Reza Indragiri Amriel
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
KEPENGURUSAN Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di bawah pimpinan Asrorun Ni’am Sholeh akan segera berakhir. Januari lalu, pada rapat evaluasi kinerja KPAI, di sela catatan positif akan kinerja lembaga tersebut, Komisi VIII DPR RI mendorong KPAI agar pada waktu berikutnya memberikan perhatian secara khusus antara lain kepada anak yatim piatu.
Karena bahasan tentang anak yatim piatu melekat erat dengan dunia kepantian, maka meski tak terucap ada amanat besar agar pembinaan panti asuhan dapat diemban sebaik mungkin oleh kepengurusan KPAI yang baru nantinya.
Dalam tempo tidak terpaut jauh dari rapat itu meledak kasus Panti Asuhan Tunas Bangsa di Riau. Publik terperanjat, mengenang kembali kejadian serupa yang diwartakan berlangsung di Panti Samuel beberapa waktu silam.
Pelajaran menyakitkan dari kasus itu: mendirikan dan menjelmakan panti asuhan sebagai lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) ternyata bukan perkara sepele. Apa boleh buat; getir memang, iktikad baik semata tak lagi memadai untuk melindungi anak-anak.
Ditilik dari perspektif viktimologi, boleh jadi anak-anak yang menderita di panti asuhan telah mengalami triple victimization. Viktimisasi pertama terjadi ketika anak-anak yang sesungguhnya masih dapat diasuh oleh keluarga mereka justru dititipkan ke panti asuhan.
Panti seolah menjadi solusi—bahkan solusi pertama—atas kendala yang dihadapi keluarga terkait tanggung jawab pengasuhan anak.
Viktimisasi kedua berlangsung ketika panti menggandakan penderitaan anak dengan memperlakukan anak-anak di luar batas-batas kepatutan. Sangat ironis bahwa kepentingan terbaik anak kian jauh terealisasikan oleh panti selaku pihak yang mengklaim dirinya sebagai sentra pengasuhan luar keluarga.
Viktimisasi terhadap anak semakin 'sempurna' sehingga terjadilah viktimisasi ketiga, manakala otoritas terkait melakukan pengabaian terhadap ketidaklayakan panti asuhan.
Otoritas semacam itu tidak melakukan pengawasan dan pemberdayaan panti, tidak membangun interaksi dengan masyarakat, terlebih ketika khalayak sudah melaporkan indikasi ketidaksemenggahan panti, serta abai terhadap asal-usul anak-anak di panti asuhan.
Untuk mengatasi itu semua, pada tataran paling fundamental adalah perubahan pemikiran. Bahwa, pertama, panti asuhan (LKSA) seharusnya dijadikan sebagai pilihan terakhir ketika terdapat masalah pengasuhan anak.
Pengasuhan berbasis keluarga mesti dikedepankan dalam segala situasi. Baik oleh keluarga sedarah, keluarga asuh (foster family), maupun keluarga angkat. Berdasarkan data global dan studi nasional, sekitar 90% anak yang dititipkan di panti sesungguhnya masih mempunyai keluarga yang dapat mengasuh anak-anak tersebut.
Tidak ada pihak yang dapat berasumsi bahwa begitu panti memiliki izin, maka mutu panti asuhan niscaya akan terbangun dengan sendirinya. Spesifik terkait kasus Tunas Bangsa, pemasangan police line dan penghentian operasional panti bukan berarti bahwa masalah telah selesai.
Semua kalangan, termasuk Dinas Sosial, harus insaf akan adanya akreditasi LKSA. Salah satu unsur cermatan dalam akreditasi tersebut adalah nilai tertinggi diberikan kepada panti yang mampu mengembalikan anak-anak ke keluarga mereka masing-masing.