Media Massa mempengaruhi opini publik

Author : Aries Musnandar | Sabtu, 31 Mei 2014 10:11 WIB

Pada era orde baru media massa tidak boleh bertentangan secara ekstrim terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Kala itu peranan media massa terutama koran, radio dan televisi amat dibatasi bahkan terkesan menjadi corong pemerintah dengan menampilkan sejumlah berita, liputan dan tayangan yang sesuai dengan keinginan pemerintah. Pers yang “mbalelo” dari keinginan pemerintah misalnya memuat berita yang menyudutkan pemerintah akan mendapatkan sanksi berat hingga diberangusnya media itu. Pengaruh dan intervensi pemeritah demikian besar terhadap Pers menjadikan media massa terkooptasi dan diarahkan sesuai keinginan sang penguasa.

Kondisi media massa yang terkungkung dengan aturan sepihak penguasa tidak lagi tampak pada periode reformasi sekarang ini. Bahkan media massa tampak garang dalam menyoroti kegiatan kepemerintahan baik ditingkat daerah maupun pusat. Namun disisi lain media massa juga bisa dijadikan wahana ekspresi, sosialisasi dan komunikasi sejumlah pejabat dalam meningkatkan citra diri kehadapan masyarakat luas bahkan dapat pula menjadi ajang promosi atau kampanye diri agar masyarakat memilih dirinya dalam kontestasi pemilihan kekuasaan politik di Indonesia.

Lebih jauh lagi media massa kini berperanan cukup penting dalam memengaruhi masyarakat bagi pembentukan opini publik yang amat diharapkan bagi pelaku politik praktis di negeri ini untuk berhasil memenangkan kontestasi politik. Pada titik ini peranan media massa dalam memengaruhi opini publik terhadap tokoh atau pelaku politik praktis boleh jadi bisa berkembang pada iklim demokrasi yang tidak sehat dikarenakan pandangan subyektif media massa atas tafsiran pemahaman. Mereka yang belum cukup matang dalam memahami sosok pemimpin dan kepemimpinan mungkin bisa saja “terjebak” atau terperangkap oleh skenario besar media massa untuk memenangkan kandidat tertentu.

Saking senangnya media massa atas sosok pemimpin tertentu dan keberpihakan yang sangat kentara membuat pemberitaan media massa irasional dan tidak lagi mendidik masyarakat dalam mengkritisi hal-hal yang sepatutnya perlu dilakukan. Memang tokoh-tokoh yang diliput dan kerap diberitakan oleh media massa akan menjadi popular dan tampak sekali tokoh-tokoh itu juga “menikmati peliputan tentang dirinya. Bahkan liputan tentang tokoh ini sudah diluar akal sehat karena seringkali diliput hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan tugas pekerjaan utama sang tokoh seperti bernyanyi, makan di warteg dan juga ucapan komentar tokoh tersebut atas program yang ditayangkan disejumlah stasiun televisi di Indonesia. Sungguh peliputan ini bukan sesuatu yang baik bagi pendidikan politiik kita malah terkesan dunia politik praktis di negeri ini disejajarkan dengan dunia selebirti-entertaimen yang banyak menayangkan kegiatan-kegiatan berisfat popularitas semata ketimbang bersifat edukasi.

Oleh karena itu sudah sepantasnya kita sebagai rakyat yang peduli politik untuk tidak serta merta begitu percaya terhadap media yang acapkali memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi sejak masa reformasi sudah banyak pemilik media yang turut berkecimpung dalam persaingan merebut kekuasaaan dengan menerjunkan diri terlibat politik praktis. Dunia politikj praktis di Indonesia sudah terlanjur dikenal istilah tidak ada kawan dan lawan abadi tetapi yang ada hanyalah kepentingan abadi para pelaku politik praktis tersebut. Istilah, pandangan semacam ini sangat tidak etis dan menyalahi tujuan mulia politik itu sendiri yang menempatkan keadilan dan kemakmuran ibarat dua mata uang yang tak terpisah.

*) Dosen dan Konsultan SDM

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: