Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum sepenuhnya dapat dikatakan bebas dan mandiri melaksanakan tugas-tugasnya. Masih banyak pekerjaan rumah, baik bersifat eksternal seperti penanganan kasus-kasus (mega) korupsi maupun pembenahan ke dalam (internal). Taruhannya, apakah KPK benar-benar mampu menjadi benteng penegakan hukum dan keadilan yang kokoh?
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK menegaskan bahwa KPK adalah lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Namun pada kenyataannya, kondisi internal dan eksternal dapat membuat fungsi utama KPK untuk membongkar kasus korupsi justru "dikendalikan" lembaga lain.
KPK belum sepenuhnya bisa disebut independen kala posisi-posisi penting di lapangan ternyata bukan dilakukan oleh tenaga tetap KPK. Masalah lain lagi, penyidik KPK sampai kini "dipasok" dari lembaga kepolisian dan kejaksaan. Padahal kita tahu, KPK dibentuk karena ada krisis kepercayaan pada kedua lembaga itu dalam memberantas korupsi di Tanah Air. Totalitas pemberantasan korupsi terganjal dengan aroma konflik kepentingan dan faktor psikologis dari sejumlah "karyawan" titipan itu.
Seorang kandidat pimpinan KPK dari unsur kepolisian pada saat fit and proper test lalu mengatakan bahwa KPK masih memerlukan penyidik dari kepolisian mengingat pengalaman lembaga itu dalam menyiapkan tenaga penyidik profesional. Sementara itu, kandidat lain memandang perlu menyiapkan tenaga penyidik yang bebas dari kontaminasi luar.
Oleh karenanya, rekrutmen tenaga penyidik baru perlu dilakukan. Ide kandidat ini yang kemudian menjadikannya sebagai Ketua KPK baru memang membawa angin segar dan diharapkan terbebas dari konflik kepentingan. Seperti kita ketahui, upaya membawa oknum perwira tinggi polisi yang memiliki rekening gendut (piggy account) belum terealisasikan hingga saat ini.
Untuk mengatasi kendala dan hambatan penyidikan yang independen, diperlukan perencanaan rekrutmen yang dibuat dengan memperhatikan jenjang karier karyawan. Profesionalitas pengelolaan human resource management (SDM) yang sistemis dan terarah akan menjadi kekuatan penting bagi kenyamanan kerja karyawan KPK.
Lembaga ini dapat memberlakukan sistem merit, yakni penilaian unjuk kerja (performance appraisal) yang memungkinkan remunerasi berjalan seimbang dan sesuai dengan produktivitas kerja di lapangan. Jadi, mereka yang bekerja di KPK adalah staf yang profesional dan memiliki karier yang jelas, serta memungkinkan bagi mereka menduduki posisi jajaran pimpinan KPK walau fit and proper test tetap dilakukan oleh DPR. Pengelolaan SDM secara profesional dengan sistem remunerasi yang mengandalkan prestasi kerja mesti diberlakukan lembaga KPK. Sorotan publik cukup tajam mengingat sejumlah kasus tidak berhasil dituntaskan, dan KPK dianggap masih melakukan tebang pilih. Wajar kemudian masyarakat curiga, khususnya pada jajaran penyidik KPK yang merupakan aktivitas penting operasional KPK.
Karier
Rekrutmen penyidik KPK dapat dilakukan berbagai sumber. Bisa saja tetap dari kepolisian atau bahkan militer. Tetapi ketika telah diterima bekerja di KPK, mereka harus diterima sebagai tenaga kerja, namun bukan sementara, sehingga yang bersangkutan tidak lagi sebagai karyawan "bantuan" melainkan sudah pindah kerja dan meninggalkan atribut atau kepangkatan di organisasi asalnya untuk memakai kepangkatan yang berlaku di KPK.
Persoalan mungkin muncul karena KPK didirikan bukan sebagai lembaga permanen, sehingga suatu saat KPK mungkin saja tidak diperlukan lagi. Dalam konteks ini, tentu KPK perlu membuat semacam rencana organisasi jangka pendek hingga jangka panjang bagi jenjang karier penyidik KPK. Jika melihat kondisi lembaga kepolisian dan kejaksaan sekarang ini, maka diperkirakan KPK masih diperlukan dalam waktu relatif lama.
Namun apabila suatu saat KPK memang tidak diperlukan, bukan berarti tenaga penyidik KPK tidak terpakai. Tetapi justru dengan pengalamannya di lembaga bergensi seperti KPK, pihak yang bersangkutan dapat dimanfaatkan berbagai lembaga penegakan hukum, baik di dalam maupun luar negeri. Agar karyawan KPK, termasuk tenaga penyidik, memiliki kompetensi andal dalam melakukan tugas terkait korupsi dan penyalahgunaan wewenang, diperlukan berbagai keahlian, sehingga saat lembaga KPK bubar, karyawan dan tenaga penyidik akan mudah memperoleh pekerjaan di tempat lain, di perusahaan atau organisasi swasta maupun pemerintahan.
Salah satu sertifikasi yang berguna bagi tenaga penyidik KPK saat ini maupun di masa mendatang untuk jenjang kariernya adalah memperoleh Certified Fraud Examiner (CFE), yakni sebuah sertifikat yang dikeluarkan oleh Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), Amerika Serikat. Gelar ini mencakup kemampuan di bidang pencegahan, pendeteksian, dan investigasi korupsi. Untuk mendapat gelar CFE, seseorang mesti menyelesaikan dulu empat bidang keahlian, yaitu financial transactions, legal elements of fraud, fraud techniques, dan criminology and ethics.
Pelatihan dan sertifikasi lain yang diperlukan karyawan KPK agar kualitas kerja semakin baik antara lain Sertifikasi QIA (Qualified Internal Auditor). Sertifikasi ini adalah gelar kualifikasi dalam bidang internal auditing, yang merupakan simbol profesionalisme dari individu yang menyandang gelar tersebut. Gelar QIA juga merupakan pengakuan bahwa penyandang gelar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan sejajar dengan kualifikasi internal auditor kelas dunia.
Sertifikasi tersebut sangat bermanfaat bagi karyawan (penyidik) saat bekerja di KPK. Diperlukan kesepakatan antara KPK dan karyawannya agar tidak mengundurkan diri pada kurun waktu tertentu. Hal ini biasa dilakukan berbagai perusahaan negara yang menyekolahkan karyawannya.
Sudah saatnya KPK segera merekrut sendiri dan mengembangkan kompetensi penyidik-penyidik tetapnya. KPK penting memiliki penyidik yang benar-benar independen agar tidak ada duri dalam selimut, atau tidak terjadi pagar makan tanaman. Dengan demikian, KPK leluasa melakukan penegakan hukum. ***
Oleh Aries Musnandar, penulis adalah dosen Universitas Brawijaya, Malang
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/80437
Sumber : KORAN-JAKARTA.COM