Resensi Film Say Hello to Yellow : Si Kuning dari Kota

Author : | Sabtu, 08 Desember 2018

Peresensi : Andi Zhafira Nur Ramadhan (Zacil) #17

 

Producers : Yuanita, Yose Anggi Noen, BW Purba Negara

Sutradara  : BW Purba Negara 

Pemeran : Monica Eka Chandra Wulandari, B. Laksya Tri Satya

Jenis     :  Fiksi

Tahun   :  2011

Durasi   :  20 menit

Bahasa  :Jawa

Klasifikasi Usia :  Semua Umur

 

SINOPSIS :

Sebuah benda kecil berwarna kuning membuat seorang anak terjebak dalam ilusi dan kepura-puraan. Perangkat yang seharusnya berfungsi untuk mendekatkan yang jauh justru berbalik menjadi menjauhkan yang dekat. Sebuah potret lugu atas modernitas yang angkuh dan gagap.

RESENSI / REVIEW :

Suasana desa yang hijau menjadi pembuka dari film “Say Hello to Yellow”. Sejak scene awal, sudah tampak jelas kalau desa tersebut berada di dataran tinggi, dan jauh dari pusat kota. Seiring memasuki desa tersebut, terdengar keluhan Risma karena handphone-nya tidak mendapatkan sinyal. Risma merupakan anak perempuan yang pindah dari kota ke desa, dikarenakan Ibunya, adalah seorang bidan yang harus berpindah tugas ke desa.

Risma sendiri adalah anak perempuan yang tidak bisa lepas dari gadgetnya. Ia sangat menyukai warna kuning. Dipilihnya warna kuning sebagai warna yang mendominasi aksesoris Risma, adalah karena warna tersebut sangat terang, dan mendukung penceritaan agar Risma selalu menjadi pusat perhatian di sekolah barunya. Risma menganggap bahwa semua orang di desa tersebut masih kolot dan tidak mempunyai handphone. Kekolotan tersebut digambarkan pada saat anak laki-laki yang berkomunikasi melalui telepon yang dibuat dari dua kaleng yang terhubung dengan benang.

Ketika Risma sampai di sekolah dengan pernak pernik kuningnya, ia langsung mengeluarkan handphone dari sakunya untuk memamerkan kalau dia punya handphone. Kemudian, ia pun berpura-pura menerima telepon. Hal itu seterusnya dilakukan oleh Risma karena ia ingin menjadi pusat perhatian.

Risma juga digambarkan sebagai sosok yang sangat memilih-milih teman. Hal ini digambarkan pada saat anak laki-laki yang terus menerus ingin berkenalan dengan Risma, tetapi Risma menolak karena Risma merasa anak-anak di SD-nya tidak selevel dengannya. Hanya satu yang menjadi temannya, yaitu Kurniati yang merupakan teman sebangkunya.

Kurniati yang setiap pulang sekolah ingin pergi ke bukit, membuat Risma heran. Saat malam hari di rumahnya, pasien Ibunya juga berkata harus ke bukit dan dia pun semakin heran.

Di akhir cerita, ditunjukkan kenapa orang – orang di desa tersebut ingin ke bukit, alasannya karena hanya di tempat itulah ada sinyal di desa tersebut. Scene-scene awal yang menunjukkan ekspresi keheranan murid lainnya ketika risma selalu menerima teleponan, terjawab di akhir cerita, karena semua murid di sekolahnya mengetahui bahwa di sekolahnya tidak ada sinyal

 

OVERVIEW :

Film ini sangat menggambarkan kehidupan anak-anak sekarang, dimana semuanya dipengaruhi teknologi. Salah satunya pertemanan. Ketika kalian tidak punya handphone, ya kalian tidak boleh berteman dengan orang yang mempunyai handphone. Selain itu juga menggambarkan sikap individualis anak-anak jaman sekarang, yang kapanpun, dan dimanapun tidak bisa lepas dari handphone. Bisa kita bilang bahwa anak-anak jaman sekarang sudah termakan oleh teknologi. Selain itu, di film ini juga menunjukkan kalau semestinya kita tahu untuk menempatkan dimana dan kapan seharusnya kita menggunakan handphone. Dengan menggunakan protagonis anak kecil, bisa membantu penonton lebih memahami kondisi saat ini, dimana banyak anak kecil yang sudah mempunyai gadget dan lebih senang bermain gadget dibanding bersosialisasi langsung dengan temannya.

Kelebihan dari film ini adalah alur ceritanya yang  sangat bagus, tidak disangka bahwa pada akhir film ini akan menggambarkan kalau di desa tersebut juga sudah mengalami kemajuan teknologi. Padahal pada awalnya  diperlihatkan bahwa desa tersebut masih sangat kolot dengan penggambaran anak laki-laki yang melakukan komunikasi melalui telepon kaleng.

Adapun kekurangan dari film ini, walaupun sosok Ibu hanya muncul beberapa kali, namun penggambaran Ibu yang merupakan sosok bidan sangatlah kurang. Salah satunya dari pengadeganan dan karakter tokoh si Ibu. Ibu di film ini lebih seperti Ibu Rumah Tangga. Ada baiknya film ini, lebih memperdalam pengadeganan sosok Ibu. Selain itu, penggambaran kenapa keluarga tersebut harus pindah ke desa masih kurang. Mungkin akan lebih baik lagi jika menunjukkan secara verbal atau non-verbal alasan kenapa keluarganya harus pindah ke desa tersebut.

Sumber: http://kineklubumm.com/2018/12/resensi-film-say-hello-to-yellow-si-kuning-dari-kota/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: