Masalah yang pertama adalah seputar pelaksanaan UN. Dengan tujuan meningkatkan kualitas lulusan, UN dilaksanakan. Namun, ternyata dalam penerapannnya, UN masih mempunyai kekurangan yang apabila tidak disikapi dengan benar dan bijak, justru akan menjadi bumerang bagi anak didik itu sendiri. Kita pasti sudah mendengar berita tentang sekolah di mana siswanya diperbolehkan untuk mencontek dengan tujuan agar nilai UN nya lulus. Ada juga seorang siswa yang dikucilkan, hanya karena keberatan memberikan contekan pada saat UN. UN yang seharusnya menjadi ajang untuk menguji kemampuan diri, telah berubah menjadi ajang contek-mencontek. Suatu ironi yang harus segera dihapus, karena memperbolehkan apalagi mengajari siswa mencontek, sama dengan membohongi dan membodohi siswa. Apalah artinya nilai tinggi, jika sebenarnya itu bukanlah hasil jerih payah mereka sendiri. Belum lagi jika melihat fakta bahwa pada awalnya nilai hasil UN dijadikan sebagai persyaratan mutlak kelulusan siswa. Siswa yang tidak lulus UN, berarti ia tidak lulus sekolah meskipun ia mempunyai nilai akademik harian dan prestasi yang bagus. Kita pasti pernah mendengar tentang anak berprestasi yang tidak lulus sekolah karena tidak lulus UN. Selanjutnya, jika kita lihat lebih jauh lagi, soal UN sama. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah setiap anak mempelajari materi sehari-hari yang sama?. Permasalahannya adalah jika apa yang mereka pelajari selama ini terdapat perbedaan, meskipun secara umum sama. Inilah yang menjadikan kendala UN yang lain. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, muncul kebijakan lain yang menyatakan bahwa nilai rapor siswa juga dijadikan sebagai syarat kelulusan.
Permasalahan berikutnya adalah keterbatasan jumlah guru di daerah terpencil. Sedikit banyak, gambaran pendidikan dalam film Laskar Pelangi tampaknya masih menjadi teman akrab dunia pendidikan Indonesia. Pada jaman yang sudah maju dan modern seperti sekarang, jangan terkejut apabila kita menemui sebuah sekolah yang hanya diajar oleh satu, dua orang guru saja. Tidak hanya itu, kompetensi guru di sana pun kemudian menjadi satu keterkaitan dengan keadaan tersebut. Belum lagi membicarakan tentang fasilitas pendidikan yang masih kurang di sana. Hal tersebut berdampak pada materi yang diajarkan tidak dapat tersampaikan secara maksimal kepada siswa. Tidak jarang pula para siswa di sana harus menempuh jarak berpuluh-puluh kilo meter untuk bersekolah. Belum lagi medan sulit yang harus mereka lalui yang terkadang membahayakan nyawa mereka. Jadi jangan heran apabila kemampuan kebanyakan siswa di sana dalam menguasai mata pelajaran kurang apabila dibandingkan dengan kemampuan siswa yang bersekolah di daerah yang sudah maju. Meskipun sebenarnya kecerdasan mereka sama seperti anak lainnya. Namun, yang mengagumkan adalah semangat mereka yang tidak pernah surut untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan mewujudkan cita-cita mereka. Yang unik adalah beberapa daerah tersebut sesungguhnya memiliki potensi sumber daya alam yang sangat kaya, jadi sungguh suatu ironi jika melihat kondisi pendidikan yang seperti itu.
Selanjutnya adalah biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal. Jadi tidak heran apabila masih banyak anak yang putus sekolah. Pada saat Pemilu, kita pasti sudah tidak asing lagi dengan janji para calon untuk membangun atmosfer pendidikan yang kondusif, misalnya dengan sekolah murah atau bahkan gratis. Sebenarnya sah-sah saja melakukan hal tersebut, namun pengaplikasiannya pun harus sesegera mungkin. Lagipula, sebaiknya politik dan pendidikan tidak dicampur. Dengan kata lain, jangan sampai pendidikan ditunggangi kepentingan politik. Sebenarnya pemerintah telah menyediakan BOS bagi para siswa SD hingga SMP, namun dalam penerapannya, terdapat beberapa masalah yang menyertai, seperti misalnya penyelewengan dana BOS, sehingga dana BOS belum bisa dinikmati secara maksimal oleh siswa. Munculnya UU BHP juga ditengarai semakin menegaskan akan biaya pendidikan yang semakin mahal, namun pada akhirnya UU BHP pun dibatalkan oleh MK pada tahun 2010. Meskipun begitu, tetap saja sebagian kalangan menengah ke bawah terkena dampak dari semakin mahalnya biaya pendidikan. Banyak di antara mereka yang putus sekolah.
Masalah selanjutnya adalah masih maraknya aksi anarkisme. Sebut saja, tawuran, bullying, pengeroyokan, pencurian, dan lain sebagainya, yang ironisnya beberapa pelakunya adalah teman sendiri. Untuk itulah sangat diperlukan pendidikan karakter untuk menjadi pribadi yang mempunyai tanggung jawab moral dan peranan positif di masyarakat, mengingat bahwa salah satu sifat dasar manusia adalah sebagai makhluk sosial. Beberapa tahun yang lalu, terdapat mata pelajaran P4 yang antara lain mengandung tentang muatan Pancasila yang memang dibahas secara intens, namun seiring dengan pergantian pemerintahan, maka mata pelajaran tersebut pun dihapus. Padahal hal itu sangat penting untuk membentuk karakter anak bangsa.
Sebenarnya, bukanlah perkara sulit atau mudah, namun ada tidaknya keinginan dari pihak terkait untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Dalam hal ini adalah pemerintah dan tentunya seluruh masyarakat Indonesia, karena pendidikan merupakan hal yang sangat esensial, jadi diperlukan suatu upaya maksimal dalam menangani masalah-masalah yang terjadi terkait dengan pendidikan itu sendiri. Ada beberapa cara yang dapat menjadi solusi bagi masalah-masalah di atas yakni sebagai berikut.
Pertama, dalam mengatasi polemik UN, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Kita seharusnya menyadari bahwa di samping kekurangan-kekurangannya, pelaksanaan UN memiliki sisi positif. Di antaranya adalah mendorong siswa untuk lebih belajar giat, karena mereka akan termotivasi oleh standar kelulusan UN yang telah ditetapkan. Apalagi batas kelulusan tersebut semakin meningkat setiap tahunnya, maka siswa pun dituntut untuk belajar semakin giat. Untuk meraih kesuksesan dalam pelaksanaan UN, sesungguhnya bukan hanya seberapa tinggi nilai UN siswa, namun seberapa jujurkah mereka dalam menjalani UN. Tanpa kejujuran dan kerja keras dari berbagai pihak, maka mustahil pelaksanaan UN dapat berhasil. Selain itu, sebaiknya guru tidak hanya terpaku pada pemberian materi guna mempersiapkan UN itu sendiri, namun juga memberikan dorongan melalui motivasi dan pikiran positif, sehingga meskipun siswa dituntut untuk lulus, beban psikologis mereka sedikit berkurang dengan dukungan yang mereka dapatkan.
Kedua, solusi untuk masalah pendidikan di daerah terpencil misalnya dengan turut menyukseskan program pemerataan pendidikan yang digagas oleh pemerintah berpuluh-puluh tahun lalu, dan seharusnya ditindaklanjuti dengan memberikan sumbangan baik moril maupun materiil. Contohnya, di daerah terpencil yang kaya akan tambang. Sebaiknya, perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tersebut turut memperkerjakan masyarakat setempat dengan layak, sehingga kesejahteraan masyarakat sekitar juga turut meningkat. Hal ini berimbas pada kemampuan mereka dalam mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Selain itu, perlu adanya kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan swasta dalam membangun fasilitas pendidikan yang memadai, misalnya gedung sekolah, dan fasilitas lainnya demi menunjang kegiatan belajar mengajar di sana. Apabila fasilitas dan akses sudah memadai, penyebaran tenaga guru pun dapat lebih mudah dilakukan. Singkat kata, pemerataan pendidikan dengan segala aspeknya menjadi harga mati jika ingin setiap anak mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik. Selain itu kesejahteraan guru juga patut untuk diperhatikan. Kita pasti sudah mendengar tentang berita seorang guru yang terpaksa harus menjadi pemulung atau tukang ojek untuk menyambung kehidupannya karena gajinya yang tidak seberapa. Apabila kesejahteraan mereka sudah tercukupi, mereka tidak perlu melakukan hal tersebut. Pelaksanaan sertifikasi bisa dijadikan solusi. Selain itu, guru yang bertugas di daerah terpencil pun diberi tambahan tunjangan. Sebaiknya bukan hanya kesejahteraan guru yang menjadi PNS saja yang harus diperhatikan, tapi juga guru swasta.
Adapun solusi untuk mengatasi biaya pendidikan sekolah yang semakin mahal yaitu juga dengan melibatkan semua pihak untuk saling bekerja sama. Kerja sama ini dapat diwujudkan misalnya dengan melalui pemberian beasiswa kepada mahasiswa berprestasi dan tidak mampu, mendirikan sekolah gratis yang khusus menyaring siswa tidak mampu ataupun mendirikan lembaga lain misalnya rumah singgah, sekolah alam, dsb.
Selanjutnya, yang juga harus diperhatikan adalah pengawasan penggunaan dana BOS. Dalam hal ini, sangat diperlukan peranan komite sekolah. Apabila penggunaan dana BOS transparan, maka kemungkinan penyelewengannya pun kecil, sehingga semakin banyak pula dana yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai pendidikan mereka yang membutuhkan. Sehingga paling tidak tujuan wajib belajar 9 tahun pun tercapai.
Begitu pula dalam menyukseskan pendidikan karakter pun sangat dibutuhkan kesadaran dan kerja sama dari berbagai pihak. Sebenarnya, pendidikan karakter tidak hanya bisa dilakukan di sekolah saja, justru lingkungan keluarga lah yang menjadi tempat pertama untuk menerapkan pendidikan karakter mereka, dan dimulai dengan hal-hal yang sebetulnya sederhana. Misalnya, membiasakan mencium tangan Ayah dan Ibu sebelum pergi ke sekolah, menghormati yang lebih tua, menyayangi keluarga, dan lain sebagainya. Selain itu, cinta tanah air juga harus ditanamkan pada diri anak sejak dini. Apabila hal tersebut dapat dilakukan dengan baik dengan penuh keasadaran, maka anak-anak bangsa dapat tumbuh menjadi generasi penerus yang tidak hanya cerdas, namun juga bermartabat, dan berakhlak mulia.
Apabila semua pihak menyadari dan turut berperan serta dalam pendidikan bangsa ini, maka harapan untuk menjadikan pendidikan di negeri ini lebih baik pun semakin terbuka lebar. Karena sesungguhnya pendidikan adalah hak setiap anak bangsa untuk mewujudkan negeri yang sejahtera, hari ini, esok, dan selamanya.