Mengapa Plagiarisme Disebut Korupsi?

Author : Himawan Pradipta | Selasa, 02 September 2014 12:48 WIB

Plagiarisme, atau yang kerap disebut plagiat, sudah menjadi kata yang akrab di telinga para akademisi. Bentuk “penjiplakan yang melanggar hak cipta” (Wikipedia) ini seakan dijadikan sebuah syarat bagi seseorang untuk melewati tahap ujian tertentu, dengan tidak melakukannya. Baik para siswa SD, SMP, atau SMA yang hendak lulus Ujian Nasional, maupun para mahasiswa yang hendak menyandang gelar sarjana atau gelar yang lebih tinggi. Syarat untuk “tidak mencontek atau njiplak” karya orang lain ini, kalau perlu, bahkan dijadikan kewajiban yang harus dipatuhi. “Kalau mau makan, jangan nyolong makanan orang!” begitu dosen saya pernah berkelakar. Namun, dia tidak menyadari bahwa kelakarnya itu bisa diteruskan dengan pertanyaan, “tapi, kalau laparnya tidak bisa ditahan bagaimana?” Wah, jadi panjang deh urusannya. Dan memang benar, pada akhirnya, toh para akademisi yang tidak bertanggung jawab akan melakukan itu. Plagiat.

Saya kemudian teringat dengan sebuah insiden menarik yang terjadi di sebuah universitas di daerah Sulawesi Selatan. Suatu hari, seorang mahasiswa akan melakukan sidang sarjananya. Pagi harinya, ia bersiap-siap menuju kampus. Mencoba mempersiapkan segalanya secara lahir dan batin. Jadwal sidangnya masih pukul 9 pagi, tetapi ia sudah hadir di kampus pukul 8. Tentu saja, ini lebih dari sekadar “siap” untuk menjalani sidang. Ia menunggu, tapi justru bukan untuk sidang. Ia menunggu seseorang, tepatnya. Tak lama, kira-kira setelah 15 menit ia duduk di sebuah area yang agak tersembunyi, seorang bapak berkacamata, tak berambut, dan berpakaian rapi datang menghampirinya. Setelah sejenak bertukar sapa, si mahasiswa tampak menyodorkan tangannya dengan sejumlah uang di dalamnya. Lalu, si bapak itu, yang saat ini asumsi kita adalah dosennya, menerimanya sambil menggantungkan senyum di bibirnya.

Pukul 9 pun tiba. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan ujian sidang, dan tak salah lagi, ternyata si bapak tadi adalah salah satu dosen penguji si mahasiswa tadi! Ck Ck. Singkat cerita, si mahasiswa ini lulus dengan predikat memuaskan. Berita yang tersiar tidak lama setelah peristiwa adalah si mahasiswa tadi menyuap dosen pengujinya agar mahasiswa tersebut bisa lancar dalam melalui ujian sidangnya. Pihak lain tidak tahu apakah skripsi si mahasiswa itu, masterpiece-nya, ditulis dari hasil mencontek atau menjiplak hasil karya orang lain. Tapi, asumsi yang jelas terbentuk adalah tentu dia menjiplak, mengingat jika dia sudah berhasil menyuap (dengan uang yang jumlahnya pasti besar) dan lulus, pertanyaannya: apa gunanya dia menulis skripsi? Dan tidak mungkin, bukan, jika di dalam skripsinya tidak ada apa-apa? Asumsi yang paling kuat adalah bahwa dia menjiplak hasil orang lain, skripsi orang. Dan ini bisa dikatakan sebagai bentuk korupsi. Korupsi akademik.

Meskipun demikian, saya masih belum yakin jika hal tersebut dianggap korupsi. Kalau berbicara mengenai korupsi dalam konteks ini, berarti subjek pembicaraan kita adalah si dosen tadi, bukan si mahasiswa. Mengapa bisa? Jelaslah sudah bahwa dosen tadi menerima uang sogokan agar mahasiswa yang diujikannya bisa lulus dan wisuda kemudian “berguna bagi bangsa dan negara.” Belum lagi ketika dosen itu harus mencantumkan tanda tangan di bagian Lembar Pengesahan skripsi mahasiswa tersebut. Kalau dia manusia biasa, tentu saja ada perasaan bersalah yang menggerayanginya. Kalau tidak, ya berarti dia manusia luar biasa. Anggap sajalah begitu. Tapi, marilah berasumsi bahwa ada kemungkinan jika mahasiswa itu bertindak plagiarisme.

Lain ladang, lain belalang. Lain di Sulsel, lain di Sumedang. Di Universitas Padjadjaran Jatinangor, ada peraturan mengikat yang dikeluarkan dari Rektorat bahwa siapapun yang dicurigai melakukan plagiarisme dilarang mengikuti sidang sarjana. Saya lupa kalimat lengkapnya bagaimana, intinya mereka yang menjiplak hasil orang lain, atau setidaknya dicurigai, akan langsung dimasukkan ke dalam black list orang-orang yang tidak boleh ikut sidang sarjana. Ngeri, ya? Setelah membaca peraturan tertulis itu, saya langsung bertanya-tanya dalam kepala. Bagaimana mungkin menjiplak, atau sederhananya mencontek, bisa disebut sebagai korupsi? Kalau begitu, sama saja dengan memadankan akademisi tak bertanggungjawab dengan tahanan penjara? Waduh!

Dalam membuat sebuah tulisan, jenis apapun, entah itu jurnal akademik, tulisan ilmiah, paper, makalah, atau skripsi sekalipun, kita sudah diasup dengan doktrin “mencantumkan referensi” di bagian akhir tulisan kita. Waktu itu, sebagai mahasiswa baru, saya selalu bertanya sendiri, “mengapa harus melakukan itu?” Lagipula, sewaktu di sekolah menengah saya tidak pernah disuruh melakukan demikian. Entahlah. Ternyata, saya baru menemukan alasannya di semester kedua. Yah, syukurlah. Meskipun mengetahui ini agak terlambat, tapi setidaknya terlambatnya tidak jauh.

Menulis referensi menjadi penting karena apa yang kita tulis itu menjadi bahan perbincangan orang-orang di seluruh dunia. Misalnya, saya ingin menulis tentang masalah imperialisme. Tanpa bahan acuan berupa bacaan, link di internet, atau artikel di sebuah jurnal, orang-orang lain yang juga tertarik membahas imperialisme, dan suatu saat membaca tulisan saya, tentu akan kebingungan. Apalagi, kalau di tulisan saya, identitas yang saya  berikan untuk diri sendiri adalah “mahasiswa” bukannya “profesor” atau “doktor.” Tulisan saya, dengan demikian, tidak punya power yang kuat untuk meyakinkan mereka atas apa yang saya tulis. Sehingga, argumen-argumen saya, meskipun terdengar sesahih apapun, akan tetap terdengar sombong dan malah jatuhnya sok tahu kalau tidak mencantumkan referensi atau pendapat-pendapat orang lain yang juga ikut nimbrung dalam tulisan saya.

Lebih dari itu, mereka yang (mungkin) membaca tulisan saya dan punya ketertarikan yang sama, akan dibuat kelimpungan dan tak tahu harus mengacu ke mana ketika menemukan kata, frase, atau kalimat yang juga hendak mereka buat untuk tulisan mereka sendiri. Nah, di sinilah letak korupsi itu. Dalam kasus ini, saya seolah-olah memutus “tali silaturahim” antara pandangan saya, pandangan orang-orang yang ada dalam tulisan saya, dan pandangan mereka yang tertarik dengan keduanya. Inilah sesuatu yang “menyeleweng” dan tidak bertanggung jawab.

Maka dari itu, ketika membuat tulisan, saya selalu menuntut diri sendiri untuk berhati-hati dalam memberikan pandangan. Apakah itu murni pendapat saya atau pendapat orang lain? Kalau punya orang lain, tentu harus mencantumkan pandangan mereka, karena pengakuan semacam itu perlu dalam “lempar tulisan”.

Dengan demikian, pertanyaan, “kalau laparnya sudah tidak bisa ditahan gimana?” ya jawabannya, “Jangan makan! Sebelum digebuki orang atau parahnya dijebloskan ke penjara.”

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: