Pilkada: Demokrasi Bird Brain dan Tak Nare Lingkaran Perut

Author : Idris Harta | Senin, 06 Oktober 2014 11:06 WIB

Keputusan DPR untuk memilih Pilkada lewat DPRD membuahkan riuh rendahnya komentar, demo dan PERPU. Umumnya menyatakan bahwa dengan dengan PILKADA lewat DPRD berarti 1) mundurnya demokrasi di Indonesia, 2) Melawan keinginan rakyat. Pertanyaannya: Apa itu demokrasi? Rakyat yang mana?

Saya buka politikus. Bukan juga pendukung politikus. Juga buka pendukung Partai. Kesempatan ini saya gunakan untuk menyampaikan sesuatu yang sering luput dari perhatian para “politikus”, yaitu ekses PILKADA langsung dai Kabupaten dan atau Kota.

Yuk kita pergi ke suatu kabupaten di Jawa Tengah. Saat kampanye berlangsung, PNS di suatu instansi telah dikelompokkan oleh seorang Cabup dan tim suksesnya menjadi 3: Golongan putih, hitam, dan abu-abu. Golongan Putih adalah orang kita; sebagai orang kita akan dipertahankan bahkan dipromosikan. Golongan hitam akan disingkirkan setelah cabub ini terpilih. Sedangkan golongan abu-abu akan diamati dengan seksama sebelum disimngkirkan atau dipromosikan. Fakta: seorang kepala SMP disingkirkan setelah beliau menjabat Kepsek selama 8 bulan untuk digantikan oleh adik bupati terpilih. Model seperti ini bukan hanya di kabupaten ini.

Beberapa bulan lalu saya tugas ke suatu kota, sebut saja P di Prov. SS. Walikotanya baru saja dicokok oleh KPK karena menyuan ketua MK; AM dengan segepok uang 19,3M. Informasi dari beberapa tokoh pendidikan di kota tersebut termasuk para guru sungguh mengejutkan. Sebagian dari segepok uang tersebut berasal dari kantong mereka. Mereka dipaksa mengumpulkan uang; yang mereka tidak diinformasikan untuk apa. Ternyata untuk menyuap Ketua MK; AM. Saya bertanya-tanya: Apakah model ini hanya ada di kota ini?

Sekarang kita ke Sulawesi Utara. Di salah satu kabupaten, ada seorang Kabid yang tidak dipandang oleh para bawahannya. Kehadirannya dalam suatu acara dianggap tidak ada. Kenapa? Karena beliau ini munculnya sekonyong-konyong tiba-tiba; entah dari mana. Dengan kata lain: promosi beliau karena kedekatan dengan atasan. Kejadian ini cuma satu-satunya?

Bagaimana dengan situasi pendidikan kita dewasa ini, terutama di kab/kota dengan semboyan pendidikan gratis? Jawabannya berbagai ungkapan. Namun menuju 2 kata: Sungguh menyedihkan. Bangunan yang hampir roboh, Jendela yang tinggal kusennya, loteng yang hampir ambruk, dan Kursi yang kakinya tinggal 3 adalah pemandangan yang biasa.

Bagaimana dengan mutu? Di suatu SMP berdiri seorang guru IPA memegang kertas lakmus. Dia bercerita bahwa apabila kertas lakmus ini dicelupkan, maka warnanya akan berubah. Kalo warnanya begini maka …. dst. Jadilah IPA Sastra. Kimia sastra.  Dans sastera-sastera lainnya. Lain halnya dengan suatu SMK. Seharusnya dalam kurun waktu tertentu ada 3 kali praktikum. Tetapi karena tidak mengijinkan, hanya ada 1x praktikum. Kenapa IPA jadi Sastera? Praktikum hanya 1x? Jawabannya: BIAYA yang kurang karena sekolah GRATIS.

Gagasan pendidikan GRATIS itu baik. Masyarakat akan senang bahkan akan mendukung cabup dan cawal dengan semboyan ini. Celakanya, pemda dengan bupati dan walkot dengan semboyan ini akan ikut gratis juga dalam hal pendidikan. Mereka tidak peduli dengan keadaan fisik sekolah dan mutu pendidikan. Bagi mereka dana dari pusat sudah cukup. Sehingga dana BOS bukan bantuan, tetapi biaya.

Situasi di atas menunjukkan bahwa pemilihan langsung yang ‘demokratis’ itu, telah merusak tatanan hidup dan pendidikan di sekolah kita. Para pendukung yang sekedar mengatasnamakan demokratis ini sebenarnya tergolong pada dua hal: Bird Brain dan Tak nare Lingkaran perut. Secara harfiah istilah pertama ; bahasa Inggeris, berarti otak burung. Seperti diketahui otak kecil pendek pirannya.  Istilah kedua merupakan istilah di desa saya, yang tinya tidak punya usus. Walaupun usus berhubungan dengan manakan, tetapi maksudnya berhubungan dengan pikiran.

Pertanyaannya: Kalian mau yang mana?

Sumber: http://politik.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: