Problematika pendidikan di Indonesia sejak dulu hingga kini seolah tak kunjung usai malah semakin menarik untuk diperbincangkan. Bukan rahasia lagi jikalau dunia pendidikan kita sangat mudah dijadikan obyek bisnis oleh sebagian orang. Komersialisasi pendidikan telah merajalela seperti uang masuk sekolah yang selangit, hingga digantinya buku-buku pelajaran dengan yang baru. Disamping itu menjamurnya bimbingan belajar (tes) dan stigma sekolah/perguruan tinggi mahal telah melengkapi dunia pendidikan kita yang amat komersil, lebih berorientasi profit, tak ubahnya seperti dunia usaha dan industri. Semua persoalan tersebut tentu menjadi beban murid (orang tua). Seperti biasa, penyelenggara pendidikan selalu siap dengan berbagai dalih jitu yang dapat dianggap sebagai pembenaran munculnya komersialisasi pendidikan ini. Sekolah menjadi ajang transaksi bisnis yang membuat orangtua stres dan kecewa tapi tak dapat berbuat banyak karena harus menyekolahkan anaknya. Kekecewaan orangtua ini boleh jadi dilihat dan dirasakan oleh anaknya, sehingga ketika di sekolah anak tersebut memendam kejengkelan dengan sekolah. Pihak sekolah atau otoritas pendidikan seolah menutup mata akan beban orang tua atas biaya yang cukup besar. Perilaku komersil penyelenggara pendidikan tersebut membuat masyarakat miskin di negara ini makin trauma dan stress berat saat memasukkan anak ke sekolah. Kondisi semacam ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Dunia pendidikan jangan dijadikan ajang bisnis dan tempat melakukan komersialisasi pendidikan yakni menjadikan obyek terdidik (mahasiswa dan peserta didik) sebagai sumber penghasilan dengan memperoleh pemasukan dari biaya buku, biaya gedung, SPP mahal dan lain-lain. Komersialisasi merupakan kegiatan "menghalalkan segala cara" melanggar rambu etika dengan memanfaatkan wewenang dan peluang yang dimiliki untuk “memaksa” murid (orangtua) mengeluarkan biaya pendidikan sebanyak mungkin. Perilaku mengkomersilkan pendidikan seperti ini harus dikikis habis dan dienyahkan sejauh-jauhnya dari mentalitas penyelenggara pendidikan. Cara berpikir dan mentalitas berbisnis di dunia pendidikan adalah cermin dari pengaruh kuat dari ekonomi kapitalistik yang telah merasuki berbagai bidang kehidupan diluar dunia usaha dan industri. Kemajuan industri yang bersifat materilasitik berasal dari penerapan paradigma beserta filosofi ekonomi liberal yang mengejawantahkan pragmatisme untuk memperoleh keuntungan finansial dan kesenangan duniawi semata. Liberalisasi ekonomi yang dicanangkan negara-negara maju (Barat) ternyata berdanpak juga pada dunia pendidikan di Indonesia. Pengelolaan pendidikan seolah mengkuti pola kerja liberalisasi yang cepat, pragmatis dan serba instan untuk mendapatkan hasilnya. Oleh karena itu, perilaku komersialisasi pemangku kepentingan pendidikan menjadi bukan seuatu yang aneh. Sebagai contoh, untuk mendapatkan nilai matematika tinggi dalam ujian nasional anak didik dilatih mengerjakan soal-soal ujian yang menggunakan formula cepat yang ditawarkan bimbingan belajar. Meski anak didik memperoleh nilai tinggi dengan biaya bimbingan belajar yang mahal namun substansi pemahaman atas materi ajar tidak dimiliki kecuali hanya bisa menyelesaikan soal matematika dnegan cepat. Sasaran dan orientasi belajar seperti ini dalam pandangan khasanah ilmu pendidikan berada pada level rendah yakni tingkatan kognitif 1 dan 2 dari enam aspek tingkatan pada ranah kognitif.
Pengaruh industri (Barat) dalam dunia pendidikan kita sangatlah kuat. Segala sesuatu yang berasal dari sana seolah merupakan jaminan mutu. Maka tak heran manakala sejumlah sekolah (pendidikan formal kita) menjadi demam sertifikasi ISO yang tergoda dengan kata standarisasi internasional. ISO yang berasal dari dunia industri di Barat itu serta merta menjadi jargon sakti para pengelola pendidikan dalam “menjual” gengsi sekolahnya masing-masing. Penyelenggara seolah “terbius” dengan jargon ISO ini tanpa berupaya kritis melihat dari sisi lain bahwa standarisasi yang terjadi di Negara Barat itu semata-mata lebih kearah komersialisasi ketimbang idealisme meningkatkan mutu pendidikan. Di dunia pendidikan di Indonesia konsep sertifikasi untuk menciptkan standarisasi juga dipakai. Kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen telah dilaksanakan dengan maksud untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan nasional. Selanjutnya, lembaga pendidikan pendidikan juga seolah berlomba ingin memperoleh sertifikasi ISO agar dianggap manajemen pendidikannya memenuhi standar internasional. Padahal, menurut seorang pengamat pendidikan kecenderungan standarisasi dan sertifikasi di dunia pendidikan dapat membawa pengelolaan pendidikan dalam roh korporasi yang steril, kaku dan monoton, sedangkan dunia pendidikan semestinya variatif, inovatif dan dialogis Dengan gambaran diatas maka menjadikan serfikasi ISO sebagai ukuran keberhasilan manajemen pendidikan bukanlah langkah yang bijak. Manusia adalah makhluk yang dinamis, sementara barang jadi (finished goods) di dunia industri merupakan produk statis sehingga proses pembinaan dan pembentukan manusia tidak bisa disamakan dengan proses penciptaan produk /barang jadi tersebut. Jika proses pembentukan manusia dalam dunia pendidikan ini disertifikasi maka hal ini sama dengan kegiatan korporatisasi yang mengabaikan sisi keunikan manusia sebagai makhluk hidup yang dinamis dan penuh misteri. Standarisasi mulai awal hingga akhir (input-proses-ouput) memang sangat cocok untuk memproduksi barang jadi,tetapi tidak cocok untuk pembentukan karakter/pendidikan manusia (Aries Musnandar, 2012).
Banyak kalangan sudah cukup lama mensinyalir adanya degradasi dan memburuknya kualitas budi pekerti anak didik. Dalam keterkaitan inilah maka pendidikan karakter bangsa menjadi begitu penting dilakukan agar fungsi pendidikan nasional bekerja optimal meraih tujuan pendidikan yang mengembangkan potensi peserta didik sebagaimana dikemukakan dalam UU pendidikan nasional tersebut diatas. Pendidikan karakter tidak mesti diejawantahkan dan dikemas khusus dalam mata pelajaran khusus tetapi setiap mata pelajaran bisa memiliki keterkaitan dalam pembentukan karakter peserta didik. Dengan demikian semua guru bidang studi haruslah sosok guru terpilih yang memiliki keteladanan dan mampu menjadi sumber inspirasi bagi anak didiknya dalam pembentukan karakter.
Pada zaman sekarang membentuk karakter anak didik amat sulit, tugas guru masa kini sejatinya lebih berat karena demikian banyak pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan sekitar yang berdampak bagi perkembangan anak usia sekolah terutama mereka yang berada di usia kanak-kanak hingga remaja. Pengaruh pemanfaatan teknologi informasi berikut dampak yang menyertai, seolah tidak terkendalikan berimplikasi terhadap gaya hidup murid turut mempersulit guru dalam upaya menjalankan fungsi pendidikan dan mencapai tujuan pendidikan yang hakiki.
Dalam kesempatan ini saya kembali mengajukan 4 hal pokok dalam membangun pendidikan yang langusng tidak langsung berkaitan dengan membangun karakter bangsa (Aries Musnandar 2014). Pertama, kondisi kehidupan di rumah tangga dan lingkungan masyarakat. Kerapkali kita hanya menggantungkan harapan pada sekolah dalam membentuk kepribadian sang anak, seolah lupa dan tidak menyadari bahwa sebagian besar waktu anak berada di lingkungan luar sekolah. Sejumlah penelitian sosial menunjukkan bahwa para pelaku tindak kriminal kekerasan, perbuatan keji pada umumnya mengalami ketidakharmonisan hidup semasa masih anak-anak hingga beranjak dewasa baik ketika berada dirumah maupun dilingkungan sekitar.
Cara keliru orang tua dalam memperlakukan anak dirumah tangga berdampak negatif terhadap pertumbuhan kejiwaan anak. Anak yang diperlakukan orang tuanya secara keras, kasar dan otoriter serta perlakuan tak menyenangkan lainnya menjadi contoh buruk bagi anak untuk mengikuti cara-cara seperti itu ketika sang anak berada diluar rumah. Apalagi jika ternyata lingkungan sekitar anak juga secara kondusif memfasilitasi atau mentolerir perbuatan negatif. Pemerintah kita nyaris tidak memiliki program untuk mengedukasi orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anak dirumah, ditambah lagi pranata sosial masyarakat tidak mendukung terbentuk karakter anak bangsa yang diinginkan.
Kedua, sistem pendidikan di sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan yang lebih berorientasi pada aspek akademik semata tanpa menyediakan porsi cukup bagi pengembangan karakter anak didik melalui pendidikan softskills. Paradigma pemangku kepentingan pendidikan mulai dari pejabat pembuat kebijakan hingga ke tataran praksis yakni para guru dan tenaga kependidikan telah terbentuk kuat bahwa kualitas seorang anak didik itu dilihat dari kepandaian akademik. Segala upaya dan kegiatan yang dilakukan dipersekolahan mengarah pada kecerdasan intelektual ketimbang mengasah sejumlah kecerdasan lain (multiple intelligence).
Ketiga, kecakapan guru yang terbatas dalam meningkatkan kualitas softskills anak didik. Peran dan peranan guru dalam sistem pendidikan kita sesungguhnya amat luar biasa penting, namun perhatian pemerintah terhadap pendidikan guru masih minim. IKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang dtugaskan menyiapkan guru berkualitas malah dihapuskan kemudian berubah menjadi universitas umum. Penanganan komprhensif terhadap peningkatan kualitas guru bersifat "crash program" spontanitas sebagaimana tampak pada pelatihan guru terkait penerapan kurikulum 2013.
Keempat, dengan melihat ketiga masalah diatas tampak bahwa ternyata pelaksanaan pendidikan di Indonesia tidak dijalankan berdasarkan legalitas, data, fakta, konsep pendidikan yang relevan. Ambil contoh, pada sistem pendidikan nasional (SPN) no. 20 tahun 2003 pasal 3 arah pendidikan membentuk orang-orang yang berkarakter (memuat 8 atribut softskills dan hanya 2 atribut hardskills) tetapi ketika UU tersebut turun dalam bentuk peraturan menteri dan pemerintah hingga ke level implementasi di lapangan lebih mengarah pada kedua atribut hardskills. Alhasil, arus utama (mainstream) pendidikan di sekolah terutama pendidikan dasar menengahnya lebih menonjolkan intelektualitas (pinter) ketimbang mentalitas (karakter). Akibatnya, karakter bangsa belum terbentuk sesuai harapan.