[Pungli] Penghasilan Tambahan Kaum Bawah

Author : Eka Nasrudin | Rabu, 30 April 2014 10:04 WIB

Nampaknya sikap marah bapak gubernur jawa tengah ganjar pranowo tidak main-main, langsung sidak dan tertangkap. Itu baru di satu tempat, belum berada di daerah-daerah lain di jawa tengah.

Melihat tempat sidak ada di jembatan timbang, otomatis ada juga operator timbangnya. Siapa lagi kalau bukan yang terima duit pungli itu si operator timbang, bagi hasil dengan petugas yang lain (menurut saya).

Kira-kira penulis berpandangan tempat sidak tersebut lembaga usaha milik pemerintah, kira-kira apa ya nama lembaganya? Secara kebetulan penulis juga bekerja di perusahaan swasta dan tepatnya di bagian jembatan timbang atau bahasa kerennya truck scale. Akan tetapi di tempat saya mencari nafkah, pungli tidak di terapkan (ketahuan langsung pecat). Pungli di tempat saya disebut ampera.

Memang banyak asumsi dan pembenaran kalau pungli tidak boleh di lakukan, namun banyaknya asumsi dan pembenaran bahwa pungli itu “di bolehkan”. Ini hukum sosial, adakah undang-undang yang mengatur tidak boleh adanya pungli? Belum ada. Ya inilah cermin orang-orang kita masih banyak yang “miskin”, secara kasar oknum-oknum itu tidak mau dianggap pungli, lebih tepatnya seseran. Dianggap wajar karena memang belum sejahtera, tidak bisa menyalahkan di satu pihak saja, karena kondisi ini di bentuk oleh masyarakat itu sendiri.

Tidak ada yang tahu di jaman kapan pungli di berlakukan? Ada contoh begini, rekan saya yang bekerja di bagian pembongkaran minyak CPO (crude palm oil), 1 kali mobil di kuras itu ada “punglinya” atau ampera-nya. Kisarannya antara 15 ribu sampai 30 ribu tergantung besar kecilnya mobil tanki yang memuat minyak tersebut. Asumsi-nya begini lha wong kerja sudah capek-capek ya wajarlah, dapat uang lelah, gaji pun tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Apakah atasan tahu? Jelas tahu. Tahu sama tahu.

Korelasinya agak jelas, jika di kaitkan dengan korupsi. Mental-mental bayaran menjadi merajalela. Di mana ada uang bicara, semua lancar, aman dan terkendali. Ya memang dianggap “lumrah”. Tapi yang menjadi kurang ajar kalau sudah ber-gaji besar masih saja nilep uang rakyat. Jangan salah, bos ekspedisi angkutan sudah tahu dan meng-anggarkan sejumlah uang untuk pungli kepada supirnya, sekarang saja supir truk angkutan itu masuk ke area pelabuhan sudah ada oknum-oknum yang meminta “jatah”. Seandainya seorang supir hanya di beri uang jalan saja, lantas yang nyinyir siapa? Ya supir. Bukan untung malah buntung.

Perlu di kaji lebih dalam, aturan melarang pungli. Serta arah aturan yang jelas. Jangan hanya tegas di awal-awal menjabat. Tetapi lambat laun kambuh lagi. Menurut pengamatan saya, beberapa faktor yang menjadikan kegiatan pungli sulit di hilangkanyang pertama, seseorang itu belum mencapai kesejahteraan ini kenyataan dan memang terjadi di level bawah pada suatu lembaga pemerintah atau swasta.

Yang kedua, faktor lingkungan kerja yang sangat berpengaruh kuat ini yang sangat mendominasi kegiatan pungli semakin gencar di lakukan. Parahnya uang pungli tersebut di jadikan “Kas”. Artinya ini menjadi kebiasaan terorganisir.

Penulis tidak bermaksud “membela” praktek seperti ini, sulit di berantas karena sudah mewabah akut secara sosial. Apalagi hal-hal seperti ini ada kaitannya dengan mindset, kalau manusia sudah terdidik menjadi tukang minta bukan tidak mungkin penyakitnya sulit sembuh.

Sumber: http://regional.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: