Birokrasi DPR Perlu Direformasi
Oleh Aries Musnandar*
Pemilu legislatif (Pileg) tahun 2014 yang sebentar lagi berlangsung di Indonesia ternyata akan diikuti oleh 90 persen anggota DPR RI atau sebanyak 507 orang didominasi muka-muka lama. Mereka mencalonkan diri kembali bersaing dengan hanya 10 persen muka baru. Disamping itu dikabarkan tidak kurang dari 10 orang menteri juga terdaftar sebagai Caleg yang diusung oleh partai mereka masing-masing.
Mencermati fenomena pencalegan yang didominasi para penguasa saat ini (incumbent) termasuk dari kalangan eksekutif (Menteri) yang tengah menjabat, berbagai analisis kritis saya atas masalah ini akan dipaparkan pada tulisan ini. Pertama, dalam menghadapi Pileg nanti para Caleg yang sedang berkuasa tersebut tentu akan fokus pada persiapan kampanye berikut upaya pencarian dana kampanye yang diperlukan ketimbang bekerja optimal menjelang berakhirnya masa jabatan. Lalu bukan tidak mungkin akan terjadi berbagai penyimpangan misalnya dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai penguasa/pejabat yakni dengan cara menyelewengkan atau membajak berbagai fasilitas negara dan tugas yang melekat sebagai pejabat/penguasa di legislatif dan eksekutif untuk kepentingan kampanye dalam upaya memenangkan dirinya sebagai Caleg dan partai yang mengusungnya pada persaingan Pileg 2014 ini.
Kedua, dengan demikian pada masa-masa persiapan menghadapi Pileg ini praktis para Caleg penguasa itu tidak bekerja efektif dan produktif sehingga akuntabilitas sebagai pejabat negara diragukan. Bisa jadi mereka berpendapat dan menganggap hal semacam ini wajar karena merupakan siklus lima tahunan saja yang mesti dilalui setiap Caleg. Tetapi alasan ini tidak pada tempatnya, apalagi mereka adalah para penyelenggara Negara yang tugasnya mengabdi pada rakyat. Secara undang-undang dan aturan hukum mungkin bisa saja tidak ada yang dilanggar, tetapi jika ditilik dari azas kepatutan dan moralitas kepemimpinan, maka situasi diatas tak pelak berada pada level etika rendahan.
Ketiga, ungkapan "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" mungkin cocok diarahkan pada situasi tersebut diatas, oleh karena itu diperlukan aturan main dan undang-undang yang mampu meniadakan bentuk-bentuk penyelewengan kekuasaan yang dipegang tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Namun, diatas semua itu sisi penegakan aturan main perlu mendapat perhatian saksama, karena pengalaman membuktikan biasanya bangsa ini mahir berkonsep dan membuat aturan tetapi lemah dalam implementasi. Ambil contoh dalam konstitusi kita disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara, tetapi bagimana kenyataannya? Ternyata dilapangan kita saksikan betapa makin banyak anak terlantar dijalan-jalan dan demikian pula fakir miskin tak kunjung dientaskan. Secara sarkastis kita bisa katakana bahwa ternyata kata "dipelihara" oleh negara ditafsirkan menjadi dirawat atau tetap "dipertahankan" oleh negara sehingga tetap sebagai anak terlantar, karena hingga kini belum terlihat hasil yang signifikan dalam pengentasan anak-anak terlantar dan fakir miskin di negeri ini.
Keempat, kiranya dibutuhkan aturan ekstrim dalam arti tegas dan jelas terhadap kriteria Caleg, masa tugas anggota dewan perwakilan rakyat, serta bentuk aktivitas anggota legislatif. Kriteria pertama dan utama yang saya kira perlu dibukukan dalam peraturan adalah melarang Caleg penguasa maju jikalau telah menjabat di legislatif dua periode baik berturut-turut ataupun tidak berturut- turut, yang penting mereka dibatasi hanya dua periode saja. Sekarang ini tidak ada batasan bagi Caleg penguasa yang ingin maju kembali asal disetujui partainya bahkan jabatan di DPR ini bisa menjadi jabatan seumur hidup. Dahulu sebelum masa reformasi, jabatan eksekutif (Presiden) bisa "diakali" menjadi jabatan seumur hidup karena ayat-ayat konsitusi tentang aturan calon Presiden kurang jelas dan mudah diplintir dengan kata-kata “bisa diangkat kembali”, namun kini setelah di amandemen semuanya amat terang bendarang bahwa Presiden penguasa hanya bisa mengajukan kembali sebagai Capres hanya satu kali periode saja dan ini berarti yang bersangkutan hanya diperbolehkan menjabat dua periode jabatan Presiden. Dalam konteks pemilihan Presiden ini ayat-ayat konsitusinya setelah di amandemem sudah amat jelas tetapi mengapa untuk legislatif masih terbuka peluang seorang anggota legislatif menjabat menjadi anggota DPR seumur hidup?
Kelima, birokrasi tugas pekerjaan anggota legislatif sekarang ini hampir mirip dengan yang berlaku di instansi pemerintah atau perusahaan swasta, para anggota DPR terkesan berkantor, stand by di Senayan serta digaji besar layaknya manajer perusahaan dengan berbagai tunjangan yang memanjakannya. Kalau manajer perusahaan dengan gaji besar saya sesuai dengan tujuan utama perusahaan yakni meraih keuntungan sebesar-besarnya . Oleh karena itu sang manajer bekerja penuh waktu (full time), tiap hari berkantor, tidak boleh bolos dan bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup perushaan. Jadi wajar jika mereka digaji besar karena jika perusahaan bangkrut yang pertama disalahkan adalah sang manajer itu, hal ini berbeda dengan Negara yang apabila bangkrut atau pertumbuhan ekonomi menurunn yang disalahkan bukan anggota DPR tetapi pemerintah. Jadi, disinilah diantaranya terletak ketiadilan itu antara legislatif dan eksekutif.
Sifat dan "chemistry" pekerjaan di perusahaan dan di legislatif tentu tidak sama dan semestinya jangan disamakan agar para Caleg tidak memiliki tujuan dan menganggap bahwa menjadi anggota DPR ibarat melamar pekerjaan di perusahaan, sehingga mereka berharap digaji bak pegawai perusahaan kemudian mereka pun menuntut uang pensiun apabila tidak bekerja lagi meski masa kerjanya hanya relatif singkat lima tahunan dan bekerjanya bukan tiap hari sebagaimana pegawai pada umumnya. Oleh karena itu semestinya deskripsi tugas dan sifat pekerjaan anggota DPR itu jangan dibuatkan seolah-olah mereka sedang bekerja diperusahaan atau di pemerintahan (eksekutif), tetapi dibuatkan aturan bahwa mereka bukan pegawai sehingga tidak layak dapat uang pensiun serta mereka dibayar hanya pada saat sidang saja jangan dibayar bulanan.
Ketika membahas RUU mereka berkumpul dan bersidang. Selama proses sidang itu mereka akan dibayar atau dicukupkan keperluannya tetapi tidak dibayar secara bulanan. Mereka yang tidak hadir tentu tidak akan dibayar dan akan diberikan sanksi tegas. Jika dibayar bulanan seperti sekarang ini maka kita menyaksikan bersama betapa malasnya mereka banyak yang mangkir dan menyepelekan persidangan. Lagi pula mereka bukanlah pihak pembuat undang-undang tetapi mengesahkan RUU. Materi undang-undang dibuat oleh lembaga eksekutif (kementerian) yang memang bertugas menyusunnya. Tugas berat menyusun RUU sebanding dengan gaji bulanan yang diterima para pegawai mulai dari level bawah hingga atas. Dalam konteks ini wajar Negara membayar mereka dengan gaji bulanan sesuai dengan kontribusi dalam penyusunan undang-undang.
Keseimbangan dalam perlakuan antara kedua lembaga itu perlu segera diwujudkan sesuai sifat dan chemistry tugasnya masing-masing. Dengan memerhatikan kelima poin tersebut diatas kiranya diperlukan pembenahan dalam birokrasi legislatif. Reformasi birokrasi di pemerintahan eksekutif yang telah dan tengah berlangsung seharusnya juga diikuti dengan mereformasi birokrasi legislatif sebagaimana usulan yang dipaparkan diatas. Penghematan uang Negara merupakan salah satu dampak langsung dari penerapan reformasi tersebut.
*) Peneliti Pascasarjana UIN Maliki Malang