Presiden Terpilih dan Proses PilPres di MK

Author : Aries Musnandar | Senin, 01 September 2014 10:03 WIB

Tidak semua orang senang diberikan peringatan atau teguran apabila apa yang dilakukannya benar-benar telah keluar dari kepatutan masyarakat yang beradab bahkan mungkin telah melanggar hukum. Padahal dalam ajaran Islam memberikan peringatan kepada mereka yang menyiimpang dari kepantasan apalagi etika Islam merupakan bagian dari tugas seorang muslim. Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55).

Mengingatkan manusia yang mengaku beragama agar memerhatikan koridor ajaran agama bukan perkara mudah karena banyak manusia yang sudah tertutup mata hatinya sulit untuk menerima peringatan. Kerap kita menemukan orang yang diingatkan melalui ayat-ayat suci yang sangat jelas kandungan maknanya malah tidak bisa dicamkan dengan dalih yang dibuatnya. Padahal, amat jelas dan mudah karena ayat-ayat itu bersifat mukhamat seperti misalnya dalam menentukan atau memilih pemimpin umat Islam. Oleh karena Islam adalah agama lengkap yang mengatur segala sendi kehidupan manusia termasuk dalam bermasyarakat maka sepatutnya sebagai Muslim nash-nash al Quran dan Hadist menjadi rujukan dalam kehidupannya. 

Dalam konteks memilih pemimpin di Indonesia tidak sedikit warga Indonesia yang beragama Islam tidak mengacu secara cermat dalam menentukan pilihannya. Kriteria yang disusun tampak sederhana, dipengaruhi media, polos dan tanpa mencermati dengan seksama unjuk kerja calon pemimpin beserta orang-orang dibelakang, dipusat kekuasaan yang akan memengaruhinya dan berperan dalam menetukan berbagai kebijakan menentukan. Padahal, amat mudah bagi kita memprediksi apa yang akan dilakukan kubu pemenang Pilpres dari rekam jejak Capres dan orang-orangnya pada masa lampau manakala terlibat dalam kegiatan legislasi dan eksekutif. 

Disamping itu, rekayasa media sosial dan media massa amat terang benderang bagi kita untuk mengetahui mana yang pencitraan dan mana yang benar-benar tulus. Berbagai rekam jejak yang terbukti dan tercata dalam bentuk video dan tayangan atas perilaku dan ucapan yang dilontarkan masing-masing calon dapat kita pelajari. Sehingga apabila tidak ada satu pun calon ideal sementara kita harus harus memilih salah satu dari mereka, maka kita perlu menentukan mana yang mudharatnya lebih sedikit dari pada yang lain dan memiliki manfaat maksimal. Oleh karena itu menilai calon pemimpin kita mesti dari segala sisi dan dengan pertimbangan yang matang tidak hanya integritas sang calon tetapi termasuk juga siapa orang-orang disekelilingnya yang terlibat dalam mengambil keputusan dan kebijakan strategis.

Jika kita sedikit mau mendalami bagaimana sepak terjang pers, tokoh-tokoh tertentu dalam mendukung para calon maka sesungguhnya menurut saya kita akan bisa mengetahui hal-hal yang bersifat tidak genuine atau rekayasa. Namun, terkadang kita bisa dengan mudah menyepelekan fakta, bukti dan informasi yang amat jelas atas kinerja sesungguhnya dari sang calon karena telah terlanjur dicitrakan media massa dan atau hasil konspirasi tertentu sebagai calon yang berhasil. Kalau sudah tertambat hatnya dengan salah satu calon maka keputusan KPU sudah dianggap final oleh pihak-pihak yang menginginkannya jadi Presiden, padahal sebenarnya belum merupakan keputusan final karena secara aturan masih bisa digugat melalui MK. Jadi, keputusan MK nanti sesungguhnya adalah keptusan final dan mengikat bukan dari KPU karena ada Capres yang menggugat keputusan KPU. Tapi apa yang terajdi, media pendukung dan orang-orang yang "buta mata hatinya" seolah tidak mengakui prosedur yang masih berlangsung dengan menganggap keputusan KPU sudah final, sehingga suasana dibuat seolah-olah Presidennya sudah terpilih secara definitif. Pihak yang kalah berdasarkan KPU diminta legowo dan mengalah dan seterusnya. Sungguh suasana seperti ini tidak mendidik dan bahkan bukan tidak mungkin memengaruhi opini publik.

Temuan-temuan kecurangan, etika dan konspirasi yang dicium oleh kubu capres sebelah dan telah masuk laporannya di MK sudah semestinya dihormati terutama oleh media massa yang berpihak disisi lain seharusnya otoritas pengawas Pilpres mengingatkan bahkan menegurnya agar menunggu hasil keputusan MK. Sehingga tayangan atau berita yang seolah-olah Presiden terpilih sudah final seharusnya tidak boleh muncul dulu. Susunan kabinet, wawancara dengan Capres terpilih hasil keputusan KPU merupakan bagian dari tayangan atau beritan yang tidak sepatutnya disuguhkan kehadapan publik karena hal ini mencederai proses hukum yang tengah berjalan di MK. Perliku KPU yang membuka kotak suara sebelum ada perintah dari MK juga menjadi bagian yang malah menyudutkan KPU itu sendiri sehingga bisa dituduh berpihak.

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: