Sepanjang sejarah Republik ini berdiri sepengetahuan saya kementerian pendidikan selalu dipimpin oleh seorang yang tidak memiliki pemahaman ilmu pendidikan dan atau pengalaman kerja di dunia pendidikan (terutama jenjang sekolah dasar dan menengah) secara baik dan memadai. Memang,kita akui bahwa belum tentu mereka yang memiliki pengalaman kerja dan pemahaman di dunia pendidikan dapat menjadi menteri yang kapabel, kompeten dan profesional karena hal ini tergantung dari kualitas kepemimpinan sang menteri itu sendiri. Tetapi penghayatan mendalam sebagai hasil pembelajaran (secara teori dan praksis) mengenai pendidikan yang dilaluinya paling tidak akan jauh lebih baik dari pada calon menteri tersebut lebih dikenal sebagai publik figur belaka.
Kepemimpinan dalam konteks ini terkait pula dengan kecakapan manejerial menteri dan kualitas soft skillsnya. Seringkali kepiawaian manajerial sang Menteri tidak tampak ketika mengambil suatu keputusan. Sebut saja misalnya manakala kebijakan kurikulum 2013 diberlakukan berbagai persoalan manajemen, teknis dan non teknis mencuat, seolah memang tidak diantisipasi sebelumnya. Alhasil, tak sedikit muncul kendala, cacat program dan ketidakharmonisan pelaksanaannya dilapangan.
Hal ini menunjukkan betapa lemahanya fungsi manajemen itu dilakukan oleh penguasa atau pemimpin tertinggi di Kementerian pendidikan. Ketergesa-gesaan dalam mengimplementasikan kebijakan tanpa secara akurat, cermat dan teliti mengantisipasi ekses dan dampak yang bakalan mengemuka dari kebijakan tersebut menjadi pertanda bahwa keseriusan pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai manajemen di tingkat praksis diabaikan begitu saja. Seolah masalah manajemen digampangkan, menggampangkan dan dibuat kesan gampang. Padahal, keberlangsungan suatu kebijakan yang melibatkan sejumlah pihak secara massal memerlukan kecekatan dan ketangkasan menjalankan manajemen modern yang profesional.
Terkadang kita cepat menganggap seseorang itu pantas untuk menempati posisi menteri tertentu yang dikarenakan hanya satu dan dua kegiatan terkait dengan bidang kementerian yang akan ditempatinya. Kita ambil contoh kongkrit yakni seorang bernama Anis Baswedan yang dianggap oleh sejumlah kalangan tepat mengisi jabatan Menteri hanya lebih dikarenakan dia dianggap sukses melakukan kegiatan Indonesia belajar yang berhasil menempatkan sejumlah relawan (mahasiswa) asal universitas umum menjadi "guru sementara" di pelosok-pelosok desa. Oleh orang awam yang tidak mengerti dengan baik persoalan pendidikan kegiatan Anis Baswedan ini seolah-olah suatu prestasi luar biasa, sehingga bila ada posisi untuk Menteri Pendidikan maka Anis dipandang layak dan patut mengisi kursi menteri itu. Apalagi Anis kerapkali melontarkan ide, opini terkait pendidikan yang dibanyak media massa (layar TV) sehingga berhasil menggiring opini publik. Anis ibarat "punggawa" pendidikan dan citranya soal pendidikan terbungkus dengan baik dimata masyarakat awam. Sungguh penilaian yang menurut hemat saya amat sangat sederhana dibandingkan keruwetan dan kerumitan persoalan di dunia pendidikan kita.
Negara ini butuh ahli dan sekaligus praktisi pendidikan yang menyelami dan menghayati persoalan sesungguhnya dunia pendidikan. Sang Menteri mesti bisa meneropong persoalan dengan baik tidak hanya berdasar logika dan pisau analisis ilmiah kuantitatif tetapi harus memahami berbagai konsep pendidikan dan pendekatan kualitatif dalam memecahkan problem yang dihadapi. Ia tidak boleh merasa dirinya pintar dalam konsep, sehingga ia menganggap perlu mengubah kurikulum atau kebijakan. Padahal sesungguhnya kebijakan yang diambil itu terkait dengan banyak komponen yang wajib dianalisis secara jeli, akurat dan cermat terlebih dahulu.
Taruhlah misalnya soal kebijakan kurikulum 2013. Menurut hemat saya membenahi pendidikan kita sekarang ini bukan dengan cara langsung mengganti secara ekstrim kurikulumnya tetapi terlebih dahulu dibenahi adalah komponen-komponen yang mengitarinya. Salah satu komponen penting dalam sistem pendidikkan nasional kita adalah kompnen guru, dosen atau pendidik. Pembenahan terhadap lembaga pendidkan tenaga kependidikan sejauh yang saya ketahui Pemerintah kita belum melakukannya terlebih dahulu dengan sungguh-sungguh dan secara mendalam. Coba lihat mereka (para pengambil kebijakan pendidikan) menganggap kehadiran lembaga pendidikan guru tidak diperlukan lagi. Pemerintah atau elite birokrasi ini lalu menganggap enteng persoalan guru, bahkan keberadaan IKIP pun kemudian ditutup habis. Sebaliknya, ternyata sesungguhnya pemerintah kita ini tidak punya konsep jelas dalam upaya menjadikan para guru kita lebih profesional dan bermutu.