Oleh: Rudiyanto Tanwijaya.
Mangkatnya Raja Thailand, Bhumibol Adu lyadej (Kamis, 13 Oktober) dalam usia 88 tahun menyisakan kehilangan, baik dari sisi politis maupun kemanusiaan.
Dari sisi politis, Raja Bhumibol merupakan raja sebagai penguasa terlama di dunia, yaitu 70 tahun 125 hari. Tentunya Raja Bhumibol sendiri tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan memegang takhta dengan waktu selama itu. Apalagi awalnya, ia bukanlah pewaris takhta Kerajaan Thailand.
Ketika Thailand telah menunjuk dan mengangkat Raja Ananda Mahidol, yang merupakan saudara laki-laki Bhumibol, ia justru tengah melanjutkan pendidikannya di Swiss. Namun sejarah berkata lain. Raja Ananda Mahidoljustru ditemukan tewas dengan kepala berlubang akibat peluru di kamarnya, pada tanggal 9 Juni 1946. Maka dalam usia 19 tahun, Bhumibol kembali ke Thailand dan ditunjuk secara resmi untuk menggantikan Raja Ananda, terhitung mulai tanggal 9 Juni 1946. Karena masih harus menyelesaikan studi di Swiss, Bhumibol mewakilkan kedudukannya sebagai raja. Baru pada tanggal 28 April 1950, Bhumibol dinobatkan sebagai Raja dengan nama Rama IX.
Begitu menjadi raja, menurut catatan sejarah, Bhumibol bekerja keras membangun Thailand. Dari negara berbasis agraris, ia menyulap Thailand menjadi negara modern dengan aneka industri dan perdagangan, yang terus menaikkan pendapatan perkapita masyarakatnya, sehingga menjadi negara yang cukup disegani di Kawasan Asia Tenggara.
Tapi Thailand bukan bebas masalah. Ketika badai krisis keuangan melanda dunia, Thailand sempat pula mengalami goncangan. Dalam Buku “Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002” yang disusun dan diterbitkan oleh Litbang Kompas, disebutkan bahwa pada tanggal 8 Desember 1997, Thailand sempat menutup 56 dari 58 lembaga keuangannya yang terkemuka. Sebelumnya, mata uang Baht juga telah terjerembab ke posisi yang cukup rendah. Kejadian ini membuat Thailand, dianggap menjadi negara pertama yang mengalami krisis keuangan dunia era globalisasi pasca berakhirnya Perang Dingin. (2002:6).
Di samping itu, Thailand yang awalnya menganut sistem monarki absolut, dimana kekuasaan dipegang oleh raja, lalu beralih menjadi penganut sistem monarki konstitusional parlementer, juga pernah mengalami masa-masa pahit ketika belasan kali terjadi kudeta militer.
Namun berkat kewibawaannya, Raja Bhumibol tetap mampu menyelesaikan belasan kudeta tersebut. Dalam catatan sejarah, Raja Bhumibol selalu berhasil menjadi pemersatu dalam setiap kudeta yang terjadi, dimana ia menjadi jembatan bagi pihak-pihak yang bertikai, yaitu pihak militer dan kaum pendukung demokrasi.
Sosok yang humanis dan merakyat
Lepas dari kehilangan secara politis, yang paling penting adalah legasi kepemimpinan Raja Bhumibol dalam bidang kemanusiaan.
Kita dapat melihat melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik, betapa kepergian sang raja menyisakan kesedihan yang mendalam bagi rakyatnya. Sebagai tanda ikut berduka, rakyat secara spontan mengenakan pakaian serba hitam sebagai tanda duka yang mendalam.
Bahkan pemandangan mengharukan dapat kita lihat ketika jenazah sang raja dipindahkan dari Rumah Sakit Siriraj, tempat dimana beliau mangkat, menuju Grand Palace, yang merupakan kediaman resmi raja, tampak ribuan rakyat memberi hormat dalam kesedihan yang mendalam. Dari media kita dapat baca dan lihat, bahwa tak sedikit rakyat yang sengaja cuti dari tempat kerjanya, hanya untuk bisa memberi hormat ketika iring-iringan jenazah lewat. Kesedihan ini alami bukan hasil rekayasa atau pencitraan belaka.
Kondisi ini bukan tanpa sebab. Dalam perjalanan pengabdiannya sebagai penguasa, Raja Bhumibol dikenal tidak pernah memasang tembok tebal sebagai jurang pemisah dengan para rakyatnya. Ia tak segan mengunjungi rakyatnya, menyapa mereka hanya untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Semuanya tanpa protokoler yang merepotkan banyak orang. Sikapnya terbuka dan ramah serta santun. Inilah yang membuat beliau juga dikenang sebagai sosok yang arif dan bijaksana.
Bagi yang pernah berkunjung ke Thailand, hal ini dapat kita lihat dan rasakan sendiri. Hampir di semua tempat, foto Raja Bhumibol dipajang di tempat yang terhormat. Bahkan di perpustakaan ataupun toko buku, kisah-kisah perjalanan hidup dan pengabdian Raja Bhumibol juga banyak menghias deretan buku yang terpampang di sana. Kita bisa menyimpulkan betapa Thailand dan Raja Bhumibol memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Dan sekali lagi, ini secara alami bukan demi mengusung proyek pencitraan semata!
Bercermin pada indonesia
Kepergian Raja Bhumibol sesungguhnya merupakan sebuah kehilangan bukan hanya bagi Rakyat Thailand tetapi juga rakyat dunia termasuk Indonesia yang tengah membutuhkan sosok pemimpin yang berwibawa, berkarakter, cinta pada rakyatnya dan tentu saja humanis.
Beruntung, di tengah kegamangan ini, rakyat Indonesia memperoleh angin segar ketika Bapak Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Presiden RI.
Sampai detik ini, hadirnya Bapak Jokowi setidaknya merupakan harapan besar bagi kita semua. Terlebih setelah kita melihat komitmen Pak Jokowi dengan segenap menteri selaku pembantu kerja beliau untuk memperbaiki kondisi negara ini. Beliau dengan rutin blusukan - mengunjungi rakyat Indonesia yang terbentang luas mulai dari Sabang sampai Papua. Ia melakukan dialog dan mencatat keluhan rakyatnya.
Pak Jokowi telah mencanangkan program Revolusi Mental serta sudah memulai bahkan langsung mengawasi pembangunan infrastruktur untuk sebagai modal pembangunan. Jokowi menunjukkan kepekaannya terhadap masalah-masalah rakyat jelata dan menerbitkan sejumlah kartu bantuan untuk bidang pendidikan, kesehatan dan bantuan sosial lainnya. Ia gigih menata ulang sistem birokrasi yang banyak tumpang tindih selama ini. Tentu semua butuh proses karena tak seperti membalikkan telapak tangan.
Dan yang paling hangat akhir-akhir ini, Pak Jokowi memerintahkan pemberantasan pungutan liar (pungli) melalui sistem sapu bersih (samber), yang kita ketahui selama ini telah menjadi rahasia umum dan momok bagi rakyat Indonesia.
Kita juga bersyukur, semangat Pak Jokowi mulai berlanjut estafet kepada para pemimpin daerah lainnya. Tentunya ini sebuah harapan dan kita berdoa semoga kondisi ini bukan sementara namun akan menjadi sebuah iklim permanen di Bumi Indonesia tercinta ini.
Penutup
Sekali lagi, kita merasa kehilangan atas kepergian Raja Bhumibol Adulyadej. Namun kehilangan ini tak boleh berlarut karena kepergian beliau masih mewarisi sejumlah teladan kepemimpinan yang bisa kita praktikkan dalam kondisi apa saja, khususnya untuk menata dan membangun negara Indonesia tercinta ini.
Jika Pak Jokowi dan para pembantunya, tetap teguh dengan model kepemimpinannya saat ini sampai dengan akhir masa jabatannya, bukan tidak mungkin beliau juga akan dikenang sebagaimana Rakyat Thailand yang sangat mencintai Raja Bhumibol Adulyadej. Bukan semata karena latar belakang kesukuannya, agama yang dianutnya ataupun hubungan emosional dengannya. Terlebih karena komitmen dan karya nyatanya untuk selalu berjuang demi rakyat demi tercapainya masyarakat bangsa yang mulia dan bermartabat di muka dunia. Semoga!