitas ritual ibadah madhoh, mengenyampingkan persoalan muamalah yang membutuhkan penerapan prinsip-prinsip kebaikan universal sebagaimana yang dipaparkan diatas.

Kehidupan masyarakat di negara maju terkesan menyenangkan, tertib teratur, menikmati kehidupan duniawinya, sehingga mereka tampak sejahtera dalam arti materi dan fisiik.  Hal ini disebabkan implementasi dari nilai-nilai kebaikan universal telah mengakar menjadi satu sistem kehidupan yang mapan. Bagi mereka yang pernah tinggal di negara maju dapat merasakan betapa masyarakat di negara maju memiliki peradaban dan budaya demikian maju mengungguli peradaban Islam masa kini. Padahal Islam sebagai agama mengajarkan secara lengkap untuk mencapai keunggulan peradaban sehingga dapat diraih kebahagiaan hidup, tidak hanya di dunia tetapi juga persiapan untuk kebahagiaan hidup di akherat. Hanya memang Islam memperingati umat agar tidak larut dengan kehidupan dunia yang fana dan sementara ini, tidak menghambakan dirinya hanya semata-mata untuk kehidupan dunia semata, karena kehidupan ukhrowi yang kekal abadi. Oleh karena itu kebahagiaan di dunia itu juga dikaitkan dengan ibadah dan amalan yang mesti dilakukan sebagai Muslim agar mencapai pula kebahagiaan di akherat.

Sesungguhnya agama Islam amat jelas dan terang benderang mengajarkan kebaikan dunia dan akherat namun sayang penangkapan makna oleh sebagian (besar) umat Islam itu sendiri masih kurang benar atas ajaran Islam yang dianutnya. Masih banyak yang menganggap Islam hanyalah kegiatan ritual sehingga manakala sudah menyangkut kehidupan di dunia seperti politik, ekonomi, sosial dan ideologi dianggap bukan urusan agama. Pandangan ini adalah pandangan dikotomik yang memisahkan agama dari kehidupan dunia yang pada gilirannya juga membedakan antara ajaran dunia dan akherat. Seolah-olah agama hanya untuk urusan akherat belaka sedangkan urusan dunia mesti terpisah dari agama. Ini yang sering dikenal dengan istilah sekularisme. Padahal jika kita ingin bersabar dalam mempelajari agama Islam kita akan merasakan dan meyakini bahwa Islam adalah ajaran agama satu-satunya yangs secara lengkap menjelaskan tentang tata cara memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: