Secara logika pendidikan, aksi kekerasan yang anarkis, tawuran, ketidakdisiplinan, kenakalan dan bullying yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa di dunia pendidikan tidak mengherankan. Mengapa demikian? Karena antara arah pendidikan yang disusun dalam UU dan praktek pendidikan di lapangan sangat berbeda. Dalam rancangan Undang Undang Sistem pendidikan no 20 tahun 2003 sangat "indah" sekali yakni menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki kecakapan intelektual beriman, bertqwa, berakhlak dan seterusnya. Tetapi dalam kenyataannya praktek pendidikan mengarahkan anak didik hanya pada kecerdasan intelektual semata. Mereka "dikejar-kejar" untuk sukses ujian nasional (UN). Tiap hari mereka dicekoki sederet rumus-rumus dan pelajaran mnekanistis berupa hafalan dan dilatih hanya dalam tingkatan koginitif tingkat rendah. Sedangkan sisi afeksi dan penanaman nilai etika norma dan moral sangat jauh api dari panggang alias tidak terbukti dalam praktek hanya sebatas jargon tertulis dan semboyan yang enak diucapkan tetapi tidak menjadi perhatian di kelas dan di sekolah. Kita akan lihat pelajar kita stree dan memerlukan penyaluirannya. Maka tak dipungkiri bahwa penyaluran atau katarsis dari problematika pendidikan dan sosial yang dihadapi dan dialami mereka adalah melalui tindakan-tindakan ngawur kontra produktif seperti aksi-aksi kriminal tersebut diatas. Terlebih lagi sikap permisif aparat penegak hukum dan masyarakat atas perbuatan atau perilaku pelajar di depan publik membuat kriminalitas semakin merebak dan menyeruak dikalangan pelajar. Jika sudah demikian halnya maka kerunyaman pendidikan kita semakin menjadi-jadi. Hal penting yang harus ditata dalam pendidikan kita perubahan menadasar dalam konsep pendidikan kita. Tidak cukup sang Menteri (yang notabene awam tentang ilmu pendidikan) itu Sekolah dituntut agar berhasil dalam UN dengan tingkat kelulusan setinggi-tingginya sementara standarisasi sarana prasaranan tidak merata dan tidak memadai. Lalu, titik tekan pendidikan kita selalau saja berbasis kognitif padahal peneltian menunjukkan bahwa kecerdasan inteletuktual sebagai bagian dari tataran kognitif itu hanya mampu 20% menyumbangkan pembentukan karakter seseorang (pelajar). Sedangkan yang 80% berasal dari "softskills" atau kecakapan insaniyah yang bermuara pada pendidiikan karakter. Lalu pendidikan karakter juga tidak cukup karena memerlukan manusia yang beradab. Tentu karakter manusia Indonesia yang memeiliki nilai ketimuran itu berbeda dengan karakter masyarakat komunis Cina atau Barat yang liberal. Jadi pendidikan kita itu haruslah pendidikan karakter yang beradab dengan nilai-nilai filsafat dasar bangsa kita yang tersemai dalam Pancasila. Menjadikan manusia Indonesia yang adil dan beradab. Ini yang tiudak dimiliki secara khusus oleh negara lain selain kita yang digali dari filsafat bangsa ini oleh the Founding Fathers RI.