Menggugat Politik Koalisi

Author : Aries Musnandar | Kamis, 17 April 2014 09:52 WIB

Aneh bin ajaib agaknya cuma hanya ada di Indonesia bahwa partai politik (Parpol) ternyata tidak punya identitas jelas atau kalau boleh meminjam istilah Boni Hargens sang pengamat politik itu parpol kita tidak memiliki "jenis kelamin" yang jelas. Satu waktu parpol ini bergerak kekanan tetapi pada masa tertentu lainnya dengan penuh kesadaran mereka bisa bergeser kekiri. Ini partai macam apa? Konstitusi memang membolehkan partai berbasis ideologi apapun (kecuali yang dilarang), jadi tidak ada lagi keseragaman sebagaimana jaman orde baru yang semua partai mesti memiliki satu ideologi atau azas yakni Pancasila (yang ditafsirkan sepihak sang penguasa Rezim kala itu). Saat itu dikenal azas tunggal Pancasila yang menjadi semua azas organisasi politik di Indonesia tidak peduli partai nasionalis atau religius.

Sekarang ini ada partai yang sesungguhnya memiliki basis ideologi agama tertentu tetapi ternyata bisa bergabung (berkoalisi) dengan partai yang tidak berbasis agama atau partai yang berbasis nasionalis. Gaya politik seperti ini sepanjang saya ketahui telah melekat dan menjadi tradisi di Indonesia secara terang benderang. Di negara-negara lain amat jelas perbedaannya, partai sosialis misalnya tidak mungkin bahu membahu dengan partai berideologikan liberal begitu sebaiknya. Partai buruh mana mungkin berserikat seia sekata dengan partai- liberal atau partai konservatif. Dengan kejelasan basis ideologi ini sebenarnya masyarakat didik untuk mengetahui mana partai yang benar-benar bagus atau bagus sekali atas dasar ideologi yang dianutnya.

Dengan kondisi perpolitikan di Indonesia semacam ini sungguh amat buruk hasilnya dari berbagai sisi baik itu menyangkut mental karakter bangsa dan elite pemimpin maupun (apalagi) hasil pembangunan yang akan dan hendak diraih. Kita (rakyat) tidak diajarkan berperilaku ksatria dan bekerja sesuai apa yang diyakininya, rakyat laur dengan sesuatu kleseragaman yang dulu di masa orba sudah terbukti gagal.

Untuk menyelesaikan persoalan ini tentu perlu dibuat aturan mulai dari undang-undang organik berupa aturan main dan peraturan hingga tingkat UUD/konsitusi negara. Kalau peraturan masih belum dirubah maka karut marut hingar bingar bahkan kekalutan politik tetap saja mencuat karena basis ideologi yang berbeda dibiarkan secara pragmatis malah kesannya oportunis berada dalam wadah koalisi. Kondisi semacam itu bukan tidak mungkin meniscayakan pengkhianatan, dan pengingkaran atas suatu kesepakatan sebagaimana sudah kita saksikan bersama. Indonesia kini belum memiliki corak khas demokrasinya sendiri, bangsa ini masih saja terpana bahkan terperangah gumunan akan kedigdiayaan demokrasi yang bukan berasal dari jati diri bangsa sendiri.

Akhirnya melalui tulisan ini saya berusaha mengingatkan para elite yang memiliki akses untuk membenahi masalah ini untuk tergerak memerhatikan persoalan cukup akut ini dan segera secara bersama-sama dengan hati tulus dan cermat mengatasinya. Tanpa ada kesadaran ditingkat elite dan masyarakat luas di negeri ini tidak akan mungkin situasi tidak nyaman ini bisaa dirubah. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelumkaum itu sendiri ingin merubahnya? Wallahu a'lam.

 
Penulis Buku: 1. Pendidikan yang Mencerdaskan. 2. Spektrum Ekonomi Indonesia3. Indonesia: A Country of Challenge
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: