Raja Bhumibol Adulyadej dan Warisan Kepemimpinannya

Author : Rudiyanto Tanwijaya, peminat masalah sosial, budaya, dan sejarah. Berdomisili di Medan | Jum'at, 21 Oktober 2016

Oleh: Rudiyanto Tanwijaya.

Mangkatnya Raja Thailand, Bhumi­bol Adu­ lyadej (Kamis, 13 Oktober) da­lam  usia 88 tahun menyisa­kan ke­hi­la­ngan, baik dari sisi politis maupun ke­ma­nu­sia­an.

Dari sisi politis, Raja Bhumibol me­ru­pakan raja sebagai penguasa terlama di dunia, yaitu 70 tahun 125 hari. Ten­tunya Raja Bhumibol sendiri tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan meme­gang takhta dengan waktu selama  itu. Apalagi awalnya, ia bukanlah pewaris takhta Kerajaan Thailand. 

Ketika Thailand telah menunjuk dan mengangkat Raja Ananda Mahidol, yang merupakan saudara laki-laki Bhumibol, ia justru tengah melanjutkan pendidikan­nya di Swiss.  Namun sejarah berkata lain. Raja Ananda Mahidoljustru ditemu­kan tewas dengan kepala berlubang akibat peluru di kamarnya, pada tanggal 9 Juni 1946.  Maka dalam usia 19 tahun, Bhu­mibol kembali ke Thailand dan ditunjuk secara resmi untuk mengganti­kan Raja Ananda, terhitung mulai tanggal 9 Juni 1946.  Karena masih harus menye­le­­saikan studi di Swiss,  Bhumibol me­wakilkan kedu­du­kannya sebagai raja.  Baru  pada tanggal 28 April 1950, Bhu­mi­bol dinobatkan sebagai Raja dengan nama Rama IX.

Begitu menjadi raja, menurut catatan sejarah, Bhumibol bekerja keras mem­ba­ngun Thailand.  Dari negara berbasis agra­ris, ia menyulap Thailand menjadi ne­gara modern dengan aneka industri dan perda­gangan, yang terus menaikkan pen­dapatan perkapita masyarakatnya, sehingga menjadi negara yang cukup disegani di Kawasan Asia Tenggara. 

Tapi Thailand bukan bebas masalah.  Ke­tika badai krisis keuangan melanda du­nia, Thailand sempat pula mengalami gon­cangan. Dalam Buku “Indonesia Da­lam Krisis: 1997-2002” yang disusun dan diterbitkan oleh Litbang Kompas, di­sebutkan bahwa pada tanggal 8 De­sem­ber 1997, Thailand sempat menutup 56 dari 58 lembaga keuangan­nya yang terkemu­ka. Sebelumnya, mata uang Baht juga telah terjerembab ke po­sisi yang cu­­kup rendah. Kejadian ini mem­buat Thai­land, dianggap menjadi negara per­tama yang mengalami krisis keuangan du­nia era globalisasi pasca berakhirnya Pe­rang Dingin. (2002:6).

Di samping itu, Thailand yang awal­nya menganut sistem monarki absolut, di­mana kekuasaan dipegang oleh raja, lalu beralih menjadi penganut sistem mo­narki konstitusional parlementer, juga pernah mengalami masa-masa pahit ke­tika belasan kali terjadi kudeta militer.

Namun berkat kewibawaannya, Raja Bhumibol tetap mampu menye­lesaikan belasan kudeta tersebut. Dalam catatan sejarah, Raja Bhumibol selalu berhasil menjadi pemersatu dalam setiap kudeta yang terjadi, dimana ia menjadi jembatan bagi pihak-pihak yang bertikai, yaitu pihak militer dan kaum pendukung demokrasi.

Sosok yang humanis dan merakyat

Lepas dari kehilangan secara politis, yang paling penting adalah legasi ke­pemimpinan Raja Bhumibol dalam bidang kemanusiaan.

Kita dapat melihat melalui berbagai me­dia, baik cetak maupun elektronik, betapa kepergian sang raja menyisakan kesedihan yang mendalam bagi rakyat­nya. Sebagai tanda ikut berduka, rakyat se­cara spontan mengenakan pakaian ser­ba hitam sebagai tanda duka yang men­dalam.

Bahkan pemandangan mengharu­kan dapat kita lihat ketika jenazah sang raja dipindahkan dari Rumah Sakit Siriraj, tempat dimana beliau mangkat, menuju Grand Palace, yang merupakan kediaman resmi raja, tampak ribuan rakyat memberi hormat dalam kesedihan yang mendalam. Dari media kita dapat baca dan lihat, bahwa tak sedikit rakyat yang sengaja cuti dari tempat kerjanya, hanya untuk bisa memberi hormat ketika iring-iringan jenazah lewat. Kesedihan ini alami bukan hasil rekayasa atau pencitraan belaka.

Kondisi ini bukan tanpa sebab. Dalam per­jalanan pengabdiannya seba­gai pe­nguasa, Raja Bhumibol dikenal ti­dak per­nah memasang tembok tebal  se­bagai jurang pemisah dengan para rak­yatnya. Ia tak segan mengunjungi rak­yatnya, menyapa mereka hanya untuk menge­ta­hui kondisi rakyatnya. Semua­nya  tanpa pro­tokoler yang merepotkan ba­nyak orang.  Sikapnya terbuka dan ramah serta san­tun. Inilah yang membuat beliau juga dikenang sebagai sosok yang arif dan bijaksana. 

Bagi yang pernah berkunjung ke Thailand, hal ini dapat kita lihat dan rasakan sen­diri. Hampir di semua tempat, foto Raja Bhu­mibol dipajang di tempat yang ter­hormat. Bahkan di perpustakaan ataupun toko buku, kisah-kisah perjala­nan hidup dan pengabdian Raja Bhumibol juga ba­nyak menghias deretan buku yang ter­pampang di sana. Kita bisa menyim­pul­kan betapa Thailand dan Raja Bhu­mibol me­miliki hubungan yang tak ter­pisahkan. Dan sekali lagi, ini secara alami bukan demi mengusung proyek penc­i­traan semata!

Bercermin pada indonesia

Kepergian Raja Bhumibol sesungguh­nya merupakan sebuah kehilangan bukan hanya bagi Rakyat Thailand tetapi juga rakyat dunia termasuk Indonesia yang tengah membutuhkan sosok pemimpin yang berwibawa, berkarakter, cinta pada rak­yatnya dan tentu saja humanis.

Beruntung, di tengah kegamangan ini,  rakyat Indonesia memperoleh angin segar ketika Bapak Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Presiden RI.

Sampai detik ini, hadirnya Bapak Jokowi setidaknya merupakan harapan besar bagi kita semua. Terlebih setelah kita melihat komitmen Pak Jokowi dengan segenap menteri selaku pembantu kerja beliau untuk memperbaiki kondisi negara ini. Beliau dengan rutin blusukan - mengunjungi rakyat Indonesia yang terbentang luas  mulai dari Sabang sampai Papua. Ia melakukan dialog dan mencatat keluhan rakyatnya.

Pak Jokowi telah mencanangkan program Revolusi Mental serta sudah me­mu­lai bahkan langsung mengawasi pem­ba­ngunan infrastruktur untuk sebagai mo­dal pembangunan.  Jokowi menunjuk­kan kepekaannya terhadap masalah-ma­salah rakyat jelata dan menerbitkan se­jum­­lah kartu bantuan untuk bidang pen­di­dikan, kesehatan dan bantuan sosial lain­­nya.  Ia gigih menata ulang sistem bi­­rokrasi yang banyak tumpang tindih se­lama ini.  Tentu semua  butuh proses karena tak seperti membalik­kan telapak tangan.

Dan yang paling hangat akhir-akhir ini, Pak Jokowi memerintahkan pem­be­ran­tasan pungutan liar (pungli) melalui sis­tem sapu bersih (samber), yang kita ke­tahui selama ini telah menjadi rahasia umum dan momok bagi rakyat Indonesia.

Kita juga bersyukur, semangat Pak Jo­kowi mulai berlanjut estafet kepada para pemimpin daerah lainnya. Tentunya ini sebuah harapan dan kita berdoa se­moga kondisi ini  bukan sementara na­mun akan menjadi sebuah iklim perma­nen di Bumi Indonesia tercinta ini.

Penutup

Sekali lagi, kita merasa kehilangan atas kepergian Raja Bhumibol Adulyadej.  Na­mun kehilangan ini tak boleh berlarut ka­rena kepergian beliau masih mewarisi se­jumlah teladan kepemimpinan yang bisa kita praktikkan dalam kondisi apa saja, khususnya untuk menata dan mem­bangun negara Indonesia tercinta ini.

Jika Pak Jokowi dan para pemban­tu­nya, tetap teguh dengan model ke­pe­mim­­­pinannya saat ini sampai dengan akhir masa jabatannya, bukan tidak mung­­­kin beliau juga akan dikenang se­ba­­­gaimana Rakyat Thailand yang sangat men­­­cintai Raja Bhumibol Adulya­dej.   Bu­­kan semata  karena latar belakang ke­­sukuannya, agama yang dianutnya atau­pun hubungan emosional dengannya. Ter­­lebih karena komitmen dan karya nya­ta­nya untuk selalu berjuang demi rakyat demi tercapainya masyarakat bangsa yang mulia dan bermartabat di muka du­nia. Semoga!

Sumber: http://harian.analisadaily.com/opini/news/raja-bhumibol-adulyadej-dan-warisan-kepemimpinannya/280447/2016/10/21
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: