Mewaspadai Lonjakan Perceraian

Author : Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta | Selasa, 18 Oktober 2016

PATA AREADI

SEJUMLAH surat kabar nasional dan lokal akhir-akhir ini meng-headline lonjakan angka perceraian. Harian Republika awal Oktober lalu mengangkat topik Lonjakan Perceraian Ancaman Kualitas Anak. Sebelumnya, Harian Tribun Timur Makassar memuat judul Sehari, 8 Istri Jadi Janda, cukup mengagetkan para pembacanya. Betapa tidak, Kota Makassar yang berpenduduk 1.338.663 dengan perincian beragama Islam 1.167.188, Protestan 109.423, Katolik 37.824, Hindu 1.926, Buddha 16.961, Konghucu 261, dan lainnya 315, dalam 2015, data di Kantor Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar memutus perceraian 1.840 pasangan suami istri beragama Islam di antara total 2.222 permohonan yang masuk. Yang tak kalah menarik ialah 1.390 (75,5%) kasus merupakan cerai gugat, artinya istri menceraikan suaminya, hanya 459 (24,9%) kasus cerai talak, suami menceraikan isterinya. Angka-angka itu belum terhitung perceraian yang terjadi pada penganut agama lain selain Islam.

Dalam catatan penulis, angka-angka yang diangkat media, ada sejumlah daerah mengalami lonjakan tetapi ada juga yang stabil, bahkan ada yang cenderung menurun. Akan tetapi, secara umum angka perceraian selama dua dasawarsa terakhir secara nasional memang sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam catatan penulis, angka perceraian di Kota Makassar dalam 10 tahun lalu (2005) berjumlah 4.174 kasus dengan perincian cerai gugat 3.081 (65,2%) dan cerai talak 1.093 (23,1%). Yang perlu dicermati juga ialah sekitar tiga perempat perceraian didominasi pasangan usia rumah tangga kurang dari lima tahun. Bisa dibayangkan, anak masih kecil-kecil dan tentu juga didominasi janda muda dengan segala risikonya.

Lonjakan perceraian yang sedemikian tinggi sepertinya belum mendapatkan perhatian khusus di dalam masyarakat, khususnya pemerintah. Padahal, Rasulullah SAW pernah mengingatkan, "Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah SWT ialah perceraian." Bayangkan, dalam 10 tahun terakhir di antara 2 juta perkawinan setiap tahunnya terjadi 200 ribu perceraian. Ini artinya, setiap 10 perkawinan terjadi satu perceraian. Tiga tahun terakhir secara nasional lebih meningkat lagi.

Hal yang perlu mendapatkan perhatian ialah dampak perceraian itu. Setiap kali terjadi perceraian akan terjadi orang miskin baru yang namanya perempuan (janda) dan anak-anak. Perempuan yang menjadi janda pada umumnya akan menjadi miskin karena selain status janda itu sendiri terkesan perempuan kelas dua, dan juga harta kekayaan keluarga seperti harta tidak bergerak, misalnya tanah dan rumah masih atas nama suami. STNK kendaraan, deposito, dan saham berharga yang ada semua atas nama suami.

Sangat berbeda dengan laki-laki kalau menjadi duda. Duda dan jejaka hampir sama. Duda seolah-olah tidak pernah salah dan disalahkan di dalam masyarakat. Meskipun nyata-nyata yang menjadi biang perceraian ialah sang laki-laki (suami). Suami sepertinya tidak punya bekas kalau dirinya sebagai duda. Ia tidak pernah mengandung dan melahirkan. Ia juga tidak punya perubahan apa-apa pada dirinya. Dia bisa mengaku jejaka di mana-mana. Bahkan, dengan tenang ia bisa mengaku tidak pernah punya istri dan anak karena anak dengan susah payah dibesarkan dan dipelihara sang ibu.

Dominannya perceraian pada pasangan rumah tangga usia muda tentu risiko sosialnya lebih rumit. Perempuan yang sudah menjanda apalagi punya anak, sulit sekali mengharapkan calon pasangan baru dari kaum jejaka. Akibatnya, banyak di antara mereka memilih menjadi istri kedua atau perempuan simpanan. Pasangan seperti ini lebih banyak melakukan nikah siri atau perkawinan tidak tercatat dengan segala konsekuensinya. Anak-anak yang lahir dari pasangan baru ini juga tidak bisa mendapatkan hak perwalian (jika terlahir sebagai anak perempuan). Lebih jauh sang anak, menurut UU No 23/2006, tidak bisa atau sulit mendapatkan akta kelahiran, masuk daftar kartu rumah tangga, mendapatkan KTP, paspor, dan kartu identitas lainnya. Jelas, anak-anak yang lahir dari pasangan ini akan menjadi korban, paling tidak memiliki kepercayaan diri yang kurang jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lahir dalam keluarga normal.

Tentu saja, korban ialah anak-anak. Sang anak harus menanggung malu dan rasa sedih dari teman-temannya yang diantar jemput oleh pasangan utuh bapak-ibunya. Akibat lebih jauh, tawuran dan berbagai kenakalan remaja lainnya seperti narkoba, aborsi dalam usia dini di luar perkawinan, dan patologi sosial lainnya.

Semua agama memandang negatif perceraian. Dalam Islam, hadis Nabi tersebut mengingatkan kita bahwa perceraian lebih banyak menyebabkan kesengsaraan. Alquran juga banyak menguraikan dampak perceraian ini. Alquran dan hadis merekomendasikan kepada pasangan bermasalah untuk selalu mencari jalan keluar lain di dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga tanpa harus melalui pintu darurat perceraian. Alquran lebih teknis menasihatkan kepada pasangan bermasalah untuk mendatangkan penasihat (hakam) dari pihak ketiga agar mempertahankan keutuhan rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat, "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal". (QS Al-Nisa'/4:35).

Perkawinan dalam Islam betul-betul agung, mulia, dan sakral. Akad nikah menurut Imam Syafi', mazhabnya yang paling banyak dianut di Asia Tenggara, ialah bukan hanya kontrak sosial ('aqd al-tamlik), melainkan juga kontrak Ilahi ('aqd al-'ibadah) yang dalam Alquran diistilahkan dengan perjanjian suci (mitsaqan galidhan). Karena itu, perkawinan tidak boleh dianggap sebagai akad yang main-main. Terlebih lagi, lafaz talak menurut Rasulullah ialah suatu kata yang tidak boleh diucapkan dengan main-main karena bisa benar-benar jatuh talak dengan segala konsekuensinya.

Faktor-faktor yang berkontribusi pada meningkatnya perceraian, terutama cerai gugat, ialah semakin berkembangnya regulasi yang menjurus pada perlindungan hak-hak perempuan, juga yang amat penting ialah pengaruh berbagai tayangan infotainment, dan media sosial. Banyak pemirsa terpana menyaksikan tayangan berisi perilaku artis dan publik figur yang dibahas tuntas presenter dengan sangat menarik. Kaum laki-laki atau perempuan yang begitu gampang tergoda oleh kebutuhan biologis sesaat. Saling membongkar masalah suami/istri ialah sesuatu yang lumrah. Tidak ada rasa malu dan rasa berdosa mempertontonkan perilaku tidak terpuji itu di dalam masyarakat. Para artis itu sepertinya tidak menyadari bahwa mereka menjadi penentu kecenderungan perilaku masyarakat, khususnya generasi muda.

Pengetahuan dan kesadaran agama betul-betul dipertanyakan di dalam masyarakat kita saat ini. Mengapa rumah tangga begitu rapuh? Hanya masalah sepele, cerai. Hanya karena perbedaan pilihan politik menyebabkan perceraian, seperti yang terjadi pada 2005, menurut data di Kantor Pengadilan Agama, lebih 500 pasangan bercerai karena faktor politik. Masyarakat dan pemerintah betul-betul harus mengambil peran aktif untuk mencegah semakin maraknya perceraian. Mungkinkah kita mengharapkan masyarakat dan negara ideal di atas rumah tangga berantakan? Wallahualam

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/news/read/72609/mewaspadai-lonjakan-perceraian/2016-10-18#
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: