Beberapa hari yang lalu, saya sempat berdebat dengan seorang teman di Facebook saya mengenai siapa yang pantas menjadi RI 1 nanti. Dia pun mempertanyakan kinerja Jokowi selama ini yang katanya tidak beres. Karena saat itu saya baru saja mewek karena membaca tulisan Maria mengenai “Jokowi, makhluk paling enteng untuk dihina”, saya tiba-tiba menjadi sensitif karena emosi saya belum stabil setelah diaduk-aduk oleh tulisan itu. Hingga saya mengatakan: “Sudahlah, tidak perlu mencibir Jokowi”. Hingga ia pun juga ikut terpancing emosinya dan mulailah kami berdebat meski pada akhirnya kami sama-sama tertawa.
Saya berpendapat bahwa permasalahan Solo & Jakarta bukan sekedar tanggungjawab pemerintahnya. Tetapi tanggungjawab masyarakatnya juga. Cuma, susah juga membuat perubahan dalam waktu yang singkat jika masyarakatnya sulit diajak untuk berubah. Pemerintah tidak ada yang sempurna, bahkan Tuhan pun tak akan mengubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu tak ingin mengubah nasibnya sendiri, apalagi seorang Jokowi. Pokoknya permasalahannya itu terletak pada masyarakat yang tidak mau keluar dari zona nyamannya, karena memang biasanya untuk keluar itu harus turun dulu. Proses itu yang mereka tidak mau. Teman saya ini menganggap saya sangat keterlaluan jika menganggap bahwa orang miskin susah diajak berubah, menurutnya orang miskin mana yang mau hidup susah. Akhirnya saya menjelaskan mengenai konsep orang miskin.
Berdasarkan fakta yang saya lihat di lapangan, banyak orang miskin yang dibantu & diberikan solusi untuk mengubah nasibnya, seperti diberikan dana untuk membuka usaha kecil, tetapi sayangnya uangnya dipakai untuk membeli alat canggih, karena juga tak mau ketinggalan dengan tetangganya yang memang mampu untuk memiliki alat canggih. Tepatnya, tidak tahu diri bahwa dirinya masih ditopang dan lebih mengedepankan keinginanan yang bersifat sementara.
Di tempat saya, di kabupaten Luwu Timur, ada program pemerintah daerah dimana orang yang mau mengubah nasib diberikan modal. Modalnya ada yang berupa pinjaman, yang akan dicicil setiap bulannya & ada yang cuma-cuma. Yang cuma-cuma ini diberikan setelah pihak yang berwenang melakukan observasi dulu ke lapangan mengenai jenis usaha apa yang akan dijalankan & bagaimana pengelolaannya, baru bisa diberikan, misalnya budidaya ikan mas, peternakan ayam petelur dll. Dan yang lebih keren lagi, pemerintah daerah membuka kursus menjahit gratis bagi yang mau. Saya salut dengan ibu-ibu yang sangat antusias & sekarang rata-rata dari mereka sudah memiliki usaha rumah tangga sendiri. Sangat membantu bagi kaum ibu yang suka ke sana kemari pusing mencari penjahit di tengah banyaknya orderan karena di tempat saya memang suka banyak acara karena rata-rata memang orang mampu, karena rata-rata mereka bekerja di perusahaan Nikel yang gajinya cukup besar juga.
Tapi tak sedikit dari mereka yang setelah sekali panen, langsung menghabiskan hasil dan modalnya dengan foya-foya, lalu minta lagi dengan alasan bangkrut. Untung jika dikasi, soalnya kepercayaan sebagai modal pun sudah mereka gadaikan. Saya & mama yang menyaksikan itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Biasanya saya dan mama membahas bagaimana sistem pengelolaan yang baik & kadang juga jika mama mengenal baik orang itu, mama biasanya menawarkan solusi yang berkelanjutan. Tapi memang orang ini sulit diajak berubah.
Maka saya menyimpulkan bahwa orang yang benar-benar miskin adalah orang yang bukan cuma miskin harta tetapi minskin mental. Bahkan orang yang terlihat kaya harta pun, jika hanya tahu memboroskan uang & mengutang untuk terlihat kaya daripada menghasilkan, tepatnya lebih besar pasak daripada tiang, maka tidak ada bedanya dengan orang miskin, sama-sama miskin mental. Saya memberi tahu teman saya ini, bahwa bukan berarti saya menyepelekan orang miskin, karena sebenarnya saya juga pernah miskin harta, sampai-sampai saya pernah melakukan pekerjaan yang dianggap rendah oleh masyarakat tapi halal saat saya masih SMP & SMA. Dan itu saya lakukan selama beberapa tahun, meski banyak tetangga mengatakan kepada mama “mengapa menyuruh anakmu bekerja seperti itu?“, mama cuma bilang itu atas kemauan dirinya sendiri.
Saat itu saya bekerja di rumah tetangga, dimana ibu ini mengalami stroke. Saya kasihan juga karena beliau cuma tinggal dengan suaminya dan anak perempuannya yang masih SD. Mungkin berniat untuk membantu kami, ya saya terima saja tawaran untuk bekerja membersihkan rumahnya yang dua lantai itu 2x seminggu dengan upah Rp 80.000/bulan. Kadang juga saya bantu menggosok ketika beliau mandi atau cuci piring meski tak disuruh, meski saya biasa ditegur karena melakukan pekerjaan yang tidak menjadi tanggungjawab saya. Soalnya miris juga, melihat ibu yang hanya anggota tubuh kanannya yang bisa difungsikan untuk mencuci piring selama berjam-jam sementara itu bisa saya selesaikan dalam hitungan menit.
Tetangga saya yang lain tahu itu, akhirnya menawarkan saya pekerjaan yang sama di rumahnya. Jadi total saya bekerja 4 hari selama seminggu di 2 rumah, dimana tiap harinya saya memerlukan 2-3 jam untuk membersihkan 2 lantai. Total upah yang saya dapat sebesar Rp 180.000/bulan ini saya jadikan modal untuk berbisnis MLM.
Saat itu, penghasilan saya dengan bekerja & bisnis kadang saya pakai juga membantu kebutuhan rumah tangga atau sebagian saya berikan kepada kakak saya yang masih kuliah. Kakak saya ini sangat menghargai uang. Di kampus kadang ia makan bakwan Rp 1000 untuk mengganjal perut jika mama telat bangun untuk menyiapkan bekal, karena saat itu kakak saya berangkat kuliah jam 5 subuh, dan pulang jam 6 sore naik bus perusahaan yang gratis.
Sekarang dia sudah sukses, sehingga ia akan marah besar ketika dia tahu bahwa saya harus bekerja lagi sambil kuliah. Saya patuh saja, tapi karena saat awal kuliah kami memang masih susah & kakak saya belum mendapat kerja, akhirnya saya mencari beasiswa & berhasil mendapat beasiswa rutin selama 4 tahun (beasiswa ini tidak bisa dihentikan kecuali jika cuti & tidak kuliah lagi & rutin diberikan jika kita masih kuliah dengan syarat IPK tertentu. Jika kita lulus dengan cepat, beasiswa ini pun tetap berjalan dengan hanya memasukkan ijazah saja bukan KRS & rapor lagi), itupun dengan perjuangan yang tidak mudah untuk mendapatkannya. Jadi uang kiriman dari kakak saya gunakan untuk makan enak saja. Masalah uang semester & buku-buku saya menggunakan beasiswa, kalau masih ada sisa baru saya belanja, jika memang tidak ada keperluan ya saya tabung atau juga saya pakai membantu adikku yang juga masih kuliah. Maka tidak heran, jika teman-teman saya tak mampu membeli kamus yang harganya nyaris 400 ribu, saya bisa membelinya, karena memang beasiswa yang saya dapatkan cukup besar per semesternya.
Ya, apapun yang datang di tangan orang yang bermental kaya akan menjadi modal besar & tidak harus habis begitu saja. Kalau ditolong, ya manfaatkan pertolongan itu dengan baik. Jangan hanya berpikir makan enak sehari saja, lalu besok kelaparan. Saya ingat persis ketika saya masih kerja part time saat itu, saya harus menahan diri untuk tidak menikmati makan enak, karena segala sesuatu ada masanya, itu kata mama saya. Jadi, uang yang kita dapatkan upayakan bagaimana supaya itu bisa kita ubah menjadi investasi, yang dapat berlipat ganda, misalnya digunakan untuk memperoleh ilmu & buku, itu juga investasi loh karena akan membuka cara berpikir kita untuk berpikir kreatif dalam memaksimalkan apa yang kita punya. Kalau sudah berlipat ganda, pasti sudah bisa makan enak. Tentu melipatgandakan dengan cara yang halal.
Maka saya katakan kepada teman saya ini: “Kita boleh miskin harta, tapi tak boleh miskin mental & hati. Kita belum termasuk golongan si miskin jika mental dan hati kita kaya meski kita miskin harta.”
Membasmi kemiskinan, hanya bisa dimulai dari membasmi mental miskin. Dan saya sangat bersyukur ternyata pak Jokowi menyadari itu. Mengetahui berita itu pada tulisan Pak Hanny Setiawan (baca di sini) saya begitu terharu & sangat optimis, bangsa Indonesia bisa lebih maju ke depannya. Siapa yang mau mengubah nasibnya, pasti diubahkan. Itu pasti!!
Karena pemerintah juga tidak dapat berbuat apa-apa ketika kita memang tak berani keluar dari zona nyaman. Ibarat seekor anjing yang diberi pengikat pada lehernya untuk dituntun oleh tuannya, ketika si anjing tidak mau, ya tuannya juga mau buat apa lagi jika si anjing tak mau ikut perintah majikan.
Maka pertimbangkanlah pemimpin yang sudah pernah merasakan susahnya menjadi orang miskin. Karena mereka sudah tahu caranya keluar dari kemiskinan, mereka sudah mengalaminya.
Basmi kemiskinan, dengan membasmi hati & mental miskin!! Indonesia bisa!!!