Pemerintah berharap prodi DLP dapat meningkatkan kemampuan dokter di layanan primer, sehingga mampu menekan angka rujukan ke rumah sakit, yang berujung pada penekanan biaya pengobatan masyarakat.
Dalam perjalanannya, program DLP mendapat pertentangan dari berbagai pihak, utamanya para dokter yang menjadi subyek kebijakan pemerintah.
Di mata Ikatan Dokter Indonesia (IDI), DLP ibarat menutup asap tanpa mematikan api. Hasilnya akan sia-sia.
Mengapa dikatakan sia-sia?
Karena akar permasalahan kesehatan di Indonesia bukan terletak pada kemampuan dokter semata, melainkan banyak faktor.
Keganjilan DLP
Ada keganjilan dalam UU no 20 tahun 2013 karena memasukkan DLP sebagai spesialisasi baru di bidang kedokteran.
Di UU tertulis Program DLP merupakan kelanjutan program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis.
Di sisi lain, UU no 29 tahun 2004 mengenai Praktek Kedokteran disebutkan bahwa dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis.
Tidak dikenal istilah Dokter Layanan Primer. Sehingga secara hukum, kewenangan dan area pekerjaan akan rawan tumpang tindih dengan profesi dokter yang sudah ada saat ini.
Keganjilan kedua, saat ini terdapat 114,602 dokter umum (berdasarkan data KKI per Oktober 2016), sedangkan yang boleh membuka sekolah DLP hanya Fakultas Kedokteran (FK) yang terakreditasi A, di mana saat ini FK yang berakreditasi A “hanya” berjumlah 17 FK dari 75 FK di Indonesia (belum termasuk FK yang baru berdiri).
Bisa diperhitungkan perlu waktu puluhan tahun untuk men”DLP”kan semua dokter umum yang akan bekerja di layanan primer .
Itupun belum termasuk 8000 dokter baru yang terus dihasilkan setiap tahun. Meskipun pemerintah mengatakan akan membiayai program DLP ini, hal itu sangat tidak efisien dan malah membebani negara.
Akar Masalah Kesehatan
Masyarakat perlu tahu bahwa DLP bermula dari tuduhan pemerintah yang menyatakan bahwa tingginya angka rujukan ke rumah sakit disebabkan kompetensi dokter umum yang masih minim.
Perlu dicatat bahwa kompetensi dokter memang merupakan salah satu faktor yang berperan dalam suatu rujukan, namun itu bukan hal utama yang dihadapi di Indonesia saat ini.
Menurut Hendrik L Blum, Guru Besar Administrasi Kesehatan dari University Of California Berkeley, terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan manusia yaitu kesehatan lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan genetik.
Faktor Pertama, kesehatan lingkungan. Baru-baru ini DPR mendesak pemerintah untuk memperkuat infrastruktur air bersih.
Berdasarkan penilaian BPPSPAM, kondisi PDAM yang sehat hanya 50% dari total PDAM yang ada. Sisanya masuk katagori kurang sehat dan sakit. Padahal 60-70% komposisi tubuh manusia adalah air.
Kemudian masalah kesediaan pangan. Berdasarkan laporan FAO (Food and Agriculture Organization / Organisasi Pangan Dunia) pada tahun 2015 ditemukan hampir 37% atau sebesar 7,6 juta balita di Indonesia mengalami stunting (kekerdilan) karena terhambat pertumbuhannya akibat kekurangan gizi.
Faktanya, Indonesia belum bisa menjadi negara swasembada pangan. Beras, kedelai, gula, dan daging saja masih impor.
Hal ini sangat memprihatinkan kami para dokter. Untuk sekedar mendapatkan air bersih dan makanan yang sehat untuk kehidupan sehari-hari saja masih susah.
Lantas apakah dokter dipersalahkan ketika kondisi ini menyebabkan penyakit kronis yang berujung pada tingginya angka rujukan?
Faktor kedua, perilaku manusia. Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang lengkap tanpa disertai perubahan perilaku manusia akan sia-sia.
Meningkatnya insiden penyakit metabolik seperti diabetes, stroke, dan penyakit jantung koroner disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat.
Gaya hidup seperti makan makanan berlemak, merokok, meminum alkohol, jarang berolahraga akan memicu penyakit metabolik kronis yang berujung pada rujukan ke rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi penyakit metabolik tersebut.
