Oleh: Muhammad Najib
Meskipun Pilkada serentak tahun 2017 masih beberapa bulan lagi, geliat perpolitikan semakin hari semakin memanas. Tahapan pendaftaran pasangan calon kepala daerah sudah digelar di KPU masing-masing daerah pada tanggal 21-23 September lalu. Hasilnya, tercatat ada 101 daerah dari tujuh provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten yang mengikuti Pilkada serentak tahap II pada 15 Februari 2017 mendatang.. Tujuh provinsi itu adalah Provinsi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Provinsi Papua Barat. Aceh merupakan provinsi terbanyak yang menggelar Pilkada yakni 20 kabupaten/kota. Sebelumnya pada Pilkada serentak tahap I yang digelar tahun 2015, Provinsi Sumatera Utara menjadi daerah terbanyak yang menggelar Pilkada, yakni 23 kabupaten/kota (Harian Analisa, 30/9/2016).
Meskipun baru tahap pendaftaran calon kepala daerah dan masa kampanye masih lama, semua calon sudah ‘mencuri start’ dalam pertaruhan mendapatkan simpati masyarakat pemilih di setiap daerah. Fahmy Radhi (2008:2) menguraikan bahwa dalam kondisi seperti ini, para calon kepala daerah menempatkan masyarakat miskin (wong cilik) sebagai sasaran utama bualan kampanye. Bagi mereka, wong cilik merupakan segmen potensial yang musti digarap secara serius guna mendulang perolehan suara. Dalam praktiknya dilapangan, memang masyarakat miskin mudah untuk dieksploitasi, yakni cukup memberikan sembako, maka mereka langsung ‘klepek-klepek’. Walhasil, suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, melainkan suara ‘murahan’, tergantung berapa jumlah yang mereka terima dari calon yang berkompetisi.
Ketika musim kampanye atau debat visi-misi berlangsung, hanya pada musim itu pula masyarakat miskin bergembira dan berpesta-pora karena keluhan dan penderitaan akan segera berakhir, yakni dengan iming-iming nasib mereka akan diperjuangkan menuju perbaikan. Dalam konteks Pilkada, tidak usah mengingat terlalu jauh atas peristiwa yang terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita sejenak mengingat pada tahun 2012 yang lalu di mana terdapat perhelatan Pilgub DKI. Mungkin tahun 2012 adalah tahun yang paling menggembirakan bagi masyarakat miskin ibu kota karena Jokowi-Ahok terpilih menjadi Gubernur DKI dengan membawa sejuta haparan bagi masyarakat miskin ibu kota akan kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, janji kampanye Jokowi terhadap warga DKI belum sepenuhnya terpenuhi, Jokowi sudah hijrah ke istana. Walhasil, pada tahun berikutnya, yakni 2015, barangkali merupakan tahun kelabu bagi masyarakat miskin ibu kota. Bagaimana tidak. Pada tahun itu, LBH merilis jumlah penggusuran yang terjadi di Jakarta, merupakan rekor karena terbesar sepanjang sejarah pemerintahan kota Jakarta. Ironi semakin tajam karena hingga saat ini penggusuran masih saja berlangsung.
Cerita yang hampir sama, yakni menjadikan masyarakat miskin sebagai ‘objek’ utama dalam masa kampanye, tetapi setelah terpilih menjadi pemimpin, yang dibela sudah lain lagi, yakni para pemodal dan elite politik yang turut andil bagian dalam suksesi pencalonan. Padahal, sudah sejak lama antara masyarakat dan pemangku kepentingan (pemimpin) adanya kontrak sosial (social contract). Bahwa, dengan sepenuh hati, warga negara menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk memperjuangkan nasib meraka dan menciptakan sebuah kesejahteraan, keamanan, dan mencerdaskan masyarakat beserta anak keturunannya (Komaruddin Hidayat, 2016).
Akan tetapi, lagi-lagi, dalam hal ini, seringkali pemimpin menampakkan ketidakadilannya secara nyata. Sebut saja dalam hal pembangunan yang sejak awal menjadi gagasan utama dalam mewujudkan cita-cita bersama. Masyarakat sadar betul bahwa pembangunan adalah langkah pertama dan utama dalam mewujudkan cita-cita bersama itu. Akan tetapi, masyarakat juga sadar dan mengerti bahwa pembangunan harus dilaksanakan atas dasar keadilan. Jangan sampai pembangunan justru mengorbankan masyarakat kecil. Fenomena seperti itu, dalam bahasa A.M Fatwa (2016) disebut sebagai nestapa masyarakat korban penggusuran jangan sampai terjadi.
Indikator rakyat menjadi korban pembangunan setidaknya bisa dilihat dari beberapa segi. Diantaranya, akselerasi pembangunan terjadi hanya pada tumbuhnya gedung-gedung tinggi di sudut kota maupun desa. Sementara dalam waktu yang sama, banyak masyarakat yang kehilangan rumah dan pekerjaan akibat penggusuran. Tentu, yang demikian itu tidak hanya mencederai nilai-nilai keadilan, melainkan juga sudah menggerus nilai kemanusiaan. Di tambah lagi, pembangunan yang pesat itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi masyarakat ditingkat bawah.
15 tahun lebih sudah reformasi bergulir dan Pilkada sudah dihelat beberapa kali. Artinya, dari segi pengalaman, kita sudah lebih dari cukup berkaca pada perhelatan akbar sebelumnya. Atas dasar itu, Pilkada tahun 2017 mendatang harus benar-benar dijadikan sebagai momentum pendewasaan dan mematangkan demokrasi kita. Kematangan demokrasi kita salah satunya bisa diukur dari out put atau kualitas pemimpin yang dihasilkan. Untuk itu, masyarakat pemilih harus tepat dalam menentukan pilihannya agar tidak menyesal di kemudian hari.
Dalam bingkai ini semua, masyakat sungguh mendambakan pemimpin yang adil dan manusiawi. Model pemimpin seperti ini adalah model pemimpin merakyat. Di era demokrasi yang sudah mengarah ke liberal seperti saat ini, pemimpin merakyat, yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sangat langka dan sulit dicari. Meskipun demikian, kita harus yakin dan optimis bahwa pemimpin seperti itu keberadaannya memang ada dan nyata.
Oleh sebab itu, masyarakat harus mulai jeli dan kritis. Kenali calon pemimpin Anda. Jangan sampai Anda terjebak dalam dunia penuh gegap gempita akan tetapi minim keadilan yang sedang dimainkan oleh para elite politik dan penguasa. Permainan yang dimaksud adalah agenda pembangunan yang sarat dengan kepentingan pemodal. Sehingga, bagi pemimpim semacam ini, ukuran suksesnya sebuah pembangunan adalah banyaknya gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan. Padahal, kesuksesan pembangunan berkeadilan bukanlah seperti itu, melainkan sejauh mana pembangunan tersebut mampu mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi di tengah masyarakat. Dan, pembangunan tidak hanya sekedar tanpa mengorbankan rakyat kecil, melainkan juga berdasarkan kearifan lokal. Wallahu a’lam bi al-shawab.