Orang-orang ini pekerja keras dan mengalami pasang-surut dalam berbisnis dan memulai bisnis dari bawah.Ada yang saat merintis usaha tidak punya modal uang sama sekali kecuali keuletan dan kepercayaan. Kedua, kalangan keluarga pengusaha. Mereka dari kategori ini telah dipersiapkan dan ditempa oleh keluarga meneruskan usaha yang dirintis. Jaringan bisnis terbentuk melalui dinamika usaha keluarga ini.
Pengusaha sekelas Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan Putra Sampoerna berasal dari kalangan ini. Kegigihan pendahulu mereka dalam merintis dan mengembangkan bisnis telah banyak dituangkan dalam kisah sukses baik berupa buku maupun tulisan di jejaring sosial. Dalam berwirausaha tidak selamanya modal uang merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Berbagai kiat dapat dipelajari dan ditiru dari pengusaha sukses.
Tidak memiliki produk sendiri bukan berarti tidak bisa berwirausaha karena bisa menjualkan barang orang lain. Kita yang dipercaya membawa barang orang lain perlu keberanian dan optimistis bisa menjual barang yang dipinjam. Selain itu, barang yang berada di tangan kita juga tidak harus dijual sendiri. Maka libatkan orang lain khususnya mereka yang mempunyai jaringan penjualan luas.
Berbagai outlet penjualan produk konsumtif biasa menerima barang-barang dari luar dengan sistem bagi hasil, titip jual, atau konsinyasi. Bahkan bukan tidak mungkin jika barangnya memang banyak dicari konsumen, toko outlet akan membeli barang yang ditawarkan itu secara tunai. Apabila produk yang kita jual berkualitas baik dan harga kompetitif, tentu orang akan membelinya.
Lantas, bagaimana kalau tidak memiliki uang, tetapi kita mempunyai ide produk, jaringan penjualan, dan pasar yang tersedia? Asal kita berani, optimistis, serta dapat dipercaya, tentu tidak sulit menggandeng pemilik modal yang bersedia menggelontorkan dananya kepada kita. Inilah yang disebut dengan berbisnis dengan modal dari orang lain. Modal diperoleh dari pinjaman dan secara cermat kita pergunakan untuk berwirausaha.
Membentuk di Kampus
Jika karakter kewirausahaan menyuburkan pola-pola pikir kreatif,menciptakan produk/ gagasan,dan menjadikannya memiliki nilai tambah ekonomis, maka komersialisasi merupakan kegiatan “menghalalkan segala cara” melanggar rambu etika dengan memanfaatkan wewenang dan peluang yang dimiliki.
Contoh langsung dari komersialisasi di dunia pendidikan misalnya menjadikan objek terdidik (siswa/mahasiswa) sebagai sumber penghasilan dengan memperoleh pemasukan misalnya dari uang gedung,biaya buku baru yang ditentukan, uang SPP yang mahal, serta banyak varian lainnya. Semua itu bentuk komersialisasi bukan entrepreneurship sejati. Menjadikan anak didik sebagai sumber pemasukan adalah cara berpikir komersialisasi.
Semestinya pengelola mengajak dunia usaha industri terlibat dalam batas tertentu untuk berperan serta mendukung aktivitas sekolah/perguruan tinggi yang bersifat simbiosis mutualistis atau saling memiliki manfaat. Sejumlah universitas telah memasukkan materi kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib diikuti mahasiswa.
Kendati demikian, sebenarnya tidak semua universitas siap dengan gagasan mulia ini karena kesulitan menemukan pengampu (dosen) mata kuliah kewirausahaan yang cocok dengan karakter mata kuliah. Alhasil, di sejumlah fakultas dosen “teori” disulap untuk menjadi dosen “praktis”. Untuk meningkatkan gairah berwirausaha pada diri mahasiswa, pihak kampus seharusnya tidak menyamakan materi kuliah kewirausahaan dengan pendekatan seperti mata kuliah lainnya.
Dosen (tim pengajar)-nya pun haruslah mereka yang pernah mengalami aktivitas di dunia usaha dan industri bahkan lebih baik lagi memiliki bisnis sendiri. Pengajar kewirausahaan adalah mereka yang mampu membangkitkan motivasi mahasiswa untukmembukausaha. Pengajar bertindak juga selaku mentor di lapangan (menjalankan bisnis), jadi proposal bisnis (business plan) tidak sebatas tulisan di atas kertas.
Secara periodik kampus dapat mengajak dunia industri masuk kampus dan sebaliknya mahasiswa masuk ke dunia industri (kreatif) dan bisnis. Jadi akan tercapai simbiosis mutualistis yang dibutuhkan kedua belah pihak. Pengalamanpenulisdidunia kerja memperkuat keyakinan bahwa pola kerja sama dengan dunia usaha industri suatu yang niscaya diwujudnyatakan.
Membentuk karakter entrepeneurial itu membutuhkan medium pembelajaran efektif seperti kegiatan simulasi bisnis yang dilakukan mahasiswa di lingkungan kampus. Sejatinya jajaran pimpinan perguruan tinggi perlu memahami arti penting latihan/ simulasi bisnis yang berlangsung dalam perkuliahan kewirausahaan sebagai bagian dari cara membentuk jiwa entrepreneurship mahasiswa.
Bisnis tidak ujug-ujug besar, segalanya harus dimulai dari bawah. Contoh sukses wirausaha dari kampus penulis buktikan saat membimbing seorang mahasiswa berjualan bakso. Meski awalnya simulasi bisnis di kampus terbentur budaya ala birokrasi amtenaar, serbaprosedural (padahal wirausaha bersifat nyeleneh dan kreatif). Kini sang mahasiswa bak juragan meluaskan jaringan “bakso pedhet”-nya. Mendorong wirausaha di kampus memerlukan pengajar yang tepat,dukungan pimpinan,dan simulasi bisnis.