Politik Islam dan Berpolitik Islami

Author : Aries Musnandar | Sabtu, 31 Mei 2014 10:11 WIB

PEMILU bukanlah satu-satunya cara bagi umat Islam dalam menggapai singgasana kekuasaan. Dalam Islam peran kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan keteladanan. Pemimpin formal yang dihasilkan melalui Pemilu bukanlah satu-satunya penentu arah dalam bermasyarakat dan berbangsa. Jikalau pemimpin non formal mampu memberikan berbagai contoh keteladanan bagi masyarakat banyak, maka pemimpin semacam itu akan jauh lebih bermanfaat, dipercaya, disegani dan disenangi oleh masyarakatnya daripada para pemimpin formal yang tidak mampu menampilkan suri tauladan dan kemaslahatan bagi khalayak ramai.

Memang diakui bahwa leadership atau kepemimpinan dalam Islam itu strategis dan penting. Sebagai umat Islam kita diminta untuk memilih pemimpin yang beriman kepada Allah (al Quran,Rasul, dst), yang tidak berorientasi pada kehidupan sekuler. Jadi, ukuran seorang pemimpin itu harus dapat dilihat dari sisi keimanan Islamnya, seperti termaktub dalam QS At. Taubah ayat 23. Pemimpin yang baik dalam kriteria Islam adalah yang memiliki komitmen terhadap Al Qur’an, orang yang shidiq (benar), amanah (dipercaya), tabliq (membimbing) dan fathona (cakap).

Dikisahkan dalam al Quran tentang orang-orang munafik yang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman dan penolongnya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Mereka (kaum munafik) akan mendapat siksaan yang pedih karena mereka mendambakan kekuatan di sisi orang kafir yang diidolakannya? Padahal sesungguhnya semua kekuatan semata-mata kepunyaan Allah. (Lihat QS Annisa 138-139). Lebih jauh ditegaskan dalam Al Quran bahwa jangan mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. (lihat Al Maidah ayat 51).

Seorang muslim dituntut untuk tidak pasif dalam kehidupan dunia tetapi diharapkan mampu merubah kehidupan dari yang buruk menjadi lebih baik sesuai komitmen terhadap firman-firman Allah SWT. Pertama, Muslim bisa merubah sesuatu yang buruk dengan menggunakan tangannya. Dalam arti luas tangan ini bermakna kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki. Kalau tidak memiliki yang pertama itu, maka Muslim bisa menggunakan cara yang kedua yakni dengan menggunakan suara, seperti mengikuti pemilu atau mengekspresikan protes terhadap suatu fenomena kehidupan masyarakat sekitar yang bertentangan dengan kaidah dan nilai terkandung dalam Al Quran. Senjata yang terakhir dalam memerangi kemungkaran atau keburukan yang akan dirubah - dan ini ternyata oleh Nabi disebut sebagai selemah-lemah tingkat keimanan Muslim - yakni apabila berdiam diri, hanya berdoa dan membencinya dalam hati.

Kehidupan Nabi sehari-harinya merupakan contoh bagi kita dalam bermasyarakat. Di zaman Nabi memang tidak ada daulah Islamiyah (dalam pengertian negara seperti sekarang ini). Namun, segala sendi dan aspek kehidupan bermasyarakat sehari-hari dijalankan oleh Nabi dan pengikutnya dengan cara kehidupan nan Islami. Hal ini berarti tata cara bermasyarakat memang diatur Al Quran dan Hadist, walau tanpa perlu membentuk terlebih dahulu sebuah negara. Memang, sepeninggal Nabi roda kepemimpinan diambil alih para Sahabat secara bergantian tanpa perlu pemilu dalam arti melibatkan semua rakyat. Namun demikian proses musyawarah mufakat diantara para Sahabat terwujud meski sempat terjadi perbedaan pendapat. Semua itu sesungguhnya sebagai upaya untuk memberikan yang terbaik bagi umat.

Perbedaan pendapat pada masa itu berlangsung damai dan tidak berlarut- larut, sungguh merupakan perwujudan cinta para Sahabat kepada Rasulillah dan Allah SWT. Sehingga kualitas pribadi para sahabat luar biasa baiknya. Hikmah yang dapat dipetik dari persoalan politik masa Nabi itu adalah bahwa demokrasi dalam Islam bukan berdasarkan total suara seluruh rakyat tetapi ditentukan oleh mereka yang dianggap rakyat sebagai pemimpin (dalam arti pelayan masyarakat) dan mukmin. Kualitas pemimpin dalam konteks ini adalah mereka yang benar-benar sangat takut kepada Alllah terutama jika gagal dalam memimpin umat, sehingga mereka tidak dalam bingkai mencari-cari jabatan dan haus kekuasaan seperti yang terjadi dalam politik praktis di negeri ini.

Pesan yang paling monumental dan biasa menjadi acuan bagi umat Islam - setelah tiadanya Nabi - dalam menjalankan hidup bermasyarakat di dunia ini agar tidak tersesat dan merugi adalah tatkala beliau menyampaikan wasiat kepada umat Islam supaya taat pada 2 hal yakni mengikuti (kepemimpinan) Al Qur’an dan Hadist/Sunnah Nabi. Dari sini dapat kita ambil benang merahnya bahwa kehidupan “berdemokrasi” di negara yang dikendalikan oleh umat Islam haruslah mengikuti “kepemimpinan” Al Quran dan As Sunnah.

Rabbi zidni’ ilman wardzuqni fahman .. .yaa Allah limpahkan kami dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman yang benar....

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: