Pemidanaan Partai Politik

Author : Alungsyah | Kamis, 13 Februari 2014 12:52 WIB

PEMIDANAAN PARTAI POLITIK

Oleh Alungsyah

 

Sepertinya hanya terjadi diindonesia semata, bahwasanya partai politik kebal akan hukum, bahkan tidak tersentuh hukum sama sekali. Pada dasarnya indonesai merupakan Negara hukum, dan pernyataan ini terdapat dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, begitu juga dengan pasal 27 UUD RI 1945 mengatakan bahwa setiap orang sama dihadapan hukum (Equality Before The Law) tanpa terkecuali. Makna pasal tersbut diatas bukanlah makna yang kosong belaka, sebab jika dianalisis secara akal sehat tidak ada satupun dimuka bumi ini yang kebal akan hukum termasuk suatu organisasi partai politik sekalipun.

Eksistensi partai politik diindonesia seperti banjir yang sulit akan terbendung dengan hal apapun, sebab partai politik seolah seperti “pilar” demokrasi terbaru di negeri ini. Ini bertanda bahwa kekuatan partai politik menjadi kekuatan para kader untuk merebut kekuasaan baik itu di tingkat yudikatif, legislatif maupun eksekutif.  Sejalan dengan itu, dalam perkembanganya sudah banyak kader partai politik yang menjadi pesakitan karena didakwa kasus korupsi, penyuapan, TPPU bahkan tindak pidana lainya. Diakui atau tidak partai politik mendominasi pergerakan masyarakat dalam mendulang suara, masyarakat terjebak dengan segala bujuk rayu partai, dengan kata lain rakyat hanya dibutuhkan ketika pemilihan umum tiba.

Melihat kondisi partai politik pada masa sekarang, menandakan bahwa dalam hal ini pemerintah tidak tegas dalam menerapkan suatu kebijakan bahkan hukum sekalipun, tidak hanya itu rakyatpun dibuatnya seperti “macan” yang kehilangan taringnya. Wajar jika pemerintah terkesan diam dengan tindakan yang dilakukan oleh partai politik, sebab design legislatif merupakan design dari partai politik yang ada, sehingga tidak ada satu pasalpun yang secara tegas bahwa partai politik dapat dipidana jika melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma hukum positif yang ada. Masyarakat dibuat “gagap” dengan adanya tindakan partai  yang melakukan “korupsi”. Tindakan semacam ini terkesan wajar masyarakat terdiam, sebab masyarakat tidak memiliki “kendaraan” yang kuat untuk melaporkan hal tersebut sekiranya anggaran yang digunakan merupakan hasil kejahatan ataupun tidak halal. Tentu hasilnya pun menyedihkan tingkat kekecewaan masyarakat terhadap beberapa elektabilitas partai politik akhir-akhir ini.

Sanksi Pidana

Minimnya kinerja legislatif berefek kepada kinerja penanganan korupsi yang semakin hari merajalela. Jika dilihat dari beberapa aspek pemerintah terkesan tidak tegas dalam menegakan aturan, ini dibarangi dengan ketidak tegasan dari apartur penegak hukum dalam menegakkan hukum dengan seadil-adilnya serta tanpa pandang bulu. sejatinya dapat dilihat dari beberapa kasus yang sering dilakukan oleh partai politik untuk memfasilitasi kegiatan yang dilakukan, mulai dari lokasi, bahkan anggaran sekalipun. Misalnya contoh kasus yang dianggap sepele, namun menunjukan ketidak taatan partai politik kepada aturan yang berlaku yaitu terkait dengan aturan kampanye yang dilakukan sebelum waktunya tiba. Para penegak hukum seperti “kerbau” yang ditusuk hidungnya, termasuk juga dari lembaga penyelenggara pemilu baik itu KPU, BAWASLU ataupun DKPP, walaupun hal tersebut telah dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Mereka ada tak ubahnya seperti pemenuhan formalitas  jabatan semata. Tidak hanya itu partai politk yang melakukan kegiatanpun dalam Undang-Undang dilarang menggunakan sumber dana yang tidak jelas, namun terkadang hal ini tetap saja dilakukan.

Setidaknya dari segi aturan ada beberapa aturan yang mengatur tentang pemidanaan suatu korporasi, walaupun ini tidak secara eksplisit disebutkan. Pada dasarnya politisi yang melakukan  korupsi atau tindak pidana lainya tidak serta merta pelaku perorangan semata yang dapat dijatuhi sanksi pidana terhadapnya, namun  partai politik yang melakukan tindak pidana dan ini bersumber dari kegiatan yang dilakukan oleh kader terhadapnya, apalagi mengatasnamakan dan membawa partai atas tindakanya. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sanksi yang dapat diberikan  terhadap pelaku terdapat dalam pasal 10 yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara (penjara seumur hidup dan waktu tertentu), pidana kurungan dan pidana denda, terhadap pidana terakhir denda tidak berlaku lagi dalam KUHP. Sedangkan dalam pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu serta pengumuman putusan hakim.

 Jika dicermati dan dianalisa secara saksama, bahwa ketentuan tersebut tidak hanya berlaku terhadap subyek hukum orang (Person), namun juga dapat diberlakukan terhadap subyek hukum non orang (recht person) yaitu badan hukum atau partai politik. Dengan menggunakan analisa sederhana bahwa pidana pokok yang dijatuhkan terhadap partai politik atau badan hukum yaitu berupa pencabutan izin atau operasi waktu sementara, atau selamanya, perampasan harta kekayaan, pencabuatan administrative (denda) bahkan pembubaran sekalipun.  Kondisi tersebut terdapat juga dalam ketentuan Undang-undang partai politik yaitu UU No 2 tahun 2008  dijelaskan didalamnya memuat ancaman pidana bagi individu pengurus partai politik jika melanggar larangan tersebut. Jika aturan tersebut dimaknai secara grametikal semata, maka tidak akan mungkin partai politik dapat di pidana.

Melihat persoalan itu semua ada ketentuan sebenarnya yang berbeda dari aturan sebelumnya yaitu undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Undang-Undang tipikor Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Dari kedua Undang-undang tersebut memungkinkan untuk menjatuhkan pidana terhadap badan hukum dan bahkan pembubaran partai politik sekalipun.

Penjatuhan Sanksi Sosial

Diluar mekanisme sanksi hukum pidana, sebenarnya ada mekanisme sanksi lain yang dapat diberikan terhadap partai politik yang tidak mematuhi aturan  yaitu sanksi social. Jadi partai politik yang melangar ketentuan yang telah ditetapkan tidak bisa “nakal” dalam beraktifitas. Dengan adanaya sanksi social, peran masyarakat sangatlah dominan untuk menentukan eksistensi partai politik bisa maju atau bahkan mundur sekalipun. Sanksi social yang diberikan oleh masyarakat berupa tidak memilih partai politik yang bersangkutan untuk massa periode berikutnya, bahkan sikap tersebut tidak hanya ditujuakan terhadap partai, namun perorangan sekalipun. Sikap seperti ini kiranya harus dilakukan secara tegas oleh masyarakat kita, sebab masyarakat sejatinya yang akan menentukan nasib bangsa kedepan melalui wakilnya yang dipilih.

Sanksi social merupakan sanksi yang sangat ampuh untuk membuat partai politik jera dan mau merubah dirinya lebih baik lagi sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa dan masyarakat. Sikap seperti ini haruslah dilakukan secara masiv, continue lagi konsisten serta tanpa belas kasihan sedikitpun. Jika ini mampu dilakukan oleh masyarakat secara bebondong-bondong, maka tidak ada partai politik satupun yang berani untuk “macam-macam” dalam menjalankan atifitasnya. Tentu kiranya semua element baik itu penyelenggara pemilu maupun LSM ikut mendukung dengan cara mengumumkan atau melakukan sosialisasi ke public jika terdapat partai politik melakukukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.

Dari hal tersebut diatas, jika tidak ditindaklanjuti oleh masyarakat kita, maka kesengsaraan hidup semakin terpuruk, masyarakat diperalat oleh kepentingan elit-elit partai, kesejahteraan semakin menjauh, masyarakat semakin terlena  jika tidak tegas dalam bersikap. Roh Demokrasi semakin mati jika masyarakat tidak melakukan evaluasi masa lalu, sekarang bahkan membawa “keahcuran” yang akan datang.

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: