Prediksi Skenario Megawati tentang Cawapresnya Jokowi

Author : Aries Musnandar | Jum'at, 11 April 2014 09:53 WIB

Oleh Aries Musnandar*

Misteri Capres PDIP akhirnya terkuak. Jokowi mendapat mandat Megawati untuk maju dalam pemiilihan Presiden RI 2014.  Para jajaran dan kader PDIP mulai dari yang pemula hingga senior tampak segan, tunduk dan patuh pada sang Ketua Umum, sehingga tidak berani melontarkan ide dan gagasan terkait Capres PDIP ini. Partai yang mengusung kata demokrasi sebagai bagian dari nama partainya ini menyerahkan sepenuhnya penentuan capres PDIP kepada ketua umum Megawati. Ibarat hak prerogatif Presiden RI yang tidak bisa diganggu-gugat PDIP pun memberikan hak eksklusif itu kepada ketua umumnya. Meski publik tadinya menganggap Mega akan maju Capres lagi, namun dugaan itu ternyata tidak tepat. Keputusan Megawati tak jarang mengecoh publik. Tidak lama setelah Taufik Kiemas wafat menyebar isu bahwa Ketua MPR akan diisi oleh Pramono Anung petinggi PDIP. Tetapi ternyata sang Ketua Umum menunjuk orang lain diluar dugaan banyak orang karena tidak pernah samasekali diwacanakan oleh elite partai maupun media massa. Megawati menunjuk Sidarto Danusubroto sebagai Ketua MPR, mantan ajudan Presiden Soekarno. Keputusan ini memutarbalikkan opini publik yang berkembang saat itu. Inilah misteri gaya kepemimpinan Megawati.

Dalam sejarah pemilihan Presiden di negeri ini kita mengetahui sudah dua kali PDIP gagal menempatkan calonnya sebagai Presiden. Sebelum Presiden RI diplih langsung oleh rakyat PDIP pernah gagal menempatkan Megawati sebagai Presiden. Melalui sidang Majelis Pemusyaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999 Presdein RI terpilih adalah Abdurarahmad Wahid alias Gus Dur dari PKB padahal ketika itu PDI-P adalah partai pemenang Pemilu legislatif (DPR). Lalu di tahun 2004 PDI-P gagal menempatkan Megawati menjadi Presiden yang kala itu berpasangan dengan Prabowo sebagai Wapres kalah cukup telak dari pasangan Capres Cawapres SBY-Boediono yang mencapai 60% suara rakyat.

Sekarang ini PDI-P berhasil memperoleh keuntungan besar dari dinamika  yang terjadi dunia politik praktis di negeri ini selama periode 2009-2014. Paling tidak kita bisa mengindentifikasi 4 hal yang membuat PDIP diuntungkan. Pertama, sebagai partai besar keputusan PDIP tidak bergabung dalam partai koalisi pemerintah dan secara konsisten menjadi partai oposisi merupakan langkah tepat. Selama periode kepemimpinan SBY-Boediono dalam kapasitas sebagai oposisi PDI-P melakukan kerja-kerja aktif mengkritisi pemerintahan yang cukup efektif meningkatkan citra PDIP.

Kedua, secara bersamaan partai Demokrat mengalami ‘tsunami politik’ sepanjang pemerintahan SBY- Boediono. Partai Demokrat (PD) dirundung sejumlah kasus mulai dari korupsi hingga ketidakharmonisan elite PD. Persoalan ini telah menurunkan kredibilitas  PD dihadapan rakyat sehingga rakyat merasa muak dan kecewa dengan PD dan partai-partai lain yang bergabung dalam koalisi partai pemerintah. Sementara itu partai non koalisi seperti Gerindra dan Hanura sebenarnya sedikit banyak memperoleh keuntungan dari situasi ini namun oleh karena mereka masih partai baru dan tidak sebesar PDi-P sehingga keuntungan yang diperoleh tidak terlalu signifikan. Alhasil, simpati rakyat dialihkan kepada PDIP. Hasil survei telah menunjukkan hal ini.

Ketiga, gaya kepemimpinan “diam itu emas” yang ditampilkan Ketua Umum PDIP Megawati mampu mengangkat elektabilitas partai. Dengan tidak mengobral janji dan tidak banyak mengumbar kata-kata. Sebaliknya Megawati terus melakukan kerja-kerja konsolidasi ke kantong-kantong dan basis PDIP di daerah-daerah. Karut marut di internal partai Demokrat dan ketidakserasian diantara sesama partai koalisi justru memperkuat simpati rakyat pada PDIP. Jadi, kepopuleran dan peningkatan elektabilitas PDI-P dimata rakyat sedikit banyak berasal dari perilaku elit partai koalisi yang mengecewakan publik.

Keempat, dalam situasi centang perenang kepemimpinan nasional yang didukung koalisi partai lalu muncul gaya kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi). Kepemimpinan Jokowi yang merakyat tidak berjarak, berperilaku “genuine” , sederhana merupakan antitesa gaya kepemimpinan elite penguasa saat ini yang berjarak dengan rakyat, mengutamakan pencitraan,eksklusif dan besar gengsi sedikit malu. Jokowi  dengan gaya kepemimpinan ‘lain dari yang lain’ itu berhasil merebut hati rakyat dan disukai rakyat. Hasil survei capres menunjukkan hal itu. Namun tingginya elektabilitas Jokowi tidak segera direspon maksimal oleh elite PDIP terkait wacana Capres 2014 dari PDIP dikarenakan partai telah bulat-bulat menyerahkan kepada sang Ketua Umum.

Selanjutnya, kita saksikan Megawati kerap membawa Jokowi ikut ‘bersafari politik’.  Disisi lain seperti biasanya Megawati tetap mempratekkan perilaku ‘ diam itu emas’, sehingga membuat pengamat dan media massa mereka-reka dan menafsirkan sendiri aktivitas Megawati dan Jokowi tersebut.  Sejumlah kalangan berpendapat dengan memerhatikan berbagai tanda dan isyarat yang ditampilkan Megawati dalam beberapa waktu sebelum Jokowi menerima mandat dari Megawati untuk menjadi Capres pilihan PDIP.

 

Paling tidak ada 3 skenario Megawati terkait Capres dan Cawapres PDIP. Skenario pertama, Jokowi-JK. seperti dugaan banyak orang yakni menetapkan Jokowi sebagai Capres PDI-P tetapi memilih Cawapres dari luar PDI-P, yakni mantan wapres JK yang relatif dekat dengan PDIP. Apalagi baru-baru ini secara terbuka dan diberitakan media massa bahwa JK bersedia jadi Cawpresnya Jokowi.  Komposisi ini merupakan perpaduan serasi antara generasi penerus (Jokowi) dan generasi peralihan (JK). Yang termasuk generasi peralihan menurut Habibie adalah mereka yang pernah bekerjasama dengan generasi angkatan 45, sehingga kira-kira umurnya diatas 60 tahun. Sedangkan generasi penerus (dibawah umur 60 tahun) adalah mereka yang tidak sempat bekerjasama secara langsung dengan generasi 45. Sehingga komposisi ini cukup menarik apabila bisa disandingkan dalam kepemimpinan nasional Indonesia.

Skenario kedua, Jokowi-(salah satu dari koalisi partai). Pada skenario ini Capres tetap dari PDIP tetapi Cawapres diserahkan kepada hasil kompromi partai-partai lain yang mendukung PDIP sehingga diharapkan total suara di parlemen yang mendukung pasangan ini diatas 50%. Bisa jadi Capres tersebut dari kalangan pimpinan (petinggi) partai atau jika tidak ada kesepakatan maka dicari jalan tengah yakni dicari tokoh kredibel dan terbukti mampu menjalankan tugas Wapres secara baik yakni mantan Wapres Jusuf Kalla. Maka kembali pada skenario pertama tadi. 

Skenario ketiga, Jokowi-Ahok. Skenario ini dilontarkan oleh salah satu wartawan senior yang berada ditengah-tengah aktivitas Mega, Jokowi, Ahok beberapa waktu lalu termasuk saat Ahok dikunjungi dalam suasana imlek. Diungkapkan bahwa ada sinyal kuat baik yang ditampilkan oleh Megawaiti atau kalangan elite dilingkaran Megawati untuk menyandingkan Ahok sebagai Cawapresnya Jokowi. Jika hal ini terjadi maka sesungguhnya merupakan pukulan telak sekaligus serangan balik ditujukan pada Partai Gerindra (baca: Capers Prabowo) yang menuding elite PDIP mencla mencle dan ingkar janji pada perjanjian Batu Tulis yang sudah ditandatangani oleh Megawati dan Prabowo khususnya terkait point 7 yakni PDIP mendukung pencalonan Prabowo sebagai Presiden pada tahun 2014. Mengendus gelagat yang ada tampaknya skenario terakhir ini bukan tidak mungkin mendekati kenyataan. Namun jika Ahok menerima tawaran, maka lengkap sudah karakter elite bangsa yang rendah rasa malunya karena Jokowi-Ahok terlanjur menggebu-gebu berjanji untuk mengatasi langsung berbagai persoalan di Jakarta baik ketika berkampanye atau saat menjalankan tugas yang diliput Pers secara luas. Mereka berani mengingkari janji demi satu jabatan yang lebih tinggi. Bukankah Bung Karno pernah mengatakan “satukan kata dengan perbuatan”. Ungkapan Bung Karno ini kerap ditiru elite PDIP tetapi ternyata justeru elite-elite ini tidak mampu menjaga ruh ajaran Bung Karno itu sendiri.

*) penulis adalah pemerhati dan pengajar kepemimpinan, salah satu PTN di Malang Jawa Timur

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: