September 2012 lalu, saya mendapat kesempatan untuk short
course tentang HAM di Universitetet I Oslo, Norwegia. Salah satu tujuan trip
dalam short course adalah mengunjungi Ila Prison, tempat Breivik teroris Oslo dipenjara. Saya
membayangkan Ila Prison ini lazimnya penjara lain. Kelam, kumuh, dan padat
penghuni. Namanya saja penjara, pasti tempat untuk menghukum orang-orang jahat
agar tak melakukan kejahatan lagi. Istilah tersebut mungkin terlalu kejam,
sehingga kini kita menyebutnya sebagai lembaga permasyarakatan (lapas).
Di Ila Prison, bayangan kejam itu awalnya hanya terlihat dari pos penjagaan.
Untuk masuk ke dalam penjara, para pengunjung tak bisa begitu saja melenggang
masuk tanpa syarat. Segala hal yang
mengandung logam, termasuk jam tangan dan anting harus dilepas. Kami diijinkan
masuk setelah melewati dua kali sensor pengawasan superketat. Ternyata tak ada
jeruji besi yang menyeramkan di Ila Prison. Staf lapas mengantar kami hingga ke
bilik tahanan. Wow!
Ruangan seluas 2x3 meter tersebut tak pantas disebut penjara. Kasur tipis namun
empuk, ruangan berlantai keramik cukup bersih, meja kursi, dan satu PC layar
flat tanpa akses internet, cukup untuk menggambarkan kemewahan kamar penjara. Tak
hanya itu, di sekitar bilik penjara juga tersedia alat fitness, ruang makan,
dan mini coffee shop. Belum lagi beberapa hektar perkebunan, minimarket dan
klinik gigi dengan seperangkat kursi dental. Fantastis!
Hal ganjil untuk sebuah konsep lapas itu tentu menarik rasa penasaran saya
untuk bertanya pada sipir Ila Prison yang mengantar kami. Mengapa Ila Prison
menerapkan konsep seperti ini? Jawaban sipir adalah Ila Prison menerapkan
konsep rehabilitasi. Itu sebabnya napi di Ila Prison benar-benar dimanusiakan
hingga masa hukuman berakhir.
Mereka tetap berhak mendapat pendidikan, ada kelas-kelas khusus untuk para napi
dan mereka tak boleh menerima uang dari luar. Uang mereka dapatkan hanya dari
upah bertanam di perkebunan dan bisa dibelanjakan di minimarket di kawasan
lapas. Jumlahnya dibatasi, sekitar 30 krone per hari, setara dengan 60 ribu
rupiah.
Dengan sistem tersebut, tak ada satu pun napi yang berani kabur dari tahanan. Pernah
ada seorang napi kabur, namun esok harinya napi tersebut kembali lagi. Sebab
kehidupan di luar penjara jauh lebih sulit untuk mereka yang jobless. Biaya
hidup di Norwegia terkenal cukup tinggi dibandingkan negara Eropa
lainnya.
Saya teringat kalimat Dr Sahardjo SH, mantan Menteri Hukum dan HAM, mengenai
asal-usul kata pemasyarakatan. Dr Sahardjo mengatakan pidana penjara bertujuan
untuk mendidik terpidana agar menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang
berguna.
Tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, atau treatment philosophy atau
dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai resosialisasi atau rehabilitasi.
Mungkin terlalu mahal jika kita melihat fasilitas di Ila Prison, namun konsep
rehabilitasi yang arif tentu layak menjadi contoh bagi lembaga permasyarakatan
di Indonesia.
*dimuat di rubrik Citizen reporter -Surya 4 Maret 2013
http://surabaya.tribunnews.com/2013/02/28/napi-yang-nyaman-dalam-penjara