Faktor ketiga, pelayanan kesehatan. Setinggi apapun kompetensi dokter, tetap tidak akan bisa menangani penyakit yang jadi bidang keahliannya jika memang fasilitas dan obat tidak tersedia.
Sudahkah kita melihat kondisi sarana dan prasarana kesehatan di puskesmas atau fasilitas kesehatan layanan primer di Indonesia? Apakah alat kesehatan, dan obat-obatan sudah tersedia lengkap sehingga dokter tidak perlu merujuk?
Fakta kedua dalam pelayanan kesehatan adalah belum terdistribusinya dokter di Indonesia secara merata.
Masih banyak puskesmas yang belum memiliki dokter. Kekosongan puskesmas ini yang semestinya menjadi prioritas pemerintah.
Dibandingkan menyekolahkan dokter umum untuk mengikuti DLP, alangkah baiknya pemerintah memfasilitasi dan menjamin agar kekosongan ini dapat teratasi.
Faktor keempat, faktor genetik. Faktor ini paling kecil perannya dibandingkan ketiga faktor di atas. Namun bisa dicermati lebih lanjut.
Anak yang lahir dari orangtua penderita kanker memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker dibandingkan anak yang lahir dari orangtua bukan penderita kanker.
Namun hal in dapat diminimalisasi dengan cara melakukan pola gaya hidup sehat dan deteksi penyakit kanker secara dini.
Semakin banyak penduduk yang memiliki penyakit bawaan akan semakin sulit pula upaya meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia.
Solusi selain DLP
Pemerintah mengatakan perbedaan dokter umum dan DLP adalah DLP memiliki kompetensi yang lebih dibandingkan dokter umum karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan tambahan berupa dokter keluarga dan kesehatan masyarakat.
Hodgetss dan Cascio membagi dua pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan, dimana pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh ahli kesehatan masyarakat dengan perhatian utama pada upaya memelihara kesehatan rakyat dan mencegah penyakit.
Lantas, mengapa kita tidak bekerjasama dengan teman-teman dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) untuk memperkuat layanan primer?
Untuk apa pemerintah membuka FKM jika para tenaga kesehatan tidak bersatu memperkuat layanan primer?
Dokter dan ahli kesehatan masyarakat serta tenaga kesehatan lain dapat bahu-membahu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarat di level primer.
Memperkuat kompetensi dokter di layanan primer adalah suatu keharusan.
Pemerintah perlu melihat masalah dari hulu ke hilir. Fakultas Kedokteran sebagai “pabrik” dari para pencetak dokter umum ini kondisinya masih belum merata.
Hanya 22,6% FK yang terakreditasi A. Sisanya terakreditasi B dan C (Sumber : KKI dan BAN PT 2016).
Bukannya malah berupaya meningkatkan kualitas dari FK yang sudah ada, Kemenristekdikti malah membuka moratorium dan mendirikan 8 FK baru di tahun ini.
Pemerintah perlu berkomitmen untuk lebih serius dalam meningkatkan kualitas, bukannya malah fokus pada kuantitas dalam pengembangan pendidikan kedokteran.
Fakultas Kedokteran yang baik tentu akan menghasilkan dokter yang kompeten.
IDI membawa usulan yang lebih realistis. Indonesia sangat luas dan sangat beragam sehingga kebutuhan kompetensi dokternya tidak “seragam”.
Misalnya dokter layanan primer yang bekerja di daerah industri membutuhkan keterampilan berbeda dengan dokter yang bekerja di daerah pesisir atau pedalaman.
Untuk itu, lebih realistis bila peningkatan kompetensi dokter yang bekerja di layanan primer menimba keterampilan dengan sistem “shopping” di Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) sesuai kebutuhannya.
Di sini, jelas penguatan P2KB lebih realistis.
Semua solusi sudah tersedia dan tinggal menunggu komitmen pemerintah.
Ada pepatah yang mengatakan “Di setengah kehidupan kita mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan uang. Di setengah lainnya kita mengorbankan uang untuk mendapatkan kembali kesehatan”.
Tentu pembangunan infrastruktur penting, tetapi jangan lupa untuk membangun manusianya.
Editor: Musahadah