Memaknai Peran Gubernur di Era Otonomi Daerah

Author : Budi Purba | Rabu, 24 September 2014 12:08 WIB

Otonomi Daerah lahir pada saat era reformasi dan dimaknai sebagai solusi dalam menjalankan Pemerintahan agar dapat melaksanakan pembagunan secara adil merata dan berkesinambungan. Otonomi Daerah lahir sebagai sebuah terobosan maju dan dalam kerangka percepatan pembangunan Indonesia yang adil dan merata. Pelaksanaan otonomi Daerah esensinya menciptakan penyelenggaraan pemerintah daerah yang mengutamakan asas desentralisasi karena tiap daerah mempunyai kompleksitas politik, sumber daya alam, dan masalah yang berbeda antara satu daerah dan daerah yang lain, maka diharapkan dengan dilaksanakannya otonomi Daerah dapat menumbuhkan dan mendorong semangat positif dalam meningkatkan kreativitas, pemberdayaan masyarakat serta pembangunan di daerah yang didasarkan pada kemampuan dan kebutuhan daerah masing masing.

Bahkan untuk mengatur landasan hukum atas pelaksanaan Otonomi Daerah maka telah dilaksanakan amandemen atas Undang Undang Dasar 1945 pada bab VI pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Propinsi Propinsi yang terdiri dari kabupaten dan kota yang dijalankan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Maka dalam pelaksanaan hal tersebut Undang Undang Dasar 1945 mensyaratkan pembentukan Undang Undang yang mengatur hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah yang dilaksanakan secara adil dan selaras. Bahkan dalam pasal 18 juga memungkinkan pembentukan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan bersifat khusus karena Pemerintah menyadari kompleksitas tiap daerah yang sangat berbeda baik karena latar belakang sejarah, politik, dan sumber daya sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam menjalankan sistem pemerintahannya.

Maka untuk mengimplementasikan hal tersebut lahirlah lahirlah Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang pada prinsipnya mengatur sistem pelaksanaan Pemerintah Daerah dengan asas Desentralisasi yang kemudian di ubah melalui Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 dan perubahannya karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan atas pelaksanaan Otonomi Daerah.

Perlu kita pahami bersama bahwa dalam kerangka Otonomi Daerah sebenarnya pemerintahan daerah terbagi menjadi dua tingkatan sistem perintahan yaitu Pemerintah Propinsi dan Pemerintah kabupaten dan Kota, pemerintah propinsi dalam kerangka Otonomi Daerah hadir sebagai wakil dari Pemerintah Pusat karena adanya pelimpahan kewenangan sesuai dengan asas Dekonsentrasi ialah menjalankan kewenangan Pusat yang dilimpahkan kepadanya, maka Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan pemerintahannya sesuai dengan asas desentralisasi dan otonomi Daerah harus berkoordinasi dengan Pemerintah Propinsi sebagai Wakil dari Pemerintah Pusat di Daerah dalam menjalankan dan mengontrol kebijakan kebijakan yang merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat dan dalam menjalakan kewenangan Pemerintah Pusat yang diserahkan kepadanya.

Namun pada prakteknya seringkali pemerintah kabupaten/Kota dalam menjalankan roda Pemerintahan di Daerah kebijakannya tidak sesuai dengan arah kebijakan Pemerintah Pusat, seringkali dalam melaksanakan kewenangan Pemerintahan daerah Pemerintah kabupaten/Kota terkesan mengabaikan aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai Penyelenggaran Pemerintahan Daerah. Dan Pemerintah Propinsi dalam hal ini seringkali seolah olah tidak berdaya dalam menjalankan peranannya sebagai wakil dari Pemerintah Pusat padahal seharusnya Pemerintah Propinsi hadir untuk menjembatani kebijakan kebijakan Pemerintah Pusat untuk di tingkat Daerah, belum lagi Pemerintah Propinsi terkadang karena berbagai hal dan kepentingan seringkali mengabaikan kebijakan Pemerintah Pusat dalam rangka menjalankan kewenangannya untuk menjalankan dan menjembatani kebijakan Pemerintah Pusat di tingkat Pemerintahan Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota di bawahnya.

Dalam menjalankan sistem Pemerintahan dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya arah pembangunan dan kebijakan di Pemerintah Pusat harus sesuai dan sejalan dengan Kebijakan Pemerintah Daerah baik ditingkat Propinsi maupun ditingkat Kabupaten/Kota sehingga pembangunan dapat terlaksana secara terintegrasi dan tidak menimbulkan kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah lainnya, dan Konsep Negara kesatuan Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya karena sesungguhnya Pemerintah Daerah Propinsi hadir sebagai wakil dari Pemerintah pusat didaerah dan mempersatukan seluruh Daerah, untuk menyalurkan pembangunan secara merata pada tiap daerahnya masing masing, karena jika tidak demikian Konsep Negara Kesatuan hanya akan menjadi wacana, dan akan timbul kecemburuan antara Daerah dengan Pusat, Daerah dengan Daerah lainnya dan dapat mengancam Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan.

Dan hal ini sesungguhnya telah disadari oleh Pemerintah maka dalam menjalankan sistem Otonomi Daerah dibentuklah aturan khusus yang spesifik mengatur Pembagian urusan, kewenangan dan tugas yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tingkat Propinsi dan Pemerintah tingkat kabupaten/Kota sehingga dalam menjalankan sistem Pemerintahan menjadi jelas apa yang menjadi kewenangan, tugas dan urusan masing masing Pemerintahan ditiap tingkatannya, hal ini diatur dalam Undang Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta turunannya dan diharapkan dengan hal ini sistem pemerintahan Pusat dan Daerah menjadi lebih sinergis dan tidak saling tumpang tindih. Agar arah pembangunan yang digariskan oleh Pusat dapat dijalankan oleh Pemerintah Daerah secara terintegrasi dan tidak terputus dan agar Pemerintah Pusat juga dapat mendorong arah Pemerintahan didaerah sesuai dengan kewenangan dan hak Pemerintahan Daerah melalui kebijakan Politik dan Kebijakan penganggaran yang berpihak kepada Daerah dengan memperhatikan kompleksitas tiap daerah yang sangat berbeda antara satu dan yang lainnya sehingga tidak menimbulkan kecemburuan antar daerah.

Maka sebagaimana uraian tersebut terlihat jelas adanya jarak antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditingkat Kabupaten/Kota dan Pemerintah Propinsi hadir sebagai jembatan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah, Pemerintah propinsi sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 hadir lebih dalam menjalankan tugas Dekonsentrasi yaitu menjalankan tugasnya dalam menjalankan kewenangan Pemerintah Pusat yang telah dilimpahkan kepadanya.

Lantas mengapa setelah hampir tiga belas tahun otonomi Daerah berjalan nampaknya masih banyak masalah yang kita hadapi. Banyak kajian dan pendapat yang berkembang luas tentang bagaimana seharusnya konsep Otonomi Daerah dijalankan dan berjalan dengan baik, mulai dari Birokrat, para Ahli Hukum, akademisi dan masyarakat lainnya, banyak kajian atas kelemahan dan bagaimana sistem ini diperbaiki kedepan. Namun terlepas dari semua kekurangan dan kelemahannya kita semua sepakat dan mengamini bahwa Otonomi Daerah merupakan suatu Grand Disain yang tepat dalam menjalankan Pemerintahan dalam Konsep Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam latar belakang, adat, budaya, sejarah, kondisi geografis, dan kompleksitas yang sangat unik antara satu daerah dan daerah yang lainnya. Dan saya pada kesempatan ini akan menyoroti betapa pentingnya Peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah dalam menjalankan kewenangannya sesuai dengan asas Dekonsentrasi, mengapa dalam keadaan dan situsi tertentu Gubernur seolah olah tidak mampu menjembatani arah kebijakan Pusat yang telah dituangkan dalam Peraturan baik itu yang bersifat Undang Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan berbagai macam jenis peraturan lainnya, mengapa dalam hal tertentu Gubernur seringkali gagal meredam gejolak maupun Konflik di Daerahnya masing masing, bagaimana peran Gubernur dalam menyelesaikan masalah aset antara kabupaten/kota yang dimekarkan dengan kabupten/kota induknya yang tersebar di seluruh indonesia sampai sekarang ini dan belum terselesaikan, belum lagi terkait pengisian pejabat struktural di kabupaten/kota yang menjadi binaannya juga seringkali rawan dari penyelundupan hukum dengan meletakan personil atau mencopot personil tidak sesuai dengan aturan kepegawaian yang berlaku yang seringkali diakali oleh pemerintah kabupaten/kota dan jabatan yang ada di daerah menjadi jabatan Politis padahal PNS yang ada di daerah merupakan ujung tombak pemerintahan, Pembangunan dan pelayanan masyarakat di Daerah yang seharusnya menjadi bagian dari pengawasan dan pembinaan pemerintah Propinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah.

Sesungguhnya mekanisme sistem Pemerintahan dengan prinsip Otonomi Daerah dapat dimaksimalkan dengan Peranan Gubernur yang maksimal sebagai wakil dari Pemerintah Pusat yang ada di tiap Daerah, oleh karena itu kita harus mendudukan kembali peran Gubernur dan kewenangannya bahkan mekanisme pemilihan Gubernur yang bersifat pemilihan langsung selama ini seringkali baik secara langsung maupun tidak langsung menarik Gubernur pada pusaran politik lokal yang berakibat pada kinerja dan kebijakan yang tidak seharusnya

Gubernur sesungguhnya tidak mempunyai wilayah seperti kepala daerah setingkat Bupati/Walikota karena sesungguhnya wilayah Gubernur ialah wilayah administrasi saja yang meliputi keseluruhan kabupaten/kota yang ada di propinsi tersebut. Namun seringkali Gubernur tidak memaknai hal tersebut dan tidak dapat menjalankan peranannya dengan baik sebagai Koordinator pemerintah kabupaten/Kota dalam menjalankan apa yang menjadi garis kebijakan dan garis pembagunan dari pemerintah Pusat, lantas yang menjadi pertanyaannya mengapa hal ini bisa terjadi, bukankah aturan didalam Undang Undang 32 tahun 2004 beserta perubahannya serta aturan perundangan dibawahnya sudah cukup tegas, lantas mengapa lagi lagi Gubernur tidak dapat menjalankan tugasnya sebagaimana yang seharusnya.

Yang juga menjadi pertanyaan adalah mengapa Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat  di daerah dalam menjalankan fugsi dan koordinator langsung atas daerah yang menjadi binaannya harus dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Tidakkah hal ini menjadi melemahkan posisi Gubernur dalam menjalankan tugas dan kewenangannya karena akan rawan dengan kepentingan politik dan membawanya kedalam Pusaran politik lokal, karena sesungguhnya Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat didaerah harus berdiri dengan tegas dan tidak boleh terjebak dengan Politik lokal dan sesungguhnya harus bisa menjadi wakil dalam mengakomodir berbagai kepentingan, dan menjadi mediator dalam konflik konflik kepentingan dan politik yang sering kali muncul di daerah serta menjamin terciptanya situasi yang kondusif dalam pembagunan daerah dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidakkah menjadi lebih baik jika Gubernur seharusnya dipilih langsung oleh Pemerintah Pusat, dan kembali yang menjadi pertanyaan jika hal ini dilaksanakan bagaimana mekanisme yang tepat untuk pemilihan Gubernur ini, apakah Gubernur lebih baik menjadi jabatan karir atau dipilih langsung dan disetarakan dengan Kepala Daerah kabupaten/kota, lantas bagaimana hubungan hirarkis antara Gubernur dengan Pemerintah Pusat dan Gubernur dengan Kepala daerah di tingkat Kabupaten/Kota.

Hal ini telah menjadi perhatian khusus dari pemerintah pusat bahkan wacana untuk melakukan revisi tentang Pemilihan Kepala Daerah sangat kuat, khususnya wacana yang merubah tentang Posisi Gubernur sebagai Kepala Daerah dan mekanisme Pemilihan Gubernur dan saya rasa hal ini tepat untuk kita kaji bersama khususnya tentang Posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, tugas pokok dan fungsi Gubernur di daerah,mekanisme pemilihan Gubernur di dalam era Otonomi Daerah mengingat Peran Gubernur yang sangat vital dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan Daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Otonomi Daerah.

Melalui tulisan ini kami harapkan dapat memberikan sedikit pendapat, masukan serta saran dan memberikan wacana pemikiran yang berbeda serta mengingatkan kita kembali bahwa GUBERNUR SEBAGAI WAKL PEMERINTAH PUSAT SESUNGGUHNYA BUKAN JABATAN POLITIS KARENA MERUPAKAN PERPANJANGAN TANGAN PEMERINTAH PUSAT DI DAERAH DEMI MENJAMIN SINERGITAS ANTARA PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH YANG NAMPAKNYA SEMAKIN SENJANG BELUM LAGI ANTARA DAERAH DAN DAERAH YANG ADA dan semoga hal ini dapat memperkaya pola pikir dalam menjawab efektifitas peran Gubernur dalam era Otonomi Daerah sehingga setidaknya melaui tulisan ini penulis dapat memberikan masukan yang baik, tulisan ini pasti tidak dapat menjawab secara menyeluruh permasalahan atas hal ini khususnya mengenai LKPJ dan LKPD Gubernur terhadap DPRD yang selama ini diatur oleh PP No 3 tahun 2007, begitu juga aturan mengenai  kompetensi dan persyaratan menjadi Gubernur apakah Gubernur merupakan jabatan Karir atau dipilih oleh presiden sebagaimana Menteri Menteri yang ada. Maka untuk hal ini kita akan banyak membutuhkan dasar hukum yang mengatur hal ini mulai dari Undang Undang 32 sampai kepada turunannya, dan untuk melahirkan peraturan peraturan ini maka dibutuhkan Political Will yang baik dari Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk Peraturan di negara kita dengan tujuan yang tulus memperbaiki NKRI tercinta dengan mengenyampingkan segala kepentingan golongan dan pribadi karena bagaimananapun hal ini merupakan masalah besar dan mendasar dalam rangka memperkuat Otonomi Daerah dan membutuhkan masukan dan saran dari berbagai pihak dan para pemangku kepentingan.   NKRI harga mati “Negara Kesejahteraan Rakyat Indonesia”

Sumber: http://politik.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: