Cukup memerihatinkan aksi-aksi kriminalitas, kekerasan yang anarkis, tawuran, dan bullying yang marak dilakukan pelajar dan mahasiswa sebagai akibat ketimpangan di dunia pendidikan. Arah pendidikan dalam UU dan praktik pendidikan di lapangan berbeda antara konsep dan kenyataan. Teori dan praktik, tidak nyambung, sehingga terjadi gap (celah) yang cukup menganga.
Jika kita baca rancangan Undang Undang Sistem pendidikan No 20 tahun 2003 perihal dasar, fungsi dan tujuan pendidikan pada bab 2 pasal 3 berbunyi sangat sempurna yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, cakap berilmu, kreatif, mandiri dan seterusnya. Tapi dalam kenyataannya praktik pendidikan mengarahkan anak didik hanya pada kecerdasan intelektual semata.
Mereka "dipaksa" untuk sukses ujian nasional (UN). Tiap hari mereka dicekoki sederet rumus-rumus dan pelajaran bersifat mekanistis berupa hafalan dan dilatih mengerjakan soal-soal UN, baik di sekolah maupun di lembaga bimbingan belajar (LBB). Alhasil, LBB di negeri ini laris manis bak kacang goreng. Era komersialisasi pendidikan pun dimulai. Baik sekolah maupun LBB melaksanakan pembelajaran lebih pada pola transfer of knowledge untuk mengisi aspek kognitif siswa.
Padahal dalam ilmu pendidikan, apa yang sedang mereka pelajari itu lebih pada tingkatan koginitif tingkat rendah dari enam tingkatan kognitif yang biasa dipahami ahli pendidikan. Sedangkan sisi afeksi dan penanaman nilai etika dan moral masih belum tersentuh secara sistemik. Sehingga karakter anak didik masih jauh "api dari panggang" alias tidak terbukti dalam praktik. Masih sebatas jargon tertulis dan semboyan yang enak diucapkan tetapi tidak dibuatkan programnya dalam praktik secara sungguh-sungguh. Afeksi, etika dan moral hanya diuji tertulis bukan pada implementasinya.
Oleh karena itu di sekolah kita tidak menemukan praktik mata pelajaran yang menyangkut sisi afeksi, etika dan moral siswa. Tenaga pendidik (kepala sekolah guru dan lainnya) hanya terpaku bagaimana menyiapkan anak didik berhasil lulus UN. Sekolah-sekolah berlomba-lomba dapat meluluskan siswa sebanyak-banyaknya dan mereka merasa bangga akan hal itu.
Standarisasi etika, moral para guru, siswa yang perlu dimiliki ternyata di lapangan sangat kendur. Apabila terjadi tawuran antar pelajar di sekolah para pendidik merasa tidak bertanggung jawab karena tidak terkait pelajaran yang disampaikan di kelas. Sehingga aksi-aksi negatif siswa di luar sekolah tidak pernah teratasi sampai sekarang. Ini akibat dari paradigma tugas guru yang hanya mengajar, bukan mendidik. Inilah kekeliruan terbesar dari dunia pendidikan kita yang akhirnya membuat perilaku negatif siswa yang semakin memerihatinkan.
Harapan dan tuntutan pemerintah agar sekolah berhasil meluluskan sebanyak-banyaknya siswa dengan nilai UN setinggi-tingginya tidak adil dan kurang fair. Apalagi standarisasi kompetensi guru, sarana prasarana, dan pendukung pendidikan lainnya di sekolah masih tidak merata dan belum memadai.
Titik tekan pendidikan kita berbasis kognitif (baca kecerdasan akademik). Walau kemampuan intelektual siswa diperlukan, tetapi berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemampuan intelektual sebagai bagian dari tataran kognitif itu hanya mampu menyumbangkan 20 persen keberhasilannya dalam menjalani kehidupan di masyarakat. Sedangkan yang 80 persen berasal dari softskills atau kecakapan insaniyah yang bermuara pada pendidiikan karakter (Goleman, Peter Salovey & Meyer, Bar On, Sternberg, 2005).
Penelitian lain juga menunjukkan kecakapan insaniyah akan mampu membentuk kemampuan kecerdasan anak didik lebih baik lagi jika diberlakukan sejak dini . Kecakapan insaniyah ini dapat dikembangkan melalui pendidikan karakter yang marak dibahas di negeri ini.
Pendidikan Karakter
Menarik disimak pendapat cendekiawan Adian Husaini (2011) yang menyatakan bahwa dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik berbagai agama bisa bertemu. Islam, Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Berbagai program pendidikan dan pengajaran - seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu. Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan omongan, orang Indonesia dikenal jagonya.
Memang kita rasakan, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
(Artikel ini telah dimuat di Koran Jakarta edisi Jumat 25 Mei 2012)---> untuk baca aslinya silahkan klik http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/91743