Nasionalisme yang Tidak Saya Pahami

Author : Ben Siadari | Selasa, 15 April 2014 09:47 WIB

orang seringkali memandang nasionalisme dari kacamata penguasaan sumber daya alam dan pemilikan modal. Dan tidak jarang pandangan seperti ini ditiup-tiupkan oleh orang yang mengaku berpendidikan dan tinggal di luar negeri.

bila kita memandang nasionalisme dari kacamata seperti ini, kita telah berdosa karena telah mengangkat dan membatasi isu nasionalisme ke tingkat elit belaka. Apakah pak muin penjaga warung di depan sekolah anak saya, akan segera makmur jaya, apabila semua perusahaan tambang asing diusir dari negara ini? jelas tidak. tapi yang sudah pasti, para pencari rente, cukong-cukong pemegang izin lahan, para bupati pembuat peraturan akan segera bertepuk tangan. dan mereka akan mengatur kroni-kroninya untuk menjadikan area pertambangan itu sebagai bancakan, untuk selanjutnya mengelolanya dengan cara yang pasti jauh dari efisien. pak muin akan bertambah miskin, karena para penganggur akibat ditutupnya perusahaan tambang itu bertambah, lalu membuka warung untuk menyaingi warung pak muin.

nasionalisme dalam pengertian yang hakiki adalah memberikan kesempatan bagi semua anak bangsa turut ambil bagian dalam membangun negerinya, sesuai dengan kemampuannya dengan adil. seringkali, perusahaan multinasional memahami hal ini lebih baik daripada perusahaan domestik. bukan karena para pengelola perusahaan multinasional itu para malaikat, melainkan karena mereka juga menyadari, hanya bila sebuah bangsa menghayati nasionalismenya dengan benar, mereka dapat bertumbuh dengan baik di negara itu.

kita sudah menyaksikan sebegitu banyak anak-anak bangsa yang sukses, menjadi suri tauladan, menjadi lilin-lilin penerang sekelilingnya, karena mereka tumbuh, berkembang dan menjadi pemimpin perusahaan multinasional. Tetapi pada saat yang sama, berapa banyak sudah kita menyaksikan anak-anak bangsa yang busuk karena mereka berada di lingkungan yang gembar-gembor nasionalisme seperti di perusahaan-perusahaan pengemplang BLBI dan di lembaga ‘terhormat’ seperti dpr itu?

yang mengherankan, banyak sekali orang indonesia yang semakin lama tinggal di luar negeri semakin sempit memandang nasionalisme (note: tidak semua, hanya beberapa saja tetapi jumlahnya cenderung bertambah terutama sewaktu tahun politik seperti sekarang). semakin merasa bahwa orang asing itu merupakan para jahanam yang membuat negerinya papa. ironisnya, pada saat yang sama mereka ini juga bersifat inkonsisten: menjelek-jelekkan bangsanya dan membanding-bandingkannya dengan negara di mana tempat dia tinggal yang dianggapnya lebih beradab.

masyarakat akar rumput dengan nakalnya bisa mempertanyakan ambivalensi orang indonesia semacam ini: “ente bilang orang asing itu mengkadali indonesia, tetapi di sisi lain ente jelek-jelekkan bangsa ente sendiri tidak beradab. kalau bangsa ente tidak beradab, dan bangsa lain lebih beradab, apa salahnya bila bangsa ente belajar dari bangsa beradab?”

inilah yang membedakan mohammad hatta dan kawan-kawan di zaman awal kemerdekaan dengan banyak orang indonesia di luar negeri zaman sekarang (kebetulan dalam satu bulan terakhiri saya tengah membaca  trilogi buku biografi beliau “untukmu negeriku,”  penerbit kompas, jakarta, 2011). hatta dan kawan-kawan yang tinggal di negeri belanda, memahami nasionalisme sebagai pembebasan bangsanya dari keterbelakangan. mereka menyadari ada belanda si penjajah, tetapi hatta dan kawan-kawan tidak pernah membuat dikotomi asing vs pribumi. sebuah bangsa tidak otomatis menjadi bengis hanya karena ia asing. sebaliknya, sebuah bangsa tidak otomatis menjadi peduli oleh karena kesamaan warna kulit.

lagipula siapakah yang dimaksud dengan bangsa asing? apakah hanya amerika yang asing, iran tidak?

berbahagialah kita bangsa indonesia yang menjadi negara kepulauan. negara kepulauan tempat dimana pelabuhan-pelabuhan bertebaran di mana-mana, tempat dimana setiap hari masyarakatnya mengantisipasi datang dan bertolaknya orang-orang baru dan lama, orang asing maupun orang nonasing. dan mereka menyadari bahwa yang asing dan yang tidak, semua sama-sama digerakkan oleh keinginan kepada hidup yang lebih baik.

kita semua adalah orang-orang pesisir yang setiap hari mengantisipasi terbitnya matahari sebagai hari pengharapan. dan pengharapan itu datang dari semua orang, dari yang asing maupun yang bukan asing. sebab sangat repot bila semua-semua dilihat dari kacamata asing dan tidak. bisa-bisa dalam hal jodoh, kita ini jadi incest? :)

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: