Kriminalisasi atau Diskriminasi?

Author : Teddy Oktavianto | Kamis, 28 November 2013 12:46 WIB

Aksi solidaritas yang terjadi pada (27/11) merupakan aksi empati dari profesi dokter. Mereka (dokter) menyayangkan hukuman yang diberikan oleh Mahkamah Agung terhadap rekan sejawatnya. Kasus yang bermula dari dugaan malpraktek yang dilakukan dr. Ayu dan rekan-rekannya mencuat ke masyarakat ketika keluarga korban tidak terima atas tindakan yang dilakukan oleh tim dokter sehingga menghilangkan nyawa. Selain itu, gonjang-ganjing permasalahan ini juga disebabkan keputusan yang berbeda dari Pengadilan yang membebaskan murni dr Ayu. Hal yang berbeda terjadi ketika dari hasil naik banding ke Mahkamah Agung yang kontradiktif menimbulkan gejolak ketidakpuasan dan merasa dikriminalisasi. Dari sudut pandang dokter, semua penanganan yang dilakukan dokter sudah sesuai prosedur sehingga keputusan yang ditentukan oleh Mahkamah Agung dirasa sebagai kriminalisasi. Disisi lain, keluarga korban menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh dr Ayu tidak sesuai prosedur. Dalam penanganan medis memang tidak luput dari resiko yang terjadi.

Aksi solidaritas yang di lakukan oleh para dokter memang tidak melanggar hukum, asalkan tidak menelantarkan pasien dan tetap melakukan pelayanan. Bahkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menyerukan aksi protes tersebut jangan sampai menelantarkan pasien. Tapi yang disayangkan pada kenyataannya adalah dengan tidak bekerjanya dokter, pasien menjadi terlantar. Lalu bisa saja tujuan dari aksi tersebut mengajak masyarakat untuk berempati akan bergeser makin membenci.

Fungsi Sosial dan Fungsi Komersial

Mahalnya biaya dokter juga ditengarai dari efek mahalnya pendidikan kedokteran. Wajar saja, dokter juga manusia, mereka juga perlu memenuhi kebutuhan fisiologis tetapi tidak dengan merubah orientasi pada materi saja. Potret permasalahan kesehatan di Indonesia saat ini cukup miris. Fungsi sosial yang seharusnya dijalankan kini bergeser menjadi komersial. Banyak anggapan mahalnya biaya dokter tidak bisa terjangkau oleh masyarakat miskin sehingga muncul istilah orang miskin dilarang sakit. Rumah sakit domainnya mulai beralih dari sosial jadi bisnis. Pelayanan dilakukan hanya pada orang yang memiliki uang saja. Mindset seperti itu sudah tertanam pada kalangan masyarakat kelas menengah-bawah. Hal ini juga diperkuat oleh kasus-kasus yang pernah diangkat oleh media massa.

Masyarakat pada umumnya pasti tidak ada yang mendukung kriminalisasi terhadap dokter bahkan kriminalisasi terhadap profesi apapun, semua pasti menolaknya. Pada dasarnya profesi dokter sangatlah mulia jika menjalankan fungsi sosial. Bukankah setiap kemuliaan pasti melalui jalan yang terjal? Tapi mengapa banyak masyarakat yang tidak simpatik terhadap apa yang terjadi pada dokter saat ini? Jika demikian maka yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana selama ini anda (dokter) memperlakukan mereka (masyarakat)?

Persepsi umum pada dokter yang tidak baik cenderung pada oknum dokter yang tidak baik pula sehingga profesi dokter pun makin tersudutkan. Demo yang dilakukan oleh dokter cenderung bertujuan mencari simpati masyarakat dirasa makin membuat citra dokter memudar. Alih-alih menunjukkan simpati atau  malah menjadi antipati.

Aksi solidaritas yang sangat disayangkan telah terjadi. Untuk itu, mari fokuskan diri dengan mengumpulkan data, membuktikan fakta-fakta dan melakukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atau melakukan uji materi jika ada materi yang menurutnya salah ke Mahkamah Konstitusi. Tapi yang perlu dikatahui tidak ada profesi apapun yang kebal terhadap hukum. Oleh karena itu, alangkah indahnya jika permasalahan hukum dapat diselesaikan sesuai prosedurnya. Agar pihak yang bersangkutan (dokter) dan keluarga korban tidak merasa di rugikan. Proses hukum tidak pernah melakukan kriminalisasi atau diskriminasi.

Perbaikan yang Masif

Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang jumlah dokter dan penduduk Indonesia tidak sebanding. Rasio antara dokter dan pasien di Indonesia sangat buruk. Di Indonesia 3 dokter untuk 10.000 penduduk semantara Negara tetangga (Malaysia) 9 dokter untuk 10.000 penduduk. Bahkan Indonesia dikatakan paling buruk se-ASEAN.

Jika melihat dari sisi institusi, standarisasi pelayanan pada pasien yang lebih baik harus diterapkan oleh setiap Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan dokter di Indonesia. Selain itu, mahalnya biaya pendidikan kedokteran juga harus bisa ditangani oleh pemerintah. Sehingga kekurangan tenaga dokter saat ini bisa teratasi. Tentunya dengan tidak mengesampingkan kualitas pendidikannya dan merata. Walaupun pemerintah sudah mengatur semuanya dalam undang-undang tapi proses penerapan dan pengawasannya yang sampai saat ini belum maksimal perlu ditingkatkan.

Dari sisi individu, selain peningkatan kompetensi, dokter juga perlu memiliki kemampuan komunikasi yang bertujuan melakukan edukasi pada pasien. Komunikasi kesehatan merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh dokter. Dengan kemampuan berkomunikasi, maka isi pesan yang diberikan pada pasien bisa diterima sehingga tidak terjadi perbedaan pemahaman. Dokter juga memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan pasien, sehingga jika terjadi kendala atau resiko setelah upaya maksimal, maka pasien lebih mengerti dan tahu bahwa tidak semua hak-haknya di bisa dipenuhi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi kejadian yang merugikan banyak pihak termasuk dokter dan pasien.

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